Kawi Matin di Negeri Anjing by Arafat Nur
“Negeri ini negeri anjing, jika aku tidak diterima menjadi orang baik, aku akan menjadi orang jahat.”
Novel pilu, karakternya apes dari halaman pertama sampai akhir. Pokoknya sial terus. Ga ada karakter abu-abu, yang jahat bener-benar jahat (seluruh tentara adalah penjahat), yang baik terus memupuk kebaikan (Syakban contohnya, baik banget kau Pakcik), dan yang apes seolah tak mengenal kata bahagia (karakter utama). Padahal manusia adalah gudangnya keraguan. Kata Ernest Renan, keragu-raguan adalah bentuk penghormatan terhadap kebenaran. Takdir, rejeki, jodoh sudah ada yang atur, dalam novel jelas sang pengatur itu adalah Penulis. Maka tokoh utama dalam Kawi Matin di Negeri Anjing mengalami segala hal buruk yang bisa ditimpakan kepadanya adalah rekaan. Novel yang mengetengahkan nasib daerah ujung Barat Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir. Memang menjual kritik tapi tak harus memilu paksa gini juga. Sebagaimana sejarah komunis di negeri ini, pemberontak Aceh pun harus ditumpas habis sampai ke akar-akarnya.
Ayahnya meninggal dibunuh pasukan penjaga perdamaian atau sebagian di mata orang sana menyebutnya penjajah, setelah sempat kehilangan ingatan atau bisa dikata error. Ibunya sakit-sakitan, sepanjang halaman bengeknya ga sembuh, makan pelepah pisang yang direbus dan kekurangan beras menjadi rutinitas, kakaknya meninggal karena keganasan peliharaan sendiri, ditanduk karena memberi kasih, dan adiknya yang jelita menjadi korban pelecehan, kamu enggak akan pernah tahu tetangga mana yang harus diwaspadai. Ditambah, kekasihnya memiliki anak dari tindak pemerkosaan. Sekalipun Kawi tahu Baidah telah memiliki bayi, perasaan kepada perempuan itu tetap sama. Tidak akan berubah, sekali cinta tetap cinta. Luar biasa memang jagoan kita ini. Kuat fisik dan mentalnya. Ramlah, ibu Baidah turut terenyuh. “Aku belum pernah dengar nama seaneh itu.” Kawi yang terlahir kekurangan fisik di sebelah kakinya, mengangkat senjata melawan ketidakadilan kehidupan.
Kawi Matin adalah anak kedua dari pasangan Rahman dan Saudah dari Aceh, kakaknya Kadir, begitu rupawan, dan adiknya Neung Peung juga sama manisnya. Kakaknya menjadi penjaga, pembelanya ketika ada yang berkata kasar, menghajar begundal yang berani menganiaya, makanya dimatikan. Ayahnya memberi nama Kawi Matin, berharap anak itu menjadi seorang lelaki kuat dan kukuh dalam menghadapi berbagai takdir dan nasib buruk yang menyertainya kelak. Kawi berarti kuat, matin berarti kukuh. Terlahir tahun 1983, dengan kondisi sebelah kakinya tak memiliki ruas tapak sama sekali.
Keluarga miskin yang bertani dengan tanah sepetak, kadang menyewa lahan tetangga atau beternak ayam. Kehidupan khas pedesaan, untuk memperbaiki taraf hidup, ayahnya menabung guna membeli lembu betina dengan niat mengikuti tetangganya yang sukses beternak Leman yang berawal satu lembu, menjelma puluhan. Apes memang menjadi nama tengah Kawi Matin. Lembu yang diharapkan menjadi kebanggaan keluarga itu malah membunuh Kadir, setelah bayi lembu yang suka dielusnya membuat marah binatang itu dan menanduk kakaknya. “Lembu tidak bisa berpikir.” Malah dijawab, “tapi ia punya perasaan…”
Rahman dengan amarah membuncah, mengikat lembu di pohon dan menghakiminya. Seminggu kemudian, lembu kurus yang sekarat itu dijadikan santap lauk buat semacam ‘hajatan tujuh harian’ kematian Kadir. Orang miskin yang mengadakan tahlilan dengan mewah. Nah, polemik utama buku ini bukan drama keluarga, tapi kritik sosial atas pendudukan Indonesia di sana. Karena ada pemberontakan Aceh Merdeka, yang dipimpin oleh Suman, yang ternyata memang tetangganya. Pasukan dari Jawa menjaga, mengontrol daerah itu. Kisah berkutat di sana sampai akhir, memberhangus orang-orang yang ingin merdeka. Orang-orang Pasar Kareung dianggap berkomplot dengan pembangkang.
Rahman yang apes, suatu ketika dipukuli hingga koma karena terlambat jaga ronda, operasi otak dengan menjual tanah yang tak seberapa memang menyelamatkan nyawanya, tapi tidak dengan cara berpikirnya. Rahman, pukulan serdadu di kepalanya itu telah membuatnya menjadi manusia tidak terlalu berguna. Sejak itu, Kawi menjadi dewasa lebih cepat karena menjadi tulang punggung. Dia bekerja dengan sangat gigih, melebihi kesanggupan petani mana pun di Kareung. Keluar sekolah, berladang, menjadi buruh, dan pekerjaan keras di usia remaja itu membentuk fisiknya yang lebih tangguh nan prima.
Ada tetangganya, teman sekolah bernama Darwin yang suka mem-bully-nya memanggil Si Pincang, ternyata nantinya juga menjadi ‘musuh’ yang harus dilenyapkan. Dengan ekonomi pas-pasan, dengan segala kekurangan yang ada. Nasib buruk malah menimpa adiknya, menjadi korban pelecehan seksual. Hukum menjadi tumpul, karena sang pelaku lepas, membakar dendam Kawi. Banyak sudah ketidakadilan di dunia ini, dunia memang bukan tempat yang adil. Suman membakar emosinya, “… Kelakuan jahat tentara yang sudah membunuh ayahmu, membunuh orang-orang kampung, dan menjajah kita, apakah hatimu tidak tergerak, apakah hatimu tidak marah?”
Dewasa lebih cepat itu mengarah kepada Suman, sang pemimpin pemberontakan. Awalnya hanya ditugaskan menjadi penghubung komunikasi dengan HT yang disembunyikan di bawah pohon nangka, seolah memang diuji kesediaanya, lalu naik pangkat menembak, walau hanya senjata pistol jarak dekat, ya ampun diberi contoh menembak pantat tentara yang sedang buang hajat! Kawi, dibaiat menjadi pejuang bersentara, bersama dua belas prajurit di bawah komandan Suman. Dan endingnya akan mengangkat senjata AK-47, M-16, atau AK-56. Hanya butuh sepucuk pistol penuh pekuru. Justru peristiwa yang mengubrak-abrik hidup Kawi itu terjadi di saat perang sudah berakhir. “Berjuang untuk kemerdekaan atau berperang untuk balas dendam, apa bedanya?”
Novel kedua Bung Arafat Nur yang kubaca setelah Bulan Kertas yang bertema cinta remaja. Kuras atak terlalu jauh beda, penampilan dan tata cara bertutur juga segaris lurus, tergesa dengan detail yang sering diabai. Hanya temanya sekarang lebih besar karena menyangkut Aceh, bukan jiwa remaja labil.
Hukum bisa dibeli, asal ada uang. Apapun tidak ada masalah di negeri yang berazaskan keadilan sosial ini. Karena miskin, merana, dan tidak memiliki uang, maka Kawi tidak berkutik di hadapan hukum negeri ini. Ada empat orang yang menjadi target tembak, sang gubernur yang berbelit birokrasi, sang peternak lembu yang menjerumuskan, sang tetangga yang bejat dan kepala kampung yang juga belibet. Ini bukan spoilert, tapi memang awal untuk akhir. Kalau boleh menambahkan, Bidin juga tembak tuh, rekan seperjuangan? Meh!
Benar-benar lenyap dan sunyi sekali. Bagaimana peluangnya di KSK 20? Kurasa sangat tipis, cara bercerita yang menurutku sangat umum. Engga banyak liukan kata, diksinya ga dijelajah jauh, detailnya banyak abai, dibaca di kerumuman juga masih bisa, engga perlu konsentrasi berlebih. Mungkin temanya bagus, mungkin pula maksudnya memberi kritik Pemerintah, tapi masih jauh lebih bagus, misalnya Azhari Aiyup yang mengukir hampir seribu kata dengan mengambil sisi lain, lebih indah dan mengena.
Seperti kata Baidah, “Kau terlalu memaksakan diri.” Hidup ini memang keras, tapi segala nasib – kata para motivator yang tayang di jam utama di tv, tergantung dari respon. Nah respon Kawi memang sudah bulat, “Aku juga akan menjadi anjing.” Kecewa Luka batin serdadu di negeri anjing.
Kawi Matin di Negeri Anjing | by Arafat Nur | Editor Eva Sri Rahayu | Pemeriksa aksara Aris Rahman P. Putra | Tata sampul HOOK STUDIO | Tata isi @kilikata_ | Pracetak Kiki | Penerbit Basabasi | Cetakan pertama, Maret 2020 | viii + 172 hlmn; 14 x 20 cm | ISBN 978-623-7290-68-1 | Skor: 3.5/5
Hidup ini jalan pendek banyak liku. Jalur lurusnya lebih panjang, berakhir buntu.
Karawang, 210920 – Sherina Munaf – Lihatlah Lebih Dekat
Thx to Basabasi, Titus Pradita, Shopee
Lima sudah, Sepuluh Menuju – KSK 20