Metodologi Penelitian Sastra by Suwardi Endraswara
“Terbagi tiga jenis sarana komunikasi: signals, sign, dan symbol. Signals adalah tanda-tanda yang merupakan elemen terendah, sepeti halnya sebuah stimulus pada binatang. Sign adalah tanda-tanda. Symbol adalah lambang yang bermakna.” – Nauta (Segers, 2006: 6)
Penelitian, kritik, resensi, dan esai sastra seluruhnya bermuara pada upaya memahami karya sastra secara komprehansif. Buku yang sangat bervitamin. Yang suka sastra wajib melahapnya, benar-benar melimpah ruah nustrisinya. Megap-megap bacanya. Beruntung saya sudah berpengalaman membaca ribuan karya sastra sehingga langsung klik atas segala teori penelitian, seolah dengan membacanya saya mendapat ajaran teori yang berfungsi meluruskan hal-hal yang selama ini abu-abu. Penelitian yang mengikuti proses verifikasi melalui pengukuran dan analisis yang dikualidikasikan, menggunakan data statistik model matematika, sedangkan penelitian kualifikatif dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris.
Memang belum ada pedoman khusus penulisan resensi sastra dengan baik. Segala reviewku di blog ini adalah otodidak, pengalaman membaca segala rupa. Esai sastra sebenarnya juga bagian dari kritik sastra, kelasnya di atas resensi dan biasanya lebih panjang sedikit, esai sastra biasanya dibumbui dengan sensasi sebagai hasil laporan pembacaan karya sastra.
Ada banyak banget jenis penelitian sastra. Teeuw (Satoto, 1986: 1-2) mengemukan bahwa mempelajari sastra itu ibarat memasuki hutan, makin ke dalam makin lebat, makin belantara. Dan di dalam ketersesatan itu ia akan memperoleh kenikmatannya. Sastra merupakan fenomena kemanusiaan yang kompleks dan dalam, di dalamnya penuh makna yang harus digali melalui penelitian mendalam, dan disinilah buku ini hadir sebagai apresiasi, studi, kajian, telaah, dan sejenisnya.
Istilah sastra sendiri banyak pula ragamnya, tergantung mau menelaah sebagai fungsi apa, yang jelas penelitian sastra akan menjadi jembatan antara penulis, teks, dan pembaca. Penelitian sastra yang melanggar atau tanpa teori bukanlah ‘dosa’ akademik. Apalagi karya sastra sebagai subjek penelitian bukan fenomena yang pasti. Maka, penelitian sastra bukanlah tindakan pembuktian yang sering didahului dengan klasifikasi, verifikasi, dan konsistensi. Penelitian sastra ibarat mengarungi lautan luas, yang sangat memerlukan spekulasi. Dan spekulasi inilah wilayah interpretasi yang sangat relatif. Relativitas banyak bermain di sini.
Kapling media massa sangat terbatas, kadang kritik sastra diturunkan derajatnya menjadi sebuah resensi sastra dan esai sastra. Dua istilah yang sebenarnya merupakan wujud kritik sastra yang sederhana, agar mudah dipahami penulis dan pembaca. Epistemologi adalah ilmu tentang metodologi dan dasar-dasar pengetahuan dengan keterbatasan dan kekuasaannya. Menurut Abrams (1979: 6) karya sastra akan terkait dengan work (teks), artist (pengarang), dan audiens (penikmat), tentu pemaknaan sastra pun akan berkutat di sekitar tiga kutub ini.
Menurut Bakhtin (Todorov, 1984:15) objek ilmu humaniora (termasuk sastra) bukan benda mati, melainkan ‘roh’ yang memerlukan interpretasi dan resepsi, serta pentransmisian. Maka peneliti sastra akan berhubungan dengan pikiran, makna, signifikansi yang akan datang dari orang lain dan didasari dan dapat dimasuki hanya melalui teks.
Karya sastra bukanlah barang mati dan fenomena yang lumpuh, melainkan penuh daya imajinasi yang hidup. Penelitian sastra selalu mengandalkan logika, akal, dan menekankan bahwa karya sastra harus memenuhi fungsinya, termasuk penelitian klasik. Saya sendiri belum pernah ‘masuk’ dengan serius meneliti sebuah karya. Fungsi saya mempelajari buku-buku teori sastra jelas ke arah sana, ibaratnya membekali diri sebelum petualang ke rimba raya dunia kepenulisan.
Kata Ricoeur (1987: 332-333), karya sastra akan menjadi teks yang sesungguhnya bila pengarangnya telah meninggal. Dengan demikian relasi antara pembaca dengan teks akan menjadi utuh dan lengkap tanpa kewajiban bertanya mengenai intensi pengarangnya. Bahkan Barthes (1983: 73-81) menegaskan bahwa teks sastra itu tidak bertuan; pembacalah tuan atas bacaannya. Pengarang bukan subjek dan predikat atas bacaannya, karena dunia yang menawarkan karya adalah dunia yang multidimensional, dunia di mana seluruh varietas
(tekstur) bergabung.
Selama ini saya hanya melihat buku yang bagus ya yang memuaskan. Tolok ukur kualitas karya adalah masalah: originalitas, kreativitas, kejeniusan, dan individualitas. Kemampuan tampil beda seorang pencipta justru menjadi nilai plus. Makanya penting sekali ‘pegangan’ itu. Refleksi individual menjadi ‘guru’ bagi individu sendiri untuk menentukan kebenaran. Pengaruh personal sangat menentukan makna karya sastra. Peneliti perlu memahami bahwa karya sastra adalah olahan imajinasi yang telah dimasak. Pandangan Isser (1988: 212) fenomenologi sastra adalah pendekatan yang menekankan pada aspek idea.
Dalam fenomenologi sastra, peneliti di samping harus memiliki pengetahuan bahasa juga dituntut memiliki bekal pemahaman sehubungan dengan filsasfat. Strukturalisme lebih ke arah deduktif, yaitu dari simpulan khusus ke umum. Sedang dalam fenomenologi, kunci utama peneliti adalah hadirnya kesadaran total yang berhubungan dengan aspek-aspek bahasa dan wawasan filsafat.
Secara sederhana, hermeneutik adalah tafsir. Jadi studi sastra juga mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Arti sebuah karya sastra dan maksud pengarang memiliki keterkaitan yang logis, tidak mengada-ada. Interpretasi teks sastra sangat tergantung pada pengalaman si peneliti, semakin dewasa si peneliti, tentu kematangan psikologinya dalam menafsirkan semakin bisa diandalkan. Pengalaman penting dalam menggali teks sastra.
Pemikiran Mukarovsky (Fokkema, 1977: 137) bahwa peranan pembaca amat penting yakni sebagai pemberi makna teks sastra. Pembaca awam kadang juga lebih objektif dan polos, sehingga menilai karya sastra menurut pengetahuan dan visinya. Mereka lebih orisinal dalam membaca sastra karena belum terkontaminasi dengan teori-teori.
Kaum formalis menekankan dua konsep dalam penelitian sastra yaitu konsep defamiliarisasi (konteks sifat sastra yang aneh/asing) dan deotomatisasi (teks sastra kehilangan otomatisasi) yang dipahami oleh pembaca. Karya sastra bukan sekadar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya dilahirkan.
Goldman selalu menekankan latar belakang sejarah. Teks sastra merepresensikan kenyataan sejarah yang mengkondisikan munculnya karya sastra. Tidak dipandang sebagai individu, melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Ada dua ciri manusia tragik. Pertama, manusia menuntut secara mutlak dan eksklusif nilai-nilai yang tidak mungkin. Kedua, karena itu tuntutannya sekaligus untuk ‘segalanya dan bukan apa-apa’ dan ia secara total tidak peduli terhadap tingkat-tingkat dan usaha pendekatan, serta terhadap konsep yang mengandung gagasan mengenai relativitas. – Goldman
Menurut Muhammad (1988: 17-33) penelitian stilistika hendaknya sampai pada tingkat makna gaya bahasa. Makna tersebut ada dua hal, denotasi (makna lugas), dan makna konotasi (kias). Keduanya saling berhubungan, dan pemaknaannya perlu memperhatikan deskripsi mental dan deskripsi fisikal gaya bahasa. Sastra bukan hanya sekadar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan itu bukan jiplakan kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.
Strukturalisme dinamik lebih menekankan karya-karya masterpiece, mainstream, dan karya agung. Pembaca adalah makhluk yang mampu masuk ke dalam ruang-ruang dan pemberi tanda yang bermakna. Karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan pengarang lewat bahasa.
Saya jadi ingat novel masterpiece Indonesia, Ziarah (Iwan Simatupang) yang penuh dengan pemaknaan aneh nan acak. Semiologi atau semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra. Tanda sekecil apapun dalam pandangan semiotik tetap diperhatikan. Jelas saya tak nyaman di pengalaman baca pertama, suatu saat akan kubaca ulang. Penyimpangan arti bisa muncul karena tiga hal: ambiguitas, kontradiksi, dan nonsence.
Baik karya sastra yang mudah maupun sulit dipahami, akan selalu dicerna pembaca menggunakan kode-kode tertentu. Pada saat pemanfaatan kode itu, kadang justru timbul makna-makna baru. Keindahan karya sastra hampir sebagian besar dipengaruhi oleh kemampuan penulis memainkan bahasa. Kelenturan penulis berolah bahasa akan menciptakan keindahan khas karya sastra. Dengan kata lain, bahasa adalah wahana khusus ekspresi sastra.
Saini KM (1986: 14-15) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan (masyarakat), yakni sebagai pemetakan, penentangan, dan olok-olok. Ketiganya sebenarnya terkait dengan fungsi sastra bagi kehidupan sosial. Untuk penulis puisi yang baik, penyair harus berada pada keadaan jiwa tertentu. Berarti memang benar pernyataan Freud bahwa penyair kadang-kadang menjadi seorang ‘pelamun’ yang lari dari kenyataan hidup. Baginya kreativitas adalah sebuah pelarian (escapism).
Saya lulusan Informatika, jauh dari dunia sastra atau hal-hal yang menyelingkupi dunia tulis. Faktor pendidikan dan hubungan sosial patut diperhatikan, karena intelektualitas karya akan dipengaruhi olehnya. Termasuk sampai profesionalitas penulis, apakah pekerjaan pokok atau sambilan. Maka walau belum terlambat, saya selalu berusaha dengan keras untuk bercengkerama dengan kesusastraan.
Karya sastra yang laris terjual di pasaran (best seller) bukan karena mutunya selalu terjamin. Masih banyak pengarang tetap mengharapkan aspek material. Walau ada juga penulis yang mengabdikan pada idealism, keduanya tetap menarik diteliti secara sosiologis. Karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang, yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah dimasak dalam jiwanya.
Karya sastra sering kali bersifat fiktif dan etnografi ada yang realis. Etnografi adalah fakta sedangkan karya sastra adalah imajinatif. Kadang-kadang batasannya kabur atau abstrak. Karya sastra juga merupakan sumber informasi.
Levi-Stauss berpendapat bahwa mitos tidak selalu relevan dengan sejarah dan kenyataan. Mitos juga tidak selalu bersifat sakral atau wingit (suci). Maka mitos yang suci pada suatu tempat, di tempat lain dianggap hal biasa. Dalam kajiannya, mitos tak lebih dari dongeng. Penulis dongeng pada dasarnya memiliki nalar yang universal. Nalar manusia juga berisi tuntutan dan keinginan manusia yang satu sama yang lain mirip. Ada aspek ketidaksadaran yang memompa penulis dongeng di berbagai belahan wilayah. Dewa adalah gambaran manusia (pria dan wanita) yang didewakan. Mitos adalah kisah nyata dari orang-orang yang pernah hidup, tapi kemudian kisah itu mengalami distorsi.
Pragmatik sastra adalah cabang penelitian yang ke arah aspek kegunaan sastra (bagi pembaca).
Horatius berkiblat bahwa fungsi sastra hendaknya memuat dulce (indah) dan utile (berguna). Sejalan dengan Poe (Wellek dan Warren, 1989: 24-25) bahwa fungsi sastra adalah didactic-heresy yakni menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu. Hendaknya sastra itu membuat pembaca merasa nikmat dan sekaligus ada sesuatu yang bisa dipetik. Dan Hall (1979: 131), karya sastra hendaknya mempunyai fungsi use and gratifications (berguna dan memuaskan) pembaca. Intinya, pembaca harus mendapatkan manfaat yang mampu mengubah dirinya.
Sejatinya saya sudah lumayan banyak menikmati sastra dunia, walau hanya lewat terjemahan. Sastra terkenal dari belahan dunia lain ini ditempa waktu sehingga hanya yang berkualitas yang bertahan hingga kini dan yang akan datang. Ukuran waktu sangat lentur, namun sekurang-kurangnya bila karya sastra sangat digemari siapapun di dunia, boleh dikatakan sebagai sastra dunia (world literature).
Satu cabang penelitian yang unik adalah Feminisme, dan kalau ngomongin ini selalu ingat pepatah Jawa yang terkenal: ‘perempuan adalah swarga nunut nraka katut.’
Hebat. Itulah kata pertama seusai menyelesaikan baca (26/12/20). Salah satu poin penting yang saya petik: Masalah moral dalam sastra, kemungkinan besar disampaikan secara tersirat. Sebab pada dasarnya pengarang yang kaliber tak akan menggurui pembacanya. Kenapa? Sebab doeloe saya pernah buat cerpen, kena kritik di sebuah majalah online, karyaku terlalu menggurui, walaupun sejatinya saya tak merasa menggurui, kini setelah lebih dari sedekade, saya sepakat. Semua kasus interteks tergantung keahlian pengarang menyembunyikan atau sebaliknya memang ingin menampakkan karya orang lain dalam karyanya. Julia Kristeva (Junus, 1988: 87) munculnya interteks sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks yang didalamnya terdapat teks lain.
Pengalaman memang sangat amat diperlukan. Intensionalitas adalah energi semantik yang menghubungkan semua unsur sastra yang heterogen menjadi kesatuan makna, yaitu sebuah tanda. Dalam hal ini pembaca turut menentukan makna atas dasar pengalaman, perasaan, dan emosi yang dimilikinya. Usia dan segala yang dilintasi berpengaruh terhadap hal-hal yang menyelingkupi.
Fungsi kenangan menurut Bhabha (Gandhi, 2001: 14) ada dua hal. Pertama sebagai penggalian yang lebih sederhana atas ingatan-ingatan yang tak mengenakkan, berupa mengungkapkan kekerasan kolonisasi yang melimpah dan masih tersisa. Kedua, untuk menciptakan masa lalu yang bermusuhan ke arah perdamaian agar masa lalu yang antagonistik semakin ramah.
Karya sastra sebenarnya merupakan ekspresi pandangan dunia yang imajiner. Betapapun hebat karya sastra bila tidak dapat dipahami pembaca, boleh dikatakan teks tersebut gagal. Tergolong black literature (sastra hitam) yang hanya bisa dibaca oleh pengarangnya sendiri.
Ini jelas bukan buku terakhir yang akan kunikmati tentang teori/telaah/kritik atau apapun yang berhubungan dengan sastra. Saya akan terus menggali, terus belajar, terus menikmati hidup dengan limpahan buku bermutu. Pakai metode apa pun dalam menikmati dan menelaah sastra, yang paling penting adalah enjoy it. Jelas ini salah satu buku terbaik non-fiksi tahun 2020 yang kubaca.
Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi | by Suwardi Endraswara | Desain sampul Gunawan | Penyunting Indra Ismawan | Tata letak Lucky Advertising | Penerbit Medpress (Media Presindo) | Copyright 2003 | Cetakan IV (edisi revisi), 2008 | 204 hlm, 16 cm | ISBN (10) 979-788-006-0 | ISBN (13) 978-979-788-006-4 | Skor: 4.5/5
Karawang, 050121 – Smokey Robinson & The Miracles – You Really Got a Hold On Me
Thx to Ari Naicher (Rindang Book), Klaten