Buku Panduan Kesusastraan Istimewa

Teori Kesusastraan by Rene Welleck & Austin Warren

Setiap kehidupan – walaupun tak ada artinya, jika diceritakan secara jujur, pasti akan menarik… Setiap sastrawan baru harus menciptakan citarasa baru untuk dinikmati publik.”Coleridge

Sastra adalah kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Luar biasa. Book of the year. Seperti inilah sebuah teori harus ditulis. Detail, cocok buat kaum awam, akan merasuk pula untuk para expert. Terbagi dalam dua khazanah pendekatan utama: Pendekatan ekstrinsik yakni pendekatan yang mengait karya sastra dengan bidang lain (psikologi, masyarakat, biografi), dan instrinsik, yakni pendekatan dengan mengkhususkan diri pada unsur-unsur kritik sastra, teori, sejarah, sastra nasional, sastra perbandingan, dst. Bagi saya yang awam, ini sungguh mengasyikkan. Saking melimpahnya vitamin yang disajikan, say abaca perlahan, baca ulang di banyak bagian, takut terlewat, dan kalau sudah nemu buku semacam ini, jelas laik dikoleksi, dibaca ulang di lain hari, dijadikan rujukan. Jelas ini buku panduan kesusastraan yang istimewa.

Sastra boleh dibaca, dinikmati, ditelaah. Karya sastra tidak dapat ditelaah, diuraikan kekhasannya, dan dinilai tanpa dukungan prinsip kritik sastra. Makanya saya saat ini saya beli banyak buku yang berlabel ‘sastra’, termasuk tema kritiknya. Sebagai penikmat buku, mereview buku di blog memang menjadikan rutinitas. Namun sejujurnya saya tak menempuh pendidikan formal di bidang ini. Segalanya otodidak. Apresiasi, selera, dan antusiasme adalah urusan pribadi. Intuisi mengarah pada apreasiasi yang bersifat emosional, jelas lebih subjektif. Saya benar-benar menikmati kegiatan membaca, urusan ulasan terasa sebisanya, maka buku semacam ini sangat membantu, setidaknya dasarnya tahu. Contoh, yang perlu kita telaah adalah kekhasan Shakepeare, dan apa yang membuat Shakepeare menjadi Shakepeare, yang perlu digarisbawahi adalah tak ada karya yang 100% unik, kalau ada maka karya sastra itu tak akan dipahami sama sekali.

Menilik sejarah sastra memang akan mengantar kita menelaah jauh ke berbagai Negara. Semua pemerintahan modern membantu dan melindungi sastra negaranya masing-masing dalam tingkatan yang berbeda-beda. Perlindungan ini termasuk juga control dan pengawasan. Tangan pemerintah jelas juga menentukan ke arah mana sastra. Orde Baru misal, di masa itu kita terbelenggu secara militer dan terbatasi secara sosial, ini tentu membentuk jenis bacaan masyarakat. Kebenaran adalah wilayah para pemikir sistematis. Pengarang bukan pemikir, meskipun mereka bisa menjadi pemikir, kalau tidak ada karya pemikir lain yang dapat mereka pakai dalam karya sastra. *
Batasan sastra adalah segala yang tertulis atau tercetak, tapi karena luas maka batasan dipersempit menjadi segala yang tertulis lebih berkualitas, atau kritikus menulisnya mahakarya, buku-buku yang dianggap menonjol, karena bentuk dan ekspresinya istimewa, sastra sejatinya juga meliputi sastra lisan. Bahasa sastra penuh ambiguitas atau homonym, apa yang disampaikan tersirat. Bahasa sastra mencoba memengaruhi, membujuk, akhirnya mengubah sikap dan pandangan pembaca. Bahasa sastra penuh simbolisme suara, tanda dari kata-kata. Bahasalah yang memberi muatan puitis pada kata-kata yang digores pengarang.

Saya membaca senyaman mungkin tanpa banyak memusingkan telaah sebab memang intinya menikmati hidup. Keahlian membaca memang sangat diperlukan dan menjadi dasar untuk membudayakan apresiasi sastra dalam masyarakat, juga pilihan baca harus ke arah buku-buku bermutu. Pembaca novel paling picisan sekalipun haus akan pengetahuan. Dengan seringnya membaca, saya jadi lebih tahu mana buku berkualitas dan tidak.

Menghibur sama dengan tidak membosankan Lebih nyaman dan sering jelas jenis novel, sebab Puisi sifatnya lebih universal dan liar. Puisi semata-mata permainan bunyi dan citra. Makanya tiap tahun, bagian prosa yang terus saya kejar di penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK). Minatnya pada puisi tidak berdasarkan penilaian estetis, tapi selera pribadi, seperti halnya hobi main catur atau mengisi teka-teki silang.

Dokrin ‘seni untuk seni’ berkembang jika satrawan merasakan: ‘suatu kontradiksi yang sangat parah antara tujuan mereka dengan tujuan masyarakat. Seniman pasti bersikap bermusuhan terhadap masyarakatnya dan merasa tidak mungkin dapat mengubahnya.’Georgo Plekhanov. Perbedaan antara seni dan tidak seni sangat cair.

Jika kita memperlakukan sastra atau puisi secara serius, seharusnya ada fungsi atau manfaat sastra yang hanya cocok untuk sastra sendiri. Sastra dapat dijadikan sejarawan sebagai dokumen sosial. Manfaat dan keseriusan puisi terletak pada segi pengetahuan yang disampaikannya. Puisi lebih folosofis dari sejarah karena sejarah berkaitan dengan hal-hal yang telah terjadi, sedang puisi berkaitan dengan hal-hal yang umum dan mungkin terjadi. Puisi menjadi semacam barang kerajinan. Puisi memiliki banyak kemungkinan fungsi, fungsi utamanya adalah kesetiaan pada sifat-sifatnya sendiri.

Dulu saya sangat tertarik sama label ‘best seller’ sebab akan memengaruhi pergaulan literasi, bahwa saya update. Sekarang bukan kujadikan patokan utama. Jumlah cetakan suatu edisi buku dapat memberi gambaran tentang sukses atau reputasi pengarang, tapi tidak secara kualitas. Tere Liye tiap tahun panen, tak sebanding lurus sama mutu baca, contohnya. Manfaat kedua akan diperoleh jika fungsi utamanya habis. *
Perenungan yang diberikan seni lebih dahsyat dari perenungan yang dapat dilakukan sendiri oleh masing-masing penikmat seni Novelist tidak memiliki jalan pintas. Contoh penemuan nilai persepsi atau kualitas estetis baru. Setiap filsafat hidup tentu memiliki secercah kebenaran. Pengarang bukan penemu, tetapi pemasok kebenaran. Sebutan pembuat propaganda yang bertanggung jawab kedengarannya mengandung pertentangan, tetapi sebutan ini masuk akal jika dilihat sebagai suatu ketegangan antara dua kutub.

Jenis buku juga sangat berpengaruh dalam keputusan beli. Komik dan sejenisnya paling enggak minat punya, apalagi koleksi. Terlalu banyak ilustrasi memang terasa mengganggu, pengarang cukup memberi gambaran umum yang skeptis dan tak perlu detail. Memang selalu ada pengecualian, Winnie The Pooh salah satunya, novel dengan ilustrasi ciamik ini diperuntukkan untuk anak-anak, menawan orang dewasa. Tokoh novel muncul dari kalimat-kalimat yang mendeskripsikannya, dan kata-kata yang diletakkan di bibirnya oleh sang pengarang, di luar itu tokoh tidak memiliki masa lalu, masa depan, atau kontinuitas kehidupan.

Penilaian adalah hal yang penting, tidak dapat disanggah. Saya me-rate skor 0-5 bintang di blog ini. Walau terasa subjektif, sebab setiap orang jelas unik. Banyak faktor yang dipertimbangkan. Tidak ada satu data pun dalam sejarah sastra yang sepenuhnya netral. Sampai sekarang belum ditemukan metode kritik teks yang objektif. Perbedaan gaya pengarang pun sulit dilacak.
Fungsi sastra menurut sejumlah teoritikus, adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Emosi mereka sudah diberi fokus dalam karya sastra dan lepas pada akhir pengalaman estetis mereka sehingga mereka mendapatkan ‘ketenangan pikiran’.

Kita tak bisa membaca karya Homer atau karya Chaucer seperti orang membaca karya itu pada zaman ketika kedua pengarang itu masih hidup atau menjadi penonton Teater Dyonius di Athena atau Teater Globe di London. Pasti ada perbedaan besar antara rekontruksi imajinatif dan sudut pandang orang-orang yang betul-betul mengalami masa lampau. Makna baru dan interpretasi baru yang diberikan oleh generasi sesudahnya. Dalam praktiknya, kita sukar memilih antara sudut pandang sejarah dan sudut pandang kekinian. Kita perlu mengaitkan karya sastra dengan nilai zamannya dan nilai sesudah zamannya.

Di era digital, kita dengan lebih mudah terkoneksi sama pengarang. Satu-satunya alasan yang bisa diterima untuk tidak memelajari pengarang yang masih hidup adalah karena ilmuwan tidak dapat melihat keseluruhan karya si pengarang. Karena kita hidup sezaman dengan pengarang, kita mengenal latar tempat dan waktu yang diacu, kita dapat berkenalan langsung, membuat wawancara atau berhubungan melalui surat (email) dengan pengarang. Meskipun ada karya sastra yang erat kaitannya dengan kehidupan pengarangnya, ini bukti bahwa karya sastra merupakan fotokopi kehidupan. Penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra. Kita tak bisa menarik suatu kesimpulan yang absah dari pernyataan yang bersikap rekaan.

Hubungan karya dan hidup pengarang tidak dapat dijelaskan dengan pertalian sebab-akibat yang sederhana. Karya sastra membentuk satu kesatuan dan berada pada tingkatan yang berbeda. Karya sastra berbeda dengan buku memoar, buku harian, atau surat dalam kaitannya dengan kenyataan. Sebuah karya sastra lebih sebagai perwujudan mimpi si pengarang daripada hidupnya. Mungkin merupakan ‘topeng’, ‘pribadi berlawanan’ yang tersembunyi di balik pengarang. Dramatisasi.

Thomas Moore mengaku mencucurkan air mata ketika mengarang karya-karyanya. Puisi tetap hidup,sedangkan air mata dan perasaan penciptanya sudah lenyap – tak bisa dan tak perlu direkonstruksi. Sejak zaman Yunani, kejeniusan dianggap disebabkan oleh semacam ‘kegilaan’ dari tingkat neurotic sampai psikosis. Penyair adalah orang yang ‘kesurupan’. Penyair adalah pelamun yang diterima masyarakat. Ia tak perlu mengubah kepribadiannya, ia boleh meneruskan dan mempublikasi lamunannya.

Carl Jung berkata bahwa alam bawah sadar manusia – daerah masa lalu, masa kekanaak-kanak dan masa bayi yang tertekan ke bawah sadar – ada ‘kesadaran kolektif’, yakni daerah masa lalu umat manusia dan masa sebelum manusia ada. Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif.

Tiap periode memiliki konsepsi penilaian dan konversi sastra yang berbeda-beda. Setiap zaman merupakan satu kesatuan dengan tipe puisi yang khas, dan tak bisa dibandingkan dengan zaman lain. Aliran Klasik (diwakili Pope) dan aliran Romantik (diwakili Wordsworth), yang pertama membuat puisi yang menyatakan dan yang kedua membuat puisi yang menyiratkan. Kesusastraan bukan suatu seri karya yang unik dan tak punya kesamaan satu sama lain, dan bukan pula sejumlah karya yang terkurung lingkungan waktu seperti zaman Klasik atau Romantik.

Setiap karya seni yang ada tentu boleh disimak oleh siapa pun dan merupakan masalah artistik yang menarik untuk dipecahkan. Sastra lisan merupakan studi integral studi sastra tulisan. Karya seni adalah hasil dari penciptanya secara pribadi, jadi dalam hal ini sastra harus dipelajari melalui biografi dan psikologi pengarangnya.

Bagi seorang pelukis yang menggunakan teknik apa pun, setiap impresi juga dibentuk oleh hasil pelukisnya, karena pelukis belajar dari pengalaman yang tuntas. ‘Inspirasi’ adalah sebutan tradisional untuk faktor bawah sadar dalam proses penciptaan. Inspirasi dianggap datang tiba-tiba dan di luar control. Penggunaan malam hari (waktu kontemplasi, mimpi, dan alam bawah sadar) adalah tradisi Romantik. Tapi ada juga tradisi Romantik lain yang mengagungkan pagi hari (keseragam masa kanak-kanak) seperti mereka yang dapat menulis pada musim-musim tertentu.

Proses kreatif membutuhkan waktu, dan mayoritas mengata sabar adalah sebanding dengan mutu. Karya-karya sastra ini bukan studi psikologi atau eksposisi dari teori psikologi, melainkan drama atau melodrama. Kita dapat mengumpulkan informasi tentang latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi pengarang. Kita dapat menunjukkan apa peran kelompok bangsawan, kaum borjuis, dan kaum proletar dalam sejarah sastra.

Membicarakan tiap generasi, otomatis kita akan menjelaskan keadaan sosial di tiap masa. Sastrawan dipengaruhi dan memengaruhi masyarakat: seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan. Bagaimana cara kita menentukan pengaruh sebuah buku terhadap pembacanya? Apakah pengaruh Dickens menyebabkan perbaikan keadaan penjara, sekolah anak laki-laki, dan asrama anak-anak miskin?

Sastra Eropa modern ditulis oleh kelompok kelas menengah karena kelompok bangsawan selalu mencari waktu bersantai, sedangkan baum kelas bawah hanya mempunyai kesempatan yang sangat terbatas untuk memperoleh pendidikan. Tenaga ahli yang terorganisasi dalam gilda-gilda puisi. Bertumbuhnya masyarakat pembaca, munculnya majalah resensi buku, membantu sastra menjadi institusi mandiri.

Tentang para tokoh sastra, saya jelas sangat terpengaruh. Anak pertama saya nukil dari artis Irlandia setelah terpesona menonton film berdasarkan novel klasik. Anak kedua, Hermione. Rasanya tak perlu kujelaskan apa dan bagaimana tokoh sihir dari London ini. Anak ketiga, pula kuambil dari tokoh fiktif kisah sihir karya Neil Gaiman.

Selain hubungan asosiasi kata dengan kata yang lain, ada juga asosiasi pikiran dengan objek. Secara sadar mengontrol masuknya imaji-imaji yang dalam reservoir (‘sumur’ alam bawah sadar). Semakin banyak dan berbeda-beda watak tokohnya, semakin tidak jelas sosok penulisnya. Yang kita dapatkan hanyalah sejumlah alternatif yang bisa menjelaskan mutu teks yang ditulis paling akhir.

Karya penyair tidak akan beredar kalau tidak secara langsung menyenangkan masyarakat. Anak-anak muda lebih langsung dan lebih mudah terpengaruh bacaan ketimbang orang tua dan bahwa pembaca yang kurang berpengalaman memperlakukan sastra secara lebih naïf.

Reputasi juga berkaitan dengan masalah tanggapan pembaca. Tanggapan pembaca dari satu periode diselidiki melalui sejumlah pernyataan resmi yang dianggap mewakili pendapat umum. Jadi masalah ‘selera yang berubah-ubah’ bersifat ‘sosial’, dan dapat diletakkan pada dasar sosiologi yang jelas. Hubungan karya dan publik tertentu dapat ditelusuri melalui sejumlah edisi dan buku yang terjual.

Sastra adalah gudang adat istiadat, buku sumber sejarah peradaban, terutama sejarah bangkit dan runtuhnya kesatuan. Saingan sastra adalah pengetahuan. Sastra memberikan pengetahuan dan filsafat. Sastra bisa dianggap lebih umum dari sejarah dan biografi, tapi lebih khusus dari psikologi dan sosiologi. E.M. Forster (Aspect of the Novel) mengatakan bahwa sedikit sekali orang yang kita kenal jalan pikiran dan motivasinya. Oleh karena itu, novel sangat berjasa mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokohnya.

Mungkin agak terlambat membaca ini, tapi tak pernah ada kata terlambat untuk mengejar karya-karya bermutu – baik fiksi atau non. Buku ini mengajarkan bahwa dasar sastra sangat perlu dipelajari untuk menjadi peng-kritik/penilai/pemberi ulasan buku sastra, sangat amat rekomendasi. Ya Allah, betapa saya cinta kesusastraan. Terima kasih untuk teori literasi ini. Bobot mutunya terjamin. Sebagai penyataan penutup, saya kutip dari Longitus, seorang kritikus sastra berpengaruh yang pernah menyusun peringkat sastra klasik pernah bilang, “Sastra terbuka untuk dinilai semua orang, tetapi ‘semua’ di sini dibatasi untuk ‘semua penilai yang kompeten.’”

Nah ‘kan! Mari membaca lebih banyak lagi biar kompeten. (

Teori Kesusastraan | by Rene Welleck & Austin Warren | Judul asli Theory of Literature | Harcourt Brace Jovanovich Publisher, San Diego, New York, London, 1977 | GM 616202050 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Februari 1898 | Cetakan keenam (cover baru), September 2016 | Penerjemah Melani Budianta | Desain sampul Suprianto | Pewajah isi Fitri Yuniar | ISBN 978-602-03-3428-8 | Skor: 5/5

Karawang, 111220 – 171220 – Yusuf Cat Steven Wild World (Live Festival de Vina 2015)

Iklan

3 komentar di “Buku Panduan Kesusastraan Istimewa

  1. Ping balik: 14 Best Books 2020 – Non Fiksi | Lazione Budy

  2. Ping balik: Buku-buku yang Kubaca 2020 | Lazione Budy

  3. Ping balik: Sastra adalah… Yang Gelap-Gelap Gitu, ‘Kan? | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s