Love Story by Erich Segal

Oliver: “Jenny, kita sudah sah menjadi suami istri.”

Jenny: “Yeah, mulai sekarang aku boleh bawel.”

Uang THR tahun ini, sebagian saya belikan buku, seperti biasa (ketimbang beli baju) melakukan enam kali transaksi beli buku. Transaksi kelima dan keenam, bingkisan kubuka (Ciprut yang #unboxing) malam minggu kemarin (160520) dari Bekasi (Raden Beben) dan Surabaya (Angga Adi) berisi total 16 buku. Kebetulan yang paling tipis buku ini, jadi gegas kubaca selepas nonton bola Bundesliga, ya ampun saya menurunkan kasta nonton live Dortmund versus Schalke, di pergantian hari buku berisi 160 halaman ini sudah selesai baca. Langsung kuulas sekalian, karena waktu melimpah di dini hari begadang ini. Inilah kisah cinta sejati, seperti pembukanya yang berkata pilu, endingnya luluh lantak dalam tangis. Bisa jadi cerita cinta pedih seperti ini sudah banyak dibuat saat ini, tapi buku pertama Erich Segal yang kubaca ini dituturkan dengan kelenturan kata yang menyeset emosi, dan lelaki mana yang tak menangis di lobi rumah sakit dalam pelukan ayah itu? Setegar Hercules-pun akan sesenggukan.

Kisahnya tentang pasangan muda yang tampak sungguh ideal. Oliver Barrett IV adalah mahasiswa Havard yang kaya, keturunan Barrett yang tersohor, jurusan ilmu sosial. Atilt hoki es yang menjadi andalan kampus. Sungguh gambaran pria sempurna untuk menjadi pasangan hidup. Jennifer Cavilleri adalah mahasiswi kere, anak penjual kue dari Cranston, Rhode Island, sebuah kota di selatan Boston, keturuan Italia. Kuliah musik di Radcliffe, berkaca mata, dan tentu saja cerdas. Ini kisah sedih, dan pembaca sudah dikasih tahu di kalimat pertama bahwa, Apa yang bisa kita ceritakan mengenai gadis dua puluh lima tahun yang telah tiada?

Perkenalan mereka tampak biasa tapi dibalut kalimat puitik, Oliver meminjam buku jelang ujian di perpustakaan, Jenny di sana memancing tanya, “Hey mana sopan santunmu preppie?” Dijawab “Kenapa kau begitu yakin aku dari prep school?” Ditimpali, “Tampangmu bodoh dan kaya.” Haha… dibalas lagi “Kau keliru sebenarnya aku cerdas dan miskin.” Dan kena jab, “Oh, jangan menfada-ada, aku cerdas dan msikin.” Justru dari saling sindir itulah hubungan berlanjut panjang.

Oliver anak orang kaya, keturuan keempat Barrett, hubungan dengan ayahnya Oliver Barrett III ga akrab. Memanggil Sir, nurut dalam tekanan dan beban piala, karena sudah tradisi keluarga akan prestasi, bukan sekadar akademi tapi juga olahraga. “Ada yang bisa dibantu?” Adalah keluarga jetset yang sepertinya tak peduli materi, karena melimpah. Keluarga kaya raya pada umumnya yang banyak menuntut sukses anak-anaknya. “Demi aku Oliver, aku belum pernah minta apa pun darimu, please.”

Sementara Jenny adalah keluarga biasa, kepulangan disambut mewah, dan betapa ia sungguh akrab sama ayahnya, karena ibunya sudah meninggal dunia dalam kecelakaan, hungan ayah-putri ini begitu erat dan kuat. Memanggil ayahnya dengan nama langsung, Phil. Menjadi kikuk Ollie akhirnya ketika mengikuti. “Ya, Phil, Sir.” Dan ketika ditegur, makin canggung dan tetap menjawab, “Baik, Phil, Sir.”

Bak cerita sinetron, hubungan ini tak dapat restu si keluarga kaya. Cinta sejati Ollie harus diperjuang, maka selepas lulus S1, mereka menikah. Karena keduanya beda keyakinan maka menikah di tengah-tengah kepercayaan, bangunan kuno Phillips Brokes House, di utara Harvard Yard, dengan pendeta Unitarian. Hidup pas-pasan di apartemen murah, Jenny mengajar, Ollie bekerja sambil lanjut S2 hukum. Kehidupan pasangan muda penuh perjuangan. Hubungan dengan ayahnya sudah putus, sehingga mereka benar-benar berusaha mandiri, berjuang bersama. Cinta mereka, saling menguatkan. Sungguh romantis.

Oliver lulus pasca sarjana hukum, bukan nomor satu tapi nomor tiga, tetap di Law Review. Namun rasa penasaran Jenny, akan siapa yang bisa mengalahkan suaminya menjadi lucu ketika diberitahukan di atas kapal dan ia yang kecewa malah melompat di laut. Ternyata nomor satunya adalah seorang pria kutu buku, introvert yang luar biasa pasif bersosial, dan yang kedua cewek cerdas dengan talenta tinggi. Sebuah kewajaran. Dengan ijazah barunya, ia memiliki peluang karier lebih luas, dengan berbagai pertimbangan dan tawaran yang masuk, Oliver setelah diskusi dengan istrinya mengambil kesempatan kerja di firma hukum Jonas and Marsh di New York dengan gaji tinggi 1.800 dollar. Ekomoni mereka lumayan mapan, Jenny mulai menata harap, dan Ollie ikut club elite. Bencana tiba secepat melesatnya karier mereka ketika program memiliki anak dilakukan. Berbagai percobaan sudah dilakukan, lalu konsultasi ke dokter kandungan. “Rasanya seperti jatuh dari tebing secara slow motion.”

Hasil yang diterima mencengangkan. Bukan hanya gagal memiliki anak, tapi ada masalah pelik yang sungguh berat harus disampaikan. Oliver sempat berujar, yang penting saling mencintai dan ikrar setia. Masalahnya ini menyangkut nyawa. Kesedihan membuncah, ia tak kuasa menyampaikan kepada orang terkasih. Rencana hidup yang tertunda sempat diapungkan, salah satunya harapan Jenny ke kota Romantis Paris, karena dulu sempat mau ambil kursus musik khusus ke sana, tapi gagal demi pernikahan dengannya. Dua tiket diambil, dan rasanya ia tak tega menyampaikan kabar duka itu, sampai akhirnya, fakta mau tak mau mengapung, dalam duka dan kepedihan yang teramat. Ini baru Love Story sejati. Menikam jantung dengan hujaman keras, tak hanya sekali, bertubi dalam duka dan segala kandungan di dalamnya. “Nomor berapa C Minor Piano Concerto? Dulu aku hapal.”

Harus diakui, kisahnya awal terasa klise. Pasangan beda kasta, tampan dan cerdas bersatu lalu mengarungi perjuangan bahtera pernikahan, lalu ekonomi membaik dan timbul benih cerahnya masa depan. Tikaman itu dari vonis dokter, sampai halaman berakhir adalah kesedihan akut. Ditulis dengan kenyamanan dan pemilihan (terjemahan) diksi yang bagus sehingga kita turut terkoyak. Jelas ini tak semanis yang dikira. “Seandainya aku tak berjanji pada Jenny untuk bersikap tabah.

Cerita bagus memang harus menjual konflik berat, lalu pemecahan yang pas. Semakin runyam masalah yang disodorkan semakin asyik diikuti. Love Story memunculkan masalah dengan tikaman yang dalam, bagi pecinta romcom ini alur yang umum. Adegan akhir menantu-mertua di ruang rokok solarium bisa jadi sangat menyedihkan, tapi kesedihan maksimal justru di kalimat-kalimat akhir di lobi. Saya turut menitikan air mata, walau kutahan-tahan juga karena itu sudah menghadapi lembar akhir. Drama cinta memang tak rumit, drama cinta memang harus alami. Dan kepedihan Oliver jelas terasa sangat mendalam, dan nyata. Pernah menangis di rumah sakit? Ya. pernah melelehkan air mata membuncah di pelukan orang tua? Ya. Oliver adalah gambaran duka yang sempurna.

Dan kemudian aku melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan di depan ayahku, apalagi di dalam pelukannya. Aku menangis.

Cinta berarti tak perlu minta maaf.

Kisah Cinta | by Erich Segal | Diterjemahkan dari Love Story | Copyright 1970 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | GM 402 95 135 | Alih bahasa Hendarto Setiadi | Jakarta, Januari 1995 | Cetakan ketujuh, Juli 2001 | 160 hlm; 18 cm | ISBN 978-605-135-4 | Skor: 5/5

Untuk Sylvia Herscher dan John Flaxman

…namque… solebatis.

Meas esse aliquid putare nuqas

Karawang, 170520 – Patti Austin – Baby, Come to Me

Iklan

4 komentar di “Love Story by Erich Segal

  1. Ping balik: #Mei2020 Baca | Lazione Budy

  2. Ping balik: Love Story a la Sinetron | Lazione Budy

  3. Ping balik: #Juli2020 Baca | Lazione Budy

  4. Ping balik: Buku-buku yang Kubaca 2020 | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s