Perempuan itu Bernama Anick by Titie Said

“… Hentikan penyelidikanmu, kamu kira aku tidak tahu kamu sering pergi? Kamu harus bisa menerima takdir. Aku tahu kamu sedang mencari keadilan… bekerja di tempat maksiat tapi tak tahu bahayanya, jangan sok suci!” – Naning

Novel yang mencoba action, dengan beking utama cerita tentang narkoba, pelacuran, dan segala dendam kesumat, tampak akan menjadi kisah aksi heroic dengan tembakan, sabetan golok, serta taburan shabu di mana-mana. Dituturkan dengan tempo sedang, tapi jelang akhir sungguh tergesa seolah ada gerebek yang bikin kerumunan harus bubar, harus selesai. Sempat berharap akhir yang pilu nan tragis, karena suram adalah koentji, apalagi sempat terjepit di restoran dalam serbuan maut, nyatanya berakhir bahagia. Sang jagoan walau ga bisa mengayunkan golok, terlihat hebat, lolos terus dari malapetaka, yah kecuali petaka utama menjadi korban perkosaan.

Kisahnya tentang Ana Maria dengan nama beken Anick, nama Anick lebih prestise daripada nama-nama komersial artis. Begitu pula nama-nama gadis penjual seks lainnya bernama gaul: Deasy, Devy, Debra, Betty, Ratih, Leoni, Sylvia… Jangan heran, KTP dobel satu tripel sudah biasa untuk para perempuan yang gelimang dosa ini. Ia adalah seorang istri dan ibu dua orang anak yang teraniaya. Orangtua penganut Katolik yang saleh, tetapi kenyataannya ia ‘abangan’ dan agama hanya tercantum dalam KTP. Kedua anak yang ikut di Kartasura-Solo: Dinda dan Dandi.

Dibuka dengan keadaan Lokasliasai Kramtung, Kramat Tunggak, Jakarta. Sebagai pelacur yang intelek, eksklusif. PSK amat takut sama sinar matahari yang berlebihan yang dapat merusak kulit, sebab kulit menjadi asset utama. Lelaki selalu gandrung pada kulit mulus. Karena apa pun juga namanya toh kerja begitu tetap tidak terhormat, tetap nista. Dibawah naungan Ibu Datu, Ibu yang tidak mau disebut mami, sebab menurutnya sebutan Ibu lebih anggun. Mami di lokasi kamu punya konotasi mucikari. Anick lalu bercerita asal mula bagaimana ia bisa terjun di lembah dosa. Penderitaan yang membuatmu berubah, rasanya aku tak mengenalmu lagi.

Anick terlahir sebagai anak tunggal dari Kartasura, sebagai seorang Katolik pernikahan adalah sakral dan sekali. Maka di pernikahannya dengan Sal yang kandas tak jelas, ia mencoba tegar. Hubungan dengan Sal dari Surabaya sebenarnya ditentang, tapi darah muda yang menggebu mencipta anak pertama yang akhirnya menikah, dan hanya berselang tiga bulan ia hamil lagi. Dinda dan Dandi seharusnya menjadi pelita keluarga. Rumah sederhana, usaha kecil-kecilan, dan tekad membaja untuk membuktikan kepada kedua orang tua akan kekuatan cinta yang menyatukan. Nyatanya, Sal ga bisa diajak susah, rumah digadai buat modal usaha taksi. Di awal sih bayar cicilan lancar, petaka tiba ketika ada kecelakaan, lalu pembayaran tersendat. Akhirnya Sal kabur, pulang ke rumah orangtuanya, meninggalkan Ana dan anaknya.

Kalut karena ekonomi ambruk membuat Ana harus memutar strategi. Tawaran menjadi koki di restoran Jakarta mengantarnya ke tanah ibu kota. Bersama Naning tetangga sekaligus bosnya mengarungi kerasnya kehidupan kota. Terkenal dengan racikan mantab, Ana menjelma koki idaman. Berjalannya waktu, ia mengenal para pelanggan. Naas, restoran itu ada di kawasan hitam pelacuran, istilah ‘ojo cedak kebo gupak’ cocok menampilkan keadaan. Ana yang terjebak pusaran, ketika Naning sedang keluar kota, dua komplotan preman: Geng Berto dan Geng Johny memperebutkannya, berakhir bencana dan kasus pemerkosaan.

Traumatis, Ana menuntut dendam. Tidak ada Ana Maria, adanya Anick. Kini ia bertranformasi identitas. Dengan nama baru, ia melakukan perburuan. Nama-nama pelaku dicatat, ditelusur, dan disusun kesumat. Melalui Monik yang belia 18 tahun!, ia yang terjerat narkoba, Anick mencari informasi. Niatnya sempat dilarang Naning, efek pelaporan akan panjang nan berliku. Lawannya adalah preman kawasan, taka da saksi, bukti minim. Rencana dendamnya dianggap gila, tapi pertunjukan harus jalan. Monik tewas dalam sakaw, entah dibunuh ataukah benar-benar kolaps?

Anick mendapat kenalan bos Priok yang pilu. Ia menjadi penguasa Jakarta Utara, terpesona sama masakan Anick, lalu melah menjadi pelanggan pijatnya. Di sinilah susunan dendam itu tampak bisa dilaksanakan. Anick mengompori Basuki Cobra, ‘Sang Presiden Preman Priok’ bahwa mereka para penjahat sedang menyusun serangan maka harus dihentikan, beberapa hari kemudian muncul di berita beberapa penjahat teri pelaku pelecehan seksual itu tewas, sebagian ditangkap polisi. Anick mencatat nama-namanya, dan tersenyum puas. Namun malamnya ia merasa berdosa, melakukan penghasutan pembunuhan, jelas dilarang dalam agama.

Satu lagi pelaku yang belum terlaksana, Jangkrong. Seorang Bandar narkoba, tampilan miskin hanya kelabu, Cobra yang mendapat informasi dari Anick betapa berbahayanya sang penjahat, besoknya target utama itupun berakhir tewas juga. Selesai sudah kesumatnya. Selesai pula kisah? Belum. Kematian Jangkrong malah berdampak panjang. Naning panik karena ia dititipi bungkusan penuh narkoba, bersama Anick yang juga kalut dan bingung mau diapakan barangnya? Setelah melalui perimbangan panjang, dibuang di sungai, ditabur bak perayaan akhir kremasi.

Anick lalu berkenalan dengan Henri, bos narkoba yang secara tersamar menjadikan sang protagonist penyalur. Dengan sebungkus buah, di dalamnya tersembunyi bubuk dan pil maksiat. Henri menitipkannya, nanti ada yang ambil. Gitu terus, kegiatan bejat ini tak disampaikan ke Cobra. Anick berupaya mencoba menjadi semacam agen, mengamati, mengelabuhi seolah ia adalah penyalur. Setelah mendapat kepercayaan, barulah melapor ke Cobra. Melakukan penggrebekan, dan jaringan Henry dan sedikit di atasnya terputus. Sudah? Belum, sedikit lagi.

Tentu tak semudah itu kabur. Jaringan narkoba itu luas dan menjerat, tak mudah melepas belitannya. Apalagi Anick menjadi agen yang menyamar sehingga menjadi target operasi dendam mereka, kedua anaknya segera diamankan anak buah Cobra. Cobra sendiri memiliki kisah pilu, seorang pembantu yang diajak menikah anak juragannya yang ayu. Yang ternyata setelah sah, tahu istrinya hamil empat bulan. Kehidupan yang terasa tak adil, hanya simbok dan Anick yang membuatnya luluh. Sampai dipanggil cah ayu, saking dekatnya mereka. Ada selip asa menikah, ada harapan akan bersatu gembong mafia dan sang protagonist. Kabar balas dendam itu mencipta ketergesaan. Anick diminta kabur, ia sudah tak aman, Naning sebagai pemilik restoran panik luar biasa. Dan seakan diburu waktu, restoran yang menjadi tempat transaksi ini akhirnya diluluhlantakan, menjelma medan tempur yang mematikan sang pria bertato cobra.

Lalu bagaimana Anick bisa terjerat ke rumah prostitusi? Dalam keadaan putus asa, tak ada gelayut dan harapan entah mau kemana. Muncullah Ibu Datu, memberikan penawaran. Endingnya sendiri, Anick mencoba menolak kenyataan pahit lumpur dosa. Aku takut seandainya mereka tahu bahwa ibunya kini bernama Anick dan mencari uang dari kerja yang erat kaitannya dengan kerja haram. Ayahnya yang marah meninggal dunia, uang kiriman ternyata ga ada yang mau pakai karena uang haram, mereka gunakan untuk membantu warga miskin, anak-anak yang putus sekolah. Lalu ketika akhirnya ia mudik, penolakan itu mencipta identitas baru. Ana, Anick, Mina, gadis sederhana nan solehah di kampung, teman SDnya.

Ini adalah buku pertama Titie Said yang kubaca. Pengalaman unik menikmati cerita tentang jaringan narkoba lokal. Premanisme, protitusi, kemiskinan, penghiatan, dendam. Tema yang sangat beragam, buku tipis maka tak heran banyak adegan tergesa. Mbak Titie sendiri mencoba mengankat tema feminism, memperjuang persamaan gender. Seperti perbedaan pandang tentang status. Itulah enaknya laki-laki, sama-sama tidak bermoral tetapi tidak mendapat sebutan jelek. Seolah ada ketidakadilan gender. Betapa wanita sering dilecehkan, menjadi nomor dua, di sini sebagai orang Jawa, wanita menjadi orang sendiko dawuh sama keluarga, terutama suami. Hal-hal yang dulu tabu memang di era sekarang mulai dikikis, atas nama kemajuan zaman, segala kesempatan di dunia ini mencoba setara. Tema seperti ini sekarang sudah banyak dibuat, terutama karya Ayu Utami yang lebih ganas dan vulgar. Perempuan Itu Bernama Anick lebih soft, lebih nyaman diikuti, mungkin karena kolaborasi dengan BNN sehingga bahasanya lebih umum untuk dinikmati luas khalayak.

Entah kenapa novel ini tanpa identitas yang biasanya berada di halaman awal, dengan kover polos berdasar warna hitam, tulisan merah menyala memikat ancaman. Tak ada ISBN, tak ada penyuntingan, pun proof reader sehingga teramat disayangkan typo di banyak tempat. Bahkan aturabn dasar seperti titik atau koma, justru berjeda di awal dan belakang kata di beberapa lembar. Justru dua surat lampiran resmi dari BNN (Badan Narkotika Nasional) yang mengucap terima kasih, tercantum lengkap stempel dan ttd Kalakhar BNN, sebagai langkah proaktif dalam memasyarakatkan bahaya penyalahgunaan narkoba dan zat-zat psikomatik. Plus sederat ucapan terima kasih, sehalaman penuh. Sederhana eksotis, kover hitam dengan pengantar BNN di dalamnya!

Niat bagus, cerita lumayan bagus, tapi tetap ga bisa memacu andrenalin tanya dan penasaran. Sehingga tebakan akhir bahagia sudah tampak menjadi wajar bahwa jagoan akan selamat. Sekadar bacaan untuk menyelesaikan baca buku Juli ini, sebulan jelang KSK 2020.

Aku bukan Ana, Ana sudah mati. Aku bukan Anick, ia telah mampus. Kotor, minggat, memalukan… jangan panggil aku Ana, jangan panggil aku Anick, panggil aku Amina…”

Perempuan itu Bernama Anick | by Titie Said | Novel kerja sama BNN dengan D’Best dan Diamond | Note: Tidak ada identitas buku | Terbit tahun 2003 | Skor: 3/5

Karawang, 130720 – Bill Withers – In the Name of Love

Thx to Anita Damayanti, tiga dari Sembilan.