Sastra Indonesia memang tengah bergeliat, sangat menyenangkan kita hidup di era serba digital. Di masa kini, buku-buku dengan mudahnya kita cari dan dapatkan. Bermodal android dan pertemanan di dunia maya, tinggal ketik di pencarian maka abracadabra, muncullah. Dalam dunia maya segalanya mungkin, seolah Tuhan berkata, “Fiat lux!” (jadilah terang), maka dalam hitungan hari buku yang dicari sudah bisa dinikmati. Setiap kemudahan sejatinya dibarengi dengan tikaman ancam, maka dunia kertas yang sudah seabad lebih menguasai pasar perbukuan kini dalam raungan alarm akan serbuan bentuk digital. Banyak yang sulit beradaptasi, kenikmatan aroma buku dalam kenyamanan menjadi benteng akhir untuk dipertahankan. Namun sampai kapan? Sampai angin dan matahari hanya membicarakan kesepian.
Memulai bulan dengan buku non-fiksi tentang kepengarangan, sulit selesai walau sebenarnya lanjutan dari Agustus. Dilanjutjan tema yang sama untuk teori bahasa dalam EYD dan buku tipis curhat proses kreatif, lainnya memang special KSK dan tambahan saat beli di Dema Buku.
#1. Pengarang Tidak Mati – Maman S. Mahayana
Membaca karya sastra sebagai kegiatan membuang-buang waktu. Mereka membaca karya sastra dicap sebagai pemalas. Inilah pandangan sebagian besar masyarakat kita mengenai profesi sastrawan dan memperlakukan karya sastra sebagai karya tidak mendatangkan manfaat apa-apa. Buku yang padat sekali teori kesusastraan Indonesia. Ditelaah dari sastra mula Nasional sampai yang terbaru (ketika buku terbit). Tajam dan menyenangkan.
#2. Buku Pintar Ejaan Bahasa Indonesia – Teguh Trianton & Septi Yulisetiani
Berisi pengetahuan basic tentang bahasa Indonesia. EYD, aturan baku, peletakaan tanda baca yang tepat, hingga contoh-contoh kalimat yang benar dalam penyusunan naskah. Sekadar pemantaban aturan baku. Contoh paling nyata, bagaimana menulis angka yang benar: “1 atau satu dalam kalimat?” atau penggunaan titik koma yang elok itu di mana? dst… Pengetahuan dasar tapi berguna karena menjawab beberapa keraguan.
#3. Tentang Menulis – Bernard Batubara
Perjalanannya menjadi penulis, waktu menempanya, dan keberanian menjadi penulis penuh waktu setelah keluar dari pekerjaan di dunia penerbitan yang menjamin pendapatan rutin. Lulus kuliah menjalani ‘free time’ sebelum menyelam ke rutinitas kerja. Menulis buku cinta yang mendapat respon lumayan bagus di pasar, tapi kurang ok di mutu sampai-sampai ada pembaca yang bilang sampah memberi nilai satu bintang di Goodreads sampai melecutnya. Sepakat, tentang taka da penyesalan telah menulsi roman picisan. Karena waktu sudah berlalu, dan yang lalu hanya tinggal kenangan. Dengan roman picisan itu, Bung Bernard berhasil menulis Mobil Bekas yang terkesan! Yang menjadikannya biasa Tentang Menulis adalah, mungkin pemilihan diksi dan delivery-nya yang standar. Hal-hal biasa yang juga menimpa rakyat kebanyakan dalam kegamangan dan keraguan menentukan karier. Hal-hal biasa yang ditulis dengan biasa. “Apa pun yang kamu ocehkan secara berulang-ulang di platform digitalmu, lambat laut akan membentuk citramu…”
#4. Born to Win – Promod Batra, MBA
Hal penting dalam kehidupan adalah sikap Anda. Kejujuran masih merupakan kebajikan terbaik, dengan sedikit akal budi. Buku-buku motivasi dan self-improvement meungkin adalah buku-buku akhir yang akan kupilih nikmati, karena pada dasarnya kita semua tahu bahwa yang mendorong untuk maju adalah kalian sendiri. Bukan dari luar, dari pribadi luhur terdalamlah apa yang akan mencipta behagia di masa depan. Buku ini sejatinya sekadar iseng kubeli, bersama dengan tumpukan novel utama, saya menyebutnya buntut, buat pelengkap budget, maka ketika kubaca di tengah gempuran KSK, menjadi buku selingan yang nyaman dan asyik. Teorinya tentu sudah banyak kalian tahu, tapi tetap saja ketika disajikan dalam ringan dan mudah masuk, menjadi santapan bervitamin. Berpikir positif, keratif, dan inovatif. “Ya Tuhan berilah aku lebih banyak masalah serta kebajikan untuk memecahkannya.”
#5. Burung Kayu – Niduparas Erlang
Buku yang kental sekali budaya daerah Mentawai, di pedalaman Pulau Siberut, Sumatra. Banyak kata daerah disodorkan, butuh beberapa kali baca kata itu muncul dan diulang untuk paham, karena di sini tak ada bantuan/glosarium. Imajinasi naratif yang rada kebablasan. Temanya mempertahankan budaya asli di tengah gempuran modernitas, pemerintah pusat (Jawa) yang mencoba masuk, mendirikan perkampungan baru, memberi bantuan rutin, memberi opsi agama International, mencoba memberi napas pemikiran baru. Sementara kebiasaan lama dengan roh kepercayaan, seteru dengan suku sebelah, sampai kebiasaan-kebiasaan yang turun dari moyang perlahan kena gusur. Tema bisa juga lebih melebar dengan unsur memertahankan lingkungan asli, hutan yang sudah banyak yang dibabat itu harus dilawan. Namun tak, lebih ke drama keluarga. Seperti kata-kata di sampul belakang, ini tentang dendam yang terkorusi waktu dan keadaan. Mereka diikat kepentingan yang sama: menyelamatkan hutan dari penggundulan, menuntut ganti rugi atas lading dan hutan yang akan dimanfaatkan perusahaan. “Mengapa dendam dan pertikaian tak berkesudahan?”
#6. Surat-Surat Lenin Endrou – Maywin Dwi-Asmara
Berisi dua puluh cerpen dengan jumlah halaman hanya seratus lima puluhan, sungguh cerita amat pendek. Mau disebut fiksi mini, tapi ya engga mini, mau di sebut cerpen standar Koran Nasional di Minggu Pagi tapi masih terlalu sedikit, terutama sekali bagian dua, hanya dua tiga lembar. Isinya menukik, ibarat naik sepeda, Surat Lenin sudah starter di atas serasa sejuk dan menyenangkan, dan kayuhannya menurun landai sampai akhirnya Menuju Roma terjerebab. Kebanyakan memainkan narasi, pertama masuk sih masih ok, di tengah masih bisa menikmati, ternyata gaya bertutur ini bertahan sampai akhir. Lenin mati di awal, Veronica mati di tengah, dan bertebaran kasus pembunuhan sepanjang halaman. Tema mencoba dibuat beragam, penuturannya dibuat lain, tapi cerita ya gitu-gitu aja. Kalau dalam satu kata, cara berceritanya sungguh monoton. Kamu boleh saja bermain-main kata, melalangbuana menjelajah semesta lingustik, tapi tetap yang utama cerita harus bagus. “Kematian akan mengobati semua lukamu.”
#7. La Muli – Nunuk Y. Kusmiana
Buku kedua dari Nunuk Y. Kusmiana yang kubaca setelah Lengking Burung Kasuari yang memukau itu, debut yang sukses berat. Kali ini temanya lebih variatif, mengambil sudut pandang penduduk asli Papua yang ditunjuk menjadi ketua RT, mencoba memecahkan masalah warga, menjadi penghubung pemerintah dan penduduk asli dan juga pendatang. Sebagai nelayan yang baik hati. Pondasi utama cerita ini adalah sebuah sumur yang terbuka yang coba dibuatkan dinding agar tak terjadi porno aksi, mereka dianggap melakukan mandi dengan porno sebab area terbuka, mengenakan sarung untuk dewasa dan telanjang bulat untuk anak-anak. “Masuk neraka saja komandan itu. Bikin susah semua orang, mentang-mentang dong tidak pernah mengalami susah air.”
#8. Rab(b)i – Kedung Darma Romansha
Pernah nyaris kusingkirkan novelnya (walau sudah kubeli) karena ada unsur ‘Roma-nsha-nya’ di nama belakang, tapi urung setelah sosmed mencipta hubung, memastikan bukan Romanista. Penulis Indramayu yang pernah mondok di Yogya, dan kuliah jurusan Bahasa dan Sastra di UNY. Boleh jadi semua yang ditulis tentang tanah kelahirannya adalah fiksi, tapi bercerita tentang dunia sekitar adalah hal wajar dan tentu saja tampak sangat nyata, ga perlu telaah mendalam untuk bilang tokoh Aan adalah gambaran Kedung, walau nantinya keduanya berinteraksi. Makanya tampak perkasa dan baik hati, dan eeheemmm… soleh. Lulusan pesantren! “Jangan macam-macam dengan nama, karena nama adalah doa.”
#9. Kawi Matin di Negeri Anjing – Arafat Nur
Novel pilu, karakternya apes dari halaman pertama sampai akhir. Pokoknya sial terus. Ga ada karakter abu-abu, yang jahat bener-benar jahat (seluruh tentara adalah penjahat), yang baik terus memupuk kebaikan (Syakban contohnya, baik banget kau Pakcik), dan yang apes seolah tak mengenal kata bahagia (karakter utama). Padahal manusia adalah gudanganya keraguan. Kata Ernest Renan, keraguan adalah penghormatan terhadap kebenaran. Takdir, rejeki, jodoh sudah ada yang atur, dalam novel jelas sang pengatur itu adalah Penulis. Maka tokoh utama dalam Kawi Matin di Negeri Anjing mengalami segala hal buruk yang bisa ditimpakan kepadanya adalah rekaan. Novel yang mengetengahkan nasib daerah ujung Barat Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir. Memang menjual kritik tapi tak harus memilu paksa gini juga. Sebagaimana sejarah komunis di negeri ini, pemberontak Aceh pun harus ditumpas habis sampai ke akar-akarnya. “Negeri ini negeri anjing, jika aku tidak diterima menjadi orang baik, aku akan menjadi orang jahat.”
#10. Leak Tegal Sirah – I Gusti Putu Bawa Samar Gantang
Bali dengan segala mistis relijiusnya. Magis menghanyutkan. Dari judulnya sudah seram, memakai kata leak dalam judul, lalu kat tegal sirah adalah Banjar Tegal Sirah unik dan spesifik. Mistik yang terletak di Desa Dauh Pasar. Cerita dituturkan dengan santai, tapi malah mencekam karena dalam kata-kata sederhana terdapat horror super teror terjadi setiap malam. Mereka yang dicap komunis dibantai seperti anjing rabies. Karma terbiasa melihat rumah terbakar layaknya membakar batu bata. Nunjel citak, istilah orang kampung untuk bakar rumah dengan batu bata. Manusia dibantai liar, layaknya membantai binatang saja. “Ya, kalian harus belajar. Harus sekolah kalau ingin pintar.”
#11. Orang-orang Oetimu – Felix K. Nesi
Banyak sekali kritik sosial disampaikan. Korupsi, perilaku buruk masyarakat, sampai birokrasi yang ribet. Orang-orang itu telah korup sejak dalam pikirannya, sehingga satu pejabat korup hanya akan digantikan oleh kroninya yang juga korup, dilindungi oleh rezim yang juga korup, dipermudah oleh sistem yang juga korup, dan didukung oleh budaya tidak tahu malu yang menjijikan. Atau kritik kekerasan dalam pendidikan. Dalam asrama itu diperboleh. Tak apa jika mereka dibikin nyonyor dan berdarah-darah. Lebih baik berdarah di masa muda daripada hancur seluruh masa depannya… “Jika kita selalu menjadikan Tuhan sebagai pelita, sebagai penuntun jalan kita, maka kita pasti bisa menjalani setiap cobaan di dunia ini.”
#12. Pandemik! – Slavoj Zizek
Jika kehidupan pada akhirnya kembali ke arah normalitas, tidak akan sama dengan keadaan normal seprti yang kita alami sebelum wabah. Mari hadapi New Normal ini bersama dengan optimisme. Immanuel Kant menulis, “Patuhi, tetapi pikirkan, pertahankan kebebasan berpikir.” Apa yang salah dengan sistem ketika kita tak siap menghadapi bencana meskipun ilmuwan telah memperingatkan kita tentang hal itu selama bertahun-tahun.
September adalah jadwal baca ulas KSK, ada tujuh buku sendiri khusus untuk moment ini. Dan segalanya berjalan menasyikkan hingga kemarin muncul pengumuman pemenang yang… ah sudahlah…
Karawang, 161020 – Bill Withers – Lean on Me