Dilarang Gondrong! By Aria Wiratma Yudhistira

Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan, dilahirkan kembali dalam kudeta dan dibaptis dengan darah pembantaian.” Brian May (The Indonesian Tragedy)

Buku yang mencerita detail larangan sebuah gaya. Kalau sampai petinggi Pemerintah yang mengeluarkan statemen berarti ada sesuatu yang memang harus diperhati lebih dalam. Dan itu terkait gaya rambut panjang. Terasa lucu, tapi dengan buku ini menjelma serius. Awalnya sebuah skipsi di Departemen Sejarah Universitas Indonesia ini kurang mendapat respons dan dukungan, temanya terdengar sepele dan dianggap kelewat tinggi dengan mengaitkannya pada kondisi sosial politik saat itu. Namun karena instruksi ini menyeluruh pejabat tinggi Pemerintah dari menteri, Kepala Bakin, Jaksa Agung, hingga Pangkopkamtib maka larangan gondrong bagi anak muda jelas bukan hal sepele. Ada kaitannya antara rambut gondrong, gaya hidup, serta pandangan politik dengan tema besar Orde Baru yang gencar dengan kata ‘pembangunan’.

Banyak para penulis sejarah mengabaikan soal-soal sepele yang terjadi di masyarakat. Ong Hok Ham pernah menulis tentang sistem sosial dan politik Hindia-Belanda di Karisidenan Madiun pada abad ke-19 yang dimulai dari kisah pencurian kain tirai (gordijn) di rumah Residen Madiun J.J. Donner. Pencurian tersebut telah menggoncang tatanan sosial karena telah membuat malu sang Residen. Pencurian kain dinilai telah menyingkap isi rumah Donner, suatu yang tabu karena berarti mengungkap rahasia pemimpin, di depan Bupati Raden Mas Adipati Brotodiningrat, dna terutama di hadapan rakyat.

Cerita dibuka dengan tanggal 1 Oktober 1973 Senin malam sebuah acara bincang-bincang di TVRI, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro berkata bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi overschilling alias acuh tak acuh. Sebuah pernyataan kontroversi yang menjadi ancaman hingga boikot artis-artis yang tak mau nurut, bahkan pemain sepak bolapun turut dilarang. Menurut Michel Foucault, kekuasaan dapat didefinisikan sebagai alat untuk menormalisasi individu-individu di dalam masyarakat melalui disiplin dan norma.

Kekuasaan itu senantiasa dapat melahirkan sikap antikekuasaan atau perlawanan yang berasal bukan dari luar melainkan dari dalam kekuasaan itu sendiri – tentunya berasal dari hubunagn sosial yang terjalin (Haryatmoko, 2002: 11). Ada beberapa alasan mengapa periode itu terpilih.

Pertama, Orde Baru mengidentifikasikan dirinya sebagai kebalikan dari Orde Lama, seolah periode ini memberi nuansa-nuansa baru. Kedua munculnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) No. 1/1967 yang menjadi simbol telah dilakukannya kebijakan pintu terbuka yang mempernudah modal asing masuk ke Indonesia, yang secara langsung turut pula masuknya budaya-budaya asing. Peristiwa Malari (11 Januari 1974) merupakan momentum puncak hubungan antara Negara dengan anak muda.

Saya Shiraishi dalam studinya tentang jalinan kekuasaan di Indonesia masa Orde Baru bahwa Indonesia dibangun selayaknya keluarga besar. Di sana ada ‘Bapak’, ‘Ibu’, dan ‘Anak’, dan Soeharto menempatkan dirinya sebagai ‘Bapak Tertinggi’ (Supreme Father) di Indonesia.

Anak muda di sini dibagi dalam dua jenis, mereka yang bersikap apatis terhadap politik di dalam negeri – atau mereka bisa juga disebut apolitis, yang menurut James Siegel disebut sebagai golongan remaja. Mereka adalah anak-anak muda yang memiliki kesamaan selera, aspirasi, dan gaya hidup yang ingin selalu berubah yang umumnya mengacu pada perkembangan luar negeri (Siegel, 1986: 203-231). Jenis yang lain adalah mereka yang memiliki kesadaran yang lebih tinggi akan persoalan bangsa – seperti korupsi, sistem politik, dan lain-lain. Sering kali idealis yang bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, disebut sebagai kelompok mahasiswa (lihat Railon, 1989).

Ben Anderson menyatakan bahwa pemudalah yang memainkan peran sentral dalam revolusi Indonesia, bukan kaum intelegensia atau kelompok-kelompok kelas yang teraliensi dalam kancah perpolitikan dalam kancah politik saat itu. (Hadiz, 1989: 32). Menurut William H. Frederick (1997: 227-229) menolak identifikasi gambaran Anderson, istilah pemuda serta gagasan mengenai generasi muda sebagai kekuatan politik dalam dirunut dari sejarah Indonesia yang panjang, dari Budi Utomo. Seseorang tidak serta merta menjadi remaja karena berusia muda, akan tetapi mereka menjadi remaja karena memiliki selera dan aspirasi yang menandakan dirinya remaja, dengan kata lain menjadi remaja adalah sebuah gaya hidup.

Orde Baru adalah sebuah koalisi yang menginginkan berakhirnya Demokrasi Terpimpin a la Sukarno yang menghendadi persatuan tiga kekuatan politik Indonesia: Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Koalisi terdiri dari kelompok muslim NU, dan Masyumi; Partai Sosialis Indonesia (PSI); kaum birokrat konservatif (PNI Osa-Usep); Partai kiri anti-komunis (Murba); kelompok mahasiswa dan pemuda anti komunis yang dipimpin oleh KAMI; serta tokoh militer (Cribb dan Brown, 1995: 106-107) merupakan kelompok yang tak sejalan dengan Sukarno yang mengingin PKI turur dalam Indoneisa raya, maka PKI disingkirkan. Jelas, gerakan mahasiswa untuk menyingkirkan

Orde Lama tak lepas dari campur tangan Angkatan Darat (AD).

Krisis di Indonesia tahun 1965 para menteri mencoba mengeluarkan kebijakan yang tak populer. Tanggal 13 Desember 1965 dikeluarkan kebijakan antara lain melakukan sanering dengan memotong nilai Rupiah dari Rp 1.000,00 menjadi Rp 1,00 serta mencabut subsidi atas kebutuhan pokok, sehingga meningkatkan biaya kebutuhan hidup masyarakat kebanyakan (Wibisono, 1970: 10’ Anwar, 1981: 1; McDonald, 1980:70). Efeknya mencipta demo di mana-mana yang akhirnya memunculkan Tritura (tiga tuntutan rakyat) yaitu: Pembubaran PKI, Perombakan Kabinet Dwikora, serta penurunan harga.

Penyair antikomunis Taufiq Ismail dalam puisinya ‘Merdeka Utara’:
Dua buah panser Saladin / Dengan roda-roda berat / Rintangan-rintangan djalan / Selebihnya kesenyapan // Dua buah tikungan yang bisa / Seseorang memegang bren / Langit pagi yang biru / Menjadi ungu, menjadi ungu. Puisi yang menggambarkan demo suruh Januari-Februari 1966 yang menewaskan Arief Rahman Hakim, mahasiswa kedokteran UI dan Zubaedah, pelajar SMA.

Orde Lama punya jargon ‘politik sebagai panglima’ maka Orde Baru menyatakan ‘ekonomi sebagai panglima’. Untuk memenuhi program stabilisasi dan rehabilisasi kepercayaan masyarakat luar dan dalam negeri. PMA No. 1/1967 menjadi kerangka dasar diterapkannya politik pintu terbuka, bukan hanya modal asing yang masuk tapi para ahli perekonomian asing yang berpendidikan Barat turut masuk, yang otomatis membawa sistem kapitalis bersama segala persoalan ekonomi dan sosial yang terkandung di dalamnya (Sasono, 1980: 78; Lombard, 2000: 88). Bila Sukarno dikenal dengan ‘ekonomi terpimpin’ maka Soeharto disebut ‘kapitalisme terpimpin’.

Dalam pemilu dikenalkan konsepsi baru the floating mass, massa mengambang yang artinya masyarakat dibiarkan ‘mengambang’ tidak berafiliasi pada salah satu partai atau kelompok ideologi, sehingga pemerintah bisa lebih berkonsentrasi pada pembangunan. Rakyat hanya boleh menyalurkan aspirasi politik lima tahun sekali.

Generasi ‘Baby Boomer’ anak-anak muda 1960-an hidup di tengah-tengah pengaruh berkembangnya budaya konsumsi dan televisi (Tindall dan Shi, 1992: 1370). Dalam counter-culture, generasi terpecah jadi dua, pertama orang yang anti perang berslogan ‘make love not war’ dan kaum hippies yang memiliki cara pandang hidup berbeda saat itu, hippies merupakan gerakan gerakan tanpa kartu anggota, tidak dibatasi umur, maupun Negara (Wethues, 1972: 74). Etika hippies disebut ‘hang-loose’. Kaum hippies menyebut mereka generasi bunga atau anak-anak bunga (flower generation). Bunga adalah simbol, sebagai lambang kedamaian dan tidak membuat orang lain terluka. Mereka adalah anak-anak muda idealis, mau berpikir, yang percaya cinta, keindahan, kebebasan, kebersamaan, saling membantu. Hippies menawarkan kebebasan dalam hidup.

Di Indonesia sama Pemerintah, kaum hippies dianggap persoalan karena mengganggu ketertiban, dan salah satu cirinya berambut gondrong. Makanya dilarang!

Novel Cross Mama karya Montinggo Boesje menggambarkan bagaimana kehidupan keluarga-keluarha ‘high society’, kehidupan keluarga umumnya tinggal di perumahan mewah seperti Menteng atau Kebayoran Baru. Kebudayaan kami bukanlah kebudayaan Indonesia atau Barat, tapi kebudayaan International.
Pencitraan Belanda terhadap orang-orang yang berambut gondrong sebagai pelaku criminal tak lepas dari pengalaman mereka pada masa Hindia-Belanda. Mereka yang tumbuh kurang ajar oleh Belanda disebut ‘teroris’ atau ‘ekstrimis’ yang merupakan produk salah asuhan Jepang (Onghokham, 1977: 21).

Pencitraan antagonis berambut gondrong mudah dijadikan sasaran dan kambing hitam oleh penguasa, termasuk setelah merdeka. Razia rambut gondrong dilakukan dibanyak kota besar. Sebuah ironi terjadi tahun 25 September 1973 ketika band The Bee Gees manggung di Medan, Maurice Gibbs beretoris, “Aneh, bagaimana mereka dapat mengundang kami, sedang mereka sendiri tidak rambut gondrong seperti kami.”

Bukunya banyak menukil surat kabar lampau, berita tv, kutipan para figure, dokumentasi sastra H.B. Jasin, PDII-LIPI, Perpustakaan Idayu sampai Pusat Informasi Kompas. Penelitian ini mengikuti cara umum dalam setiap penelitian sejarah yaitu dengan tahapan pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi atau kritik atas sumber, interpretasi, dan penulisan (Kuntowijoyo, 1999: 89). Setelah dilakukan interpretasi, dapat diperoleh suatu fakta yang dapat dituangkan dalam tulisan. Fakta di sini tentu saja bersifat subjektif karena merupakan hasil dari apresiasi atau interpretasi subjektif atas data yang ada di Penulis.

Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an | By Aria Wiratma Yudhistira | Copyright 2010 | Pengantar Andi Achdian, 2010 | Cetakan pertama, April 2010 | ISBN 978-979-1260-07-7 | 161 hlm; i-xxii, 140 x 203 mm | Penerbit Marjin Kiri | Skor: 4.5/5

Karawang, 280420 – Bill Withers – We Could be Sweet Lovers

Thx to Titus Pradita

Portrait of a Lady on Fire: Barisan Puisi di Atas Kanvas

When you asked if I know love. I could tell the answer was yes. And that it was now.” – Marianne

Art and sisterhood. Pelukis mencipta seni, melakukan seni, dan memamerkannya. Ruang dan waktu bukanlah konstanta universal, semakin kita mendekati kecepatan cahaya, semakin ‘melambat’ gerak waktu, dan ruang pun semakin mengerut. Di abad 18 Prancis masih melarang perempuan melukis tubuh laki-laki secara terbuka. Larangan itu bukan karena moral atau kepatutan, tetapi lebih mencegah agar perempuan tidak menjadi hebat, anatomi tubuh lelaki adalah subjek besar yang tak terjangkau perempuan. Ini adalah film feminis yang mempresentasikan persamaan gender.

Berkat film ini saya jadi parno-noid sama buku halaman 28, mewanti-wanti ada ga gambar telanjang gadis cantik di sana. Beberapa novel beneran saya buka dan cek, yah memang saat ini belum ada. Nantinya siapa tahu muncul. Atau kita munculkan saja, kita gambar saja wajah sang mantan di sana? Eh…

Filmnya minimalis, dengan setting utama sebuah pulau yang sunyi, plot digulirkan dengan nyaman dan tenang, setenang ayunan kuas lukis. Alurnya slow, terlampau slow malah tapi dari alur yang lambat itulah potongan adegan menjadi frame-frame lukis indah. Pengambilan gambar yang menyorot jauh nan lama dengan tampilan ciamik deburan ombak. Deburan ombak, keretak api, angin malah menjelma skoring alamiah. Banyak adegan terlihat murni dan nyata. Tamparan ombak di karang itu menjadi saksi ciuman panas yang seolah melepas belenggu. Inilah kisah cinta terlarang pelukis dan sang putri, lesbian dengan pusat pusaran Vivaldi.

Di sebuah pulau Britania, Prancis tahun 1760an. Seorang putri aristrokrat Prancis, Heloise (Adele Haenel) akan menikah dengan lelaki bangsawan Milan, menyepi di pulau terpencil berencana membuat potret pernikahan. Sang pelukis muda Marianne (Noemie Merlant) yang disewa datang dengan kepolosan gadis lugu. Permulaan perkenalan sang model dan pelukisnya memang tak langsung klik, terlihat sekali sang Lady tak nyaman dan malesi ga mau dilukis sebab ia sejatinya tak mau menikah. Dibujuk untuk berpose dan dalam bujuk itu ada hasrat lain yang tersimpan. Bayangkan, gadis pencipta seni bergulat dengan gadis yang mencari jati diri, telanjang. Ini seolah perwujudan visual rangkaian sajak berima. Setiap detail tubuh, entah itu mata, telinga, hidung meletupkan tekstur baris-baris indah penuh kekaguman. Interpersonal sepenuhnya adalah tentang kelekatan emosional. Dan cara terbaik untuk membangun kelekatan tersebut, adalah dengan saling menyentuh, memikat.

Karena waktu juga mereka yang sering bertemu dan saling mengenal akan saling mengisi. Rada absurd membayangkan dua perempuan muda ini tersenyum saling tatap. Lukisan yang sudah jadi malah dihancurkan karena tak sesuai gambaran ideal, ibunya marah kemudian pergi ke Italia, memberi waktu tambah untuk mencipta ulang. Di sinilah ikatan Marianne dan Heloise perlahan menguat. Suatu malam mereka membaca cerita Orpheus and Eurydice, mendebat alasan kenapa Orpheus kembali ke istrinya. Kemudian membantu Sophie (Luana Bajrami), seorang pelayan melakukan aborsi dengan manual, di sini gambaran perempuan yang kesakitan ditampilkan implisit, termasuk tamu bulanan yang datang rutin dan bagaimana mengatasinya.

Dalam adegan renung, para perempuan ini benyanyi dan menari, ketika pakaian pengantin Heloise terbakar. Syairnya adalah bahasa latin ‘fugere non possum’ yang artinya datang untuk terbang. Menurut Nietzsche, ‘semakin tinggi kami terbang semakin kecil kami terlihat bagi mereka yang tak bisa terbang.’ Sebuah pesan anarkisme terselubung, para perempuan yang berkumpul digambarkan mampu menggapai cita kemerdekaan dan kebebasan berkehendak.

Dengan keterbatasan akses, sepi menjadikan bahan bakar asmara. Api pemanas meluapkan gairah. Dan bagaimana pertanggungjawaban sang pelukis ketika produksi lukis ini usai? Marianne bisa memandang potret Heloise untuk melepaskan kerinduan, setidaknya sedikit mengobati rindu. Bagaimana dengan Sang Lady? Baiklah saya ciptakan saja, potret diriku untuk kau simpan. Dan muncullah adegan paling berkesan tahun ini, wanita telanjang di atas kasur dengan cermin yang ditaruh tepat di depan kemaluan, mengambil buku, dan Marianne lalu mencipta sketsa Marianne. Barisan puisi ini untuk kau simpan dank au kenang. Saya lebih suka menyebutnya ‘Obsesi Halaman 28’ dengan pulasan pualam.

Kebanyakan kita mengenal meditasi sebagai buah teknik relaksasi diri. Senandung Potret mengiringi goresan dasar atas kesadaran kisah, ini adalah film dengan plot gambar yang bercerita, dan sketsanya lebih keras berteriak ketimbang suara. Kalian bisa lihat, dengan apa yang harus kalian tahu. Kalian diminta untuk terus merenung sampai bosan. Terimalah kebosanan itu. Peluklah kebosanan itu, cintailah kebosanan itu. Bagaimana Heloise melepaskan beban terasa sekali, seolah inilah tujuan hidup, inilah yang ia tunggu-tunggu. Rebel with a cause.

Menurut Kant, nilai tertinggi dalam semesta adalah sesuatu yang dipandang sebagai nilai itu sendiri. Satu-satunya hal terpenting adalah suatu hal yang menentukan kepentingannya. Tanpa rasionalitas, semesta akan menjadi sia-sia, hampa, dan tidak memiliki tujuan. Tanggung jawab moral yang paling fundamental adalah kelestarian dan kemajuan kesadaran, baik untuk diri sendiri atau orang lain.

Endingnya mirip dengan Call Me by Your Name, lagu Concerto No. 2 for violin in G minor, Op. 8, Rv 315 L’Estate gubahan Antonio Vivaldi yang dimainkan La Serenissima, Adrian Chandler berkumandang dengan lembut menjelang tutup layar. Yang membedakan Call Me berkonsep MvM, yang ini FvF.

Dan ini jauh lebih jleb.. dengan lelehan air mata pula, karena orkestranya sempurna. Ayooo kita bikin gif-nya. Film yang berhasil membakar hasrat. Tak diragukan lagi, Portrait of a Lady on Fire adalah salah satu film terbaik dekade ini. Sinematografi keren. Akting keren. Cerita keren. Minimalis terkesan. Masterpiece, emotions and artistically running high!

Portrait of a Lady on Fire | France | Judul Asli Portrait de la Jeune Fille en Feu | Year 2019 | Directed by Celine Sciamma | Screenplay Celine Sciamma | Cast Noemie Merlant, Adele Haenel, Luana Bajrami, Valeria Golino, Amanda Boulanger | Skor: 5/5

Karawang, 210420 – 290420 – Bill Withers – Heartbreak Road

Thx to rekomendasi William Loew

I Find Giants. I Hunt Giants. I Kill Giants

All things that live in this world die. This is why you must find joy in the living, while the time is yours, and not fear the end. To deny this is to deny life.” – Titan

Sebuah indie fantasi dengan pertaruhan memori sarung tangan baseball ‘Giant Killer’. Keberanian itu hal biasa. Ketabahan itu hal biasa. Tapi kepahlawanan memiliki unsur filosofis di dalamnya.

Magical realism yang menyelingkupi kehidupan remaja 12 tahun Barbara Thorson, yang berupaya menemukan, berburu lantas membunuhnya. Tampak unik, karena selama pemburuan diiringi skoring cekam yang mendukung. Seperti yang diperkira, raksasa itu memang muncul beneran setelah menit-menit yang melelahkan, dan Barbara membunuhnya dalam skema yang sudah dirancang. Imajinasi membumbung tinggi bak bintang-bintang yang berputar riuh di sekitar kepala raksasa yang tertikam.

Kisahnya berkutat pada Barbara Thorson (Madison Wolfe) dengan rambut terurai dan aksesoris telinga kelinci di atas kepala, menelusi pantai dan hutan mencari raksasa, mencoba memerengkapnya. Kakaknya Karen (Imogen Poots) tampak frustasi mengurus kedua adiknya, yang satu lagi Dave (Art Parkinson) hobinya main gim mulu. Keluarga ini sepertinya sedang mengalami depresi bersamaan. Ada masalah apa, nanti akan diungkap secara perlahan.

Barbara sedang memasang perangkap raksasa, melumuri rumput-rumput dengan madu, memasang tali panjang melintasi pantai, membuat perangkap batu ayun di hutan, pokoknya segala upaya melindungi dari serangan monster dibuat. Termasuk menaruh makanan umpan di sebuah tiang. Sungguh tampak tak normal. Seorang siswi baru pindahan dari Leeds, Inggris bernama Sophia (Sydney Wade) akhirnya bergabung. Dengan jaket kuning yang terus dikenakan sepanjang film, Sophia menjadi side-kick penyeimbang dunia khayal dan nyata.

Untuk melindungi diri, Barbara memiliki tas mungil pink yang berisi senjata warhammer bernama Coveleski yang terinspirasi dari pemain baseball pitcher Phillies, Harry Coveleski. Tas sakral yang tak boleh dibuka sembarangan, yang akan digunakan tepat ketika sang raksasa menyerang. Di sekolah ia kena bully, sebagai siswi freak. Gerombolan siswi yang dipimpin oleh Taylor (Rory Jackson) sering beradu argumen, serta adu jotos. Atas beberapa kasus inilah, Barbara dipanggil guru BP Bu Molle (Zoe Zaldana). Dari sinilah kita semakin memahami apa yang ada di kepalanya. Ini tentang bertahan hidup, Barbara memerankan diri sebagai pelindung kota, serangan monster akan tiba, maka bersiaplah! Mitologi raksasanya sendiri terbagi beberapa jenis, dan Titan adalah yang terbesar.

Sophia sendiri tampak ragu, akankah tetap bertahan berteman dengan sang aneh, atau melanjutkan hidup normal. Dengan kertas bertulis opsi, Ya atau Tidak, ia akhirnya melanjutkan petualang di hutan. Barbara memberi mantra pelindung kepadanya, meneteskan darah ke dalam perangkap, disertai janji persahabatan. Sebuah masalah baru tercipta ketika Barbara dipukul Taylor di pantai hingga pingsan, di lantai atas, Barbara terbangun dan mendapati Sophia dengan segelas air dan ‘it’ gelasnya terjatuh pecah.

Setelah beberapa hari ga masuk sekolah, Bu Molle dan Sophia berkunjung, mendapati kakaknya yang sendu. Sophia lalu tahu, apa maksud ‘Gaint Killer’nya dari sebuah rekaman pertandingan di kamar dengan voice-over Ibu Barbara terkait sejarah pemain Coveleski. Raksasa itu ada di dalam kepalanya! Terkuak pula sebab dasar kemunculan imaji itu, raksasa Harbingers dan perwujudan perlawanan untuk menghindari kenyataan orang terkasih yang sekarat. Kebenaran yang menggelisahkan, sebuah kesadaran bisu bahwa di hadapan keluasan tanpa batas, segala yang kita kasihi sekejap menjadi pematik sehingga hampa. Penderitaan adalah bagian dari kita. Penderitaan adalah kita. Barbara hanya berupaya mengubah kebenaran karena dia merasa lebih nyaman berbuat demikian.

Saya belum nonton A Monster Calls tapi udah baca bukunya, kisahnya mirip sekali, di mana monsternya diganti raksasa, motifnya adalah ibu yang sakit keras lalu taruhlah emosi labil yang mencipta tarung antar teman sekolah. Barbara mengangkat senjata, Conor O’Malley memeluk pohon. Dunia fantasi remaja yang melalangbuana. Reaksi-reaksi emosional kita terhadap aneka masalah tidak ditentukan oleh ukuran masalah tersebut.

Nietzsche pernah berkata bahwa manusia adalah suatu transisi, tergantung secara ringkih pada sebuah tali di antara dua ujung, di belakang kita adalah monster dan di depan kita adalah sesuatu yang lebih besar lagi. Siapkan ‘Coveleski Anda’, ia sudah mengintip. Besar sekali perbedaan di antara mengetahui sesuatu dan mendapati sesuatu itu terbukti. Mempelajari fantasi imaji cocok untuk kalian yang suka spekulasi.

I Kill Giants | Year 2018 | Directed by Andrew Walter | Screenplay Joe Kelly | Based on Graphic Novel Joe Kelly, J.M. Ken Nimura | Cast Madison Wolfe, Zoe Saldana, Imogen Poots, Sydney Wade, Rory Jackson, Art Parkinson | Skor: 3.5/5

Karawang, 280420 – Bill Withers – Memories Are That Way