Cala Ibi #2

Bagaimana mungkin ia bisa menutup mata, jika apa-apa di sekitarnya adalah puisi adalah puji semesta, pepohonan hijau, cacing menggeliat dari dalam tanah, laba-laba merajut benang-benang rumahnya, dedaunan gugur melayang terbawa angin, bunga-bunga liar tumbuh mekar layu. Sekuntum angkrek bulan gugur tertangkup di telapak tangan, layu dan bijak. Lalat kecil tidur di daun pala, kayu malapuk jamur menegakkan payung, biru langit bertemu biru laut, petir pecah bercabang-cabang, turun jauh ke atas tanah. (Hal. 226)

Sebuah buku sebenarnya hanya terdiri dari beberapa kalimat utama. Sisanya adalah pengulangan, pemekaran, penjelasan, perumitan, bahkan pembingungan. Buku yang merumitkan diri sendiri. Memainkan pola acak, memilih diksi yang mencoba puitik – bisa juga kalian sebut aneh, menelusur kata seenaknya sendiri. Ini semacam puisi berbentuk prosa, atau bisa disebut puisi panjang tanpa penggalam rima, bagaimana bisa nyaris tak ada tanda kutip sekalipun itu kalimat langsung. Beberapa kalimat bagaikan mengingatku pada sesuatu, kadang terasa seperti remah roti dalam hutan menguatkan dugaan, menepis keraguan, menambah keraguan, bahkan membatalkannya. Maksdunya jelas, agar tampak syahdu, biar terlihat eksotis. Tindakan, tak ada yang lebih percuma daripada gagasan tanpa laku yang mengikuti, puisi yang dihidupi. Bayangkan, untuk bilang kipas angin/AC saja ia menulis: ‘Udara hasil manufaktur, dingin seperti marmer di dinding dan lantai.’ Haha… jan, sak enak dewe.

Sudah beberapa buku saya lahap dengan pola sejenis ini, rataan bagus, rerata nyaman sekalipun kita harus menelaah lebih lanjut, mana kalimat langsung, mana narasi, mana pula melantur tak berujung, contoh buku yang nyaman dan keren adalah novela ‘Midah’ karya maestro kita Pramoedya Ananta Toer. Kisah gadis remaja metropolitan yang mengalami gejolak, krisis identitas. Seteru sama keluarga, dan percobaan penegak idealism. Dituturkan tanpa tanda kutip, bagus banget ceritanya karena memang ada benang merah yang rupawan. Cerita kuat, runutan plot-nya asyik.

Cala Ibi rumit sejak dalam angan/maya. Kisahnya tentang wanita dari Halmahera yang merantau ke Jakarta bersama keluarga karena gejolak di sana, isu etnis dan SARA digulirkan sehingga mereka harus pergi dari rumah lahir. Hal-mahera, induk pertikaian. Berkah, sembah, gairah, amarah. Pulaumu berganti tanah sunyi tanah cengkih tanah tanah bebas tanah perang tanah khianat. Ini kota yang menyebarkan energi positif. Dan paranoia, menjadi insting paling primitif. Karena emas adalah putra matahari, hanya bisa ditemukan di negeri-negeri yang panas, begitulah mereka meyakini.

Di ibu kota, permasalahan yang disodorkan lebih ke ndividu dan adaptif personal. Kisah dimula kita diajak ‘terbang’ malam hari bersama naga Cala Ibi. Aku bukan monster, kata naga, aku Cala Ibi. Maya, atau Maia melintas dimensi melintas semesta – baca saja, sedang mimpi, di awan yang gerlip melintas masa juga. Kau menyangkal mimpi, kau manusia yang tak punya rasa hormat pada mukjizat. Akal sehatmu terlalu merajai, inderamu tertutupi, ia tergelak sejenak, bahkan maaf, tak berfungsi. Dunia begitu lapang membuka. Di bawah sana, suara orang ribut mencari, mengira kau hilang. Terbang bersama naga, melihat hal-hal yang tak masuk akal, seperti mimpi, tak ingin kupercayai, tapi masih terjadi sampai detik ini.

Maya masa kini yang sudah dewasa, bekerja di sebuah kantor Jakarta. Kesehariannya memang disampaikan, tapi nyaris samar dan ga segamblang novel metropop. Teman-teman dan bosnya tampak kabur. Omar Sevrin, sering kulihat di kertas-kertas, tapi seperti baru teringat, setengaj Palembang setengah Amerika. Chef maniak pada detail, ia bicara sembari tersenyum dengan segarnya.

Lalu ada kakaknya Laila yang melahirkan anak lelaki. Keindahan dan kepolosan bayi membayang imaji. Lalu karakter, Tepi dan Ujung yang bermetafora, dolanan diksi sejauh itu bisa dilahap dalam bahasa, sah-sah saja. Nyata dan maya memang mengabur, segalanya tak jelas, tak jernih. Hanya ironi-ironi kehidupan. Sejatinya juga memper-tanya-kan, apa iti hidup? Jangan-jangan kita hanya sekelumit lalat yang hinggap di tangan dewa, lalu sang dewa hanya iseng menampol kita? Mati kau! Dunia yang kita yakini sebagai kenyataan, semesta ini. Tak ada yang benar-benar datar. Cermin, kaca, benda-benda yang paling tipis sekalipun, selembar kertas misalnya, lembar-lembar ini, tak pernah datar seperti yang kita kira.

Cerita tentang mimpi, itu tak berbatas. Tafsir mimpi. Tak semuanya indah. Kadang begitu menakutkan, hingga tak diceritakan Bibi Tanna pada si pemimpi. Dalam mimpi kamu bisa jadi raja atau jelata kelaparan di depan pohon gersang, seenak ikhwal yang masuk ke dalam kepala. Jadi merdeka pikir dan khayal. Tak ada yang lebih menggairahkan ketimbang bermain fantasi imaji, itulah kenapa saya mencintai semua buku Neil Gaiman. Rasanya aku mengerut seperti sebuah titik di antara ribuan garis melintang. Garis-garis yang bergerak tajam terburu, mencari bidang bangun bentuk isi. Di sini jelas banyak dimainkan. Waktu. Malam ini. Akankah kau melewati malam ganjil ini dengan hidup dalam kenangan, menghidupi masa lalu yang maju ke depan benak. Semua yang lalu, bergerak maju dalam sebuah kembali.

Adegan sejenis Cermin Tarsah-nya Harry Potter juga muncul. Cermin itu menipu, ia hanya memperlihatkan apa yang ingin kau lihat. Jadi memang referensi Bung Nukila beragam, sebagian kecil dituliskan di lembar identitas buku. Terutama sekali adalah makhluk mistis naga. Naga punya tiga kelopak mata. Satu transparan, satu tak tembus cahaya, dan satu eksternal. Naga bukan ular, bukan burung, bukan ikan, atau salah satu dari mereka, tapi sekaligus semuanya. Ngomong-ngomong, kalau kita di ranah mistis, tak ada aturan baku. Naga: bisa kocak, bisa buas, bisa pula menjelma Eragon yang ditunggangi. Sah sahaja.

Perjalanan dan bekal yang dibawa, ah dunia serba mengada antisipasi. Perjalanan membawa baju bayi, popok dan kain bedong, kain putih kecil-kecil terlipat rapi dalam genggaman. Kenapa bekal itu ga kue cokelat, atau seiris besar tebal berbunga mawar, merah manis beku… makanan segala sedap menyenangkan untuk perjalanan.

Aturan Yin-Yang juga sering dimunculkan. Bagaimana mungkin ia memerintah dan sedetik kemudian mencegah, sedari tadi ia terus berlawanan, dirinya menyimpan paradoks tak manis membingungkan. Jadi Ya/Tidak, sebuah tarik-tolak banyak ditemui. Jika semua adalah metafora, bagaimana dengan yang nyata? Semakin kau rasa mengetahui sesuatu, nyatanya semakin kau tak tahu. Segala sesuatu bersilangan, memberi jalan, mengaburkan, mengingatkan, mengembalikan, menyunyikan, membingungkan. Yin: pasif, Yang: aktif. Sebuah sintesa harmoni derajat.

Aku tertawa padanya, dengan kopi, semua jadi mungkin. Mungkin ditambah secangkir kopi. Ekstra kuat sejati. Mungkin… Sarat perumpamaan, penuh mitos, sampai segala hal yang semula legenda/cerita turun-temurun menjadi dasar pijak jalan cerita. Tiga ekor singa. Kuning. Merah. Putih. Ibu. Bapak. Anak. Kesendirian tak pernah menakutkan. Kau lebih takut pada ketiadaan kata berpisah.

Akankah ia mengurangi satu lagi ketaktahuan dengan pengetahuannya, ataukah menyasarkanmu ke dalam labirin logika miliknya yang selalu membingungkan ini. Kritik iklan di mana-mana, sepakat. Dunia kita memang penuh papan iklan! Papan iklan itu menjelma jadi hantu manis, semacam obsesi abstrak: kesima, kekhawatiran, hampir harapan. Jalanan penuh bacaan ini akan menunjukkan ke sebuah celah menganga, seperi lubang donat di tengah.

Saya teringat sebuah tagline film: death is the only beginning. Karena ada adegan absurd yang ditawarkan bahwa awal-akhir itu tergantung sudut pandang. Misteri berlapis misteri kian banyak ketika kau kian jauh berjalan, ketika kau mengira telah hampir mencapai akhir, ternyata kau baru saja menuju awal. Realisme menyesaki yang nyata, penuh dengan kata-kata nyata, dengan bahasa yang menuding-nuding hidung realita, yang mestinya tak kasat mata tak terkira. Namun sesuatu yang terus-menerus, mengawali akhir mengakhiri awal yang dinamai manusia sebagai cinta, lebih dari kehendak kata itu, takkan pernah usai…

Subuh, siang, senja, malam. Ke mana sehari pergi. Kemana hari-hariku pergi. Fantasi akan sangat kekurangan daya gigit bila tak memodifikasi waktu. Masa lalu telah lewat di punggungmu, aku telah mengucap selamat tinggal pada orang tuamu, meninggalkan kamar mereka, rumah mereka, meski dengan sesal tertinggal. Dirimu atau dirinya, kau tak pasti, yang mana yang lebih nyata, lembar-lembar ini atau di luar sana, ataukah di luar yang di luar sana, kau merasa tak perlu mempersoalkannya, karena kau tak tahu.

Dengan bermain waktu, maka otomatis takdir tentu saja diapungkan. Berbahagialah, hidupmu serangkaian peristiwa kebetulan yang tak berhubungan, seuntaian impromptu tak teramalkan. Nasib selalu ingin mempermainkanmu, berkehendak mati-matian untuk bersuka-suka dengan hidupmu, tapi adalah takdir! Aku hanya bisa menyana, takdir, yang seperti rangkaian kebetulan, adalah bukan. Namun suatu desain rumit tapi tak ketara, tampil begitu halus terjalin-jalin, meleluasakan untuk menyelesaikan sendiri, mengubah alkisah.

Dunia tengah berangkat gila, dan hanya di zaman ini orang gila yang berkeinginan mengubah atau menyelamatkan dunia. Ada seendapan rasa yang tertinggal berdiam dalam dirimu. Seperti tak dimengerti, namun diberkahi. Dan bagimu itu jauh lebih berarti.

Buku ini kubeli dua tahun lalu ketika mudik Solo bersama novel debut ‘Para Penjahat dan Kesunyiannya Masing-Masing’ karya Eko Triono. Baru sempat kubaca dan tuntaskan bulan Mei lalu, antrian memang menggila. Tiba-tiba saja, buku ini ada di bawah rak, mungkin dijatuhkan Hermione, mungkin pula ada cicak gila yang melemparnya ke lantai, maka semacam insting yo wes segera nikmati. Mungkin minta segera tuntaskan. Saya punya kisah cinta yang sedih sekali, bantulah saya membebaskan seorang perempuan pujaan hatiku… dan tuntaslah Cala Ibi. Bagaimana jika semua ini hanyalah antisipasi yang berkepanjangan, tanpa akhir?

Tuhan, sebuah saja makna, dan aku akan mati dengan bahagia, bisa bersaksi untukmu. Sah-sah saja bercerita dengan gaya aneh, sah-sah pula membawakan cerita dengan merumit diri. Namun tetap saja, thing first thing: story. Mau bentuk Inception gaya nungging, mau gaya Transformer ala Bay yang penuh ledakan, atau gaya kisah-kisah film festival penuh daun penuh perenungan, ya monggo. Jelas, cerita yang utama, alur dan kejut, serta gairah mengelabuhi pembaca adalah seni tersendiri. Cala Ibi memang sukses dalam bertutur, tapi tidak untuk benang utama cerita. Tak ada pegangan, karena memang tak ada ranting yang bisa kita hinggapi. Aturan kabur, dan tak ada kendala apapun seandainya Bung Nukila mau bisa melayang tanpa sayap, atau menyelam berjam-jam tanpa insang. Dia maha-pencerita, dia pula yang menulis kitabnya, jadi sah-sah saja, bebas, sak karepe dewe. Hanya, makhluk ciptaan bernama Cala Ibi ini, sepanjang 270 halaman, tak terlalu ‘dapat’ drama yang diharap. Memang susah memilih diksi dan kata-kata ajaib, tapi ya penelurusan benang merahnya harus tetap nikmat.

Bai Guna Tobona berdiri menatap kawah yang pernah marah. Ketika apa-apa seperti tak bergerak di mana-mana. Apalagi yang bisa dilakukan? Sebaik-baiknya penceritaan realita, adalah dengan alegori, metafora – imaji-imaji yang mengalir seperti mimpi, tak nyata, di luar yang nyata… tak pernah sampai yang nyata. Ingat ini, tak kan pernah. Namun, cerita tetaplahu utama. Selanjutnya terserah pembaca.

Karya pertama Bung Nukila Amal yang kubaca adalah cerita pendek di Kompas yang menjadi cerpen of the year 2008 berjudul Smokol. Bagus karena rumitnya ga sampai lima menit. Ok-lah itu cerita pendek yang bisa dinikmati sambil lalu di pagi hari dalam sesapan kopi sepintas saja lalu bisa untuk baca berita, tapi kalau novel yang membumbungkan kata ribuan, rasanya melelahkan sekali, apalagi akhir yang nihilitas? Mungkin mereka takut tersesat di antara semua sengkarut bacaan ini, ilusi optik-akustik buatan manusia. Saya ga bermaksud saya tak suka dengan gaya semacam ini, saya hanya capek sekali, jadi saat akhirnya usai, lega rasanya.

Denting gelas beradu dengan piano ketika senja. Dalam sunyi, namun sarat bunyi. Memikirkan dengan bisu, betapa menyedihkannya kata-kata.

Cala Ibi | by Nukila Amal | GM 201 01 15 0013 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | copyright 2004 | Cetakan cover baru April 2015 | Penyelia naskah Mirna Yulistianti | Copy editor Rabiatul Adawiah | Desainer sampul Suprianto | Sette Fitri Yuniar | ISBN 978-602-03-1418-1 | Skor: 4/5

Untuk D.F., kalau sudah besar nanti.

Karawang, 020620 – Sherina Munaf – Anak Mami

#2 #Juni2020 #30HariMenulis #ReviewBuku #HBDSherinaMunaf