“Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan, dilahirkan kembali dalam kudeta dan dibaptis dengan darah pembantaian.” – Brian May (The Indonesian Tragedy)
Buku yang mencerita detail larangan sebuah gaya. Kalau sampai petinggi Pemerintah yang mengeluarkan statemen berarti ada sesuatu yang memang harus diperhati lebih dalam. Dan itu terkait gaya rambut panjang. Terasa lucu, tapi dengan buku ini menjelma serius. Awalnya sebuah skipsi di Departemen Sejarah Universitas Indonesia ini kurang mendapat respons dan dukungan, temanya terdengar sepele dan dianggap kelewat tinggi dengan mengaitkannya pada kondisi sosial politik saat itu. Namun karena instruksi ini menyeluruh pejabat tinggi Pemerintah dari menteri, Kepala Bakin, Jaksa Agung, hingga Pangkopkamtib maka larangan gondrong bagi anak muda jelas bukan hal sepele. Ada kaitannya antara rambut gondrong, gaya hidup, serta pandangan politik dengan tema besar Orde Baru yang gencar dengan kata ‘pembangunan’.
Banyak para penulis sejarah mengabaikan soal-soal sepele yang terjadi di masyarakat. Ong Hok Ham pernah menulis tentang sistem sosial dan politik Hindia-Belanda di Karisidenan Madiun pada abad ke-19 yang dimulai dari kisah pencurian kain tirai (gordijn) di rumah Residen Madiun J.J. Donner. Pencurian tersebut telah menggoncang tatanan sosial karena telah membuat malu sang Residen. Pencurian kain dinilai telah menyingkap isi rumah Donner, suatu yang tabu karena berarti mengungkap rahasia pemimpin, di depan Bupati Raden Mas Adipati Brotodiningrat, dna terutama di hadapan rakyat.
Cerita dibuka dengan tanggal 1 Oktober 1973 Senin malam sebuah acara bincang-bincang di TVRI, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro berkata bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi overschilling alias acuh tak acuh. Sebuah pernyataan kontroversi yang menjadi ancaman hingga boikot artis-artis yang tak mau nurut, bahkan pemain sepak bolapun turut dilarang. Menurut Michel Foucault, kekuasaan dapat didefinisikan sebagai alat untuk menormalisasi individu-individu di dalam masyarakat melalui disiplin dan norma.
Kekuasaan itu senantiasa dapat melahirkan sikap antikekuasaan atau perlawanan yang berasal bukan dari luar melainkan dari dalam kekuasaan itu sendiri – tentunya berasal dari hubunagn sosial yang terjalin (Haryatmoko, 2002: 11). Ada beberapa alasan mengapa periode itu terpilih.
Pertama, Orde Baru mengidentifikasikan dirinya sebagai kebalikan dari Orde Lama, seolah periode ini memberi nuansa-nuansa baru. Kedua munculnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) No. 1/1967 yang menjadi simbol telah dilakukannya kebijakan pintu terbuka yang mempernudah modal asing masuk ke Indonesia, yang secara langsung turut pula masuknya budaya-budaya asing. Peristiwa Malari (11 Januari 1974) merupakan momentum puncak hubungan antara Negara dengan anak muda.
Saya Shiraishi dalam studinya tentang jalinan kekuasaan di Indonesia masa Orde Baru bahwa Indonesia dibangun selayaknya keluarga besar. Di sana ada ‘Bapak’, ‘Ibu’, dan ‘Anak’, dan Soeharto menempatkan dirinya sebagai ‘Bapak Tertinggi’ (Supreme Father) di Indonesia.
Anak muda di sini dibagi dalam dua jenis, mereka yang bersikap apatis terhadap politik di dalam negeri – atau mereka bisa juga disebut apolitis, yang menurut James Siegel disebut sebagai golongan remaja. Mereka adalah anak-anak muda yang memiliki kesamaan selera, aspirasi, dan gaya hidup yang ingin selalu berubah yang umumnya mengacu pada perkembangan luar negeri (Siegel, 1986: 203-231). Jenis yang lain adalah mereka yang memiliki kesadaran yang lebih tinggi akan persoalan bangsa – seperti korupsi, sistem politik, dan lain-lain. Sering kali idealis yang bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, disebut sebagai kelompok mahasiswa (lihat Railon, 1989).
Ben Anderson menyatakan bahwa pemudalah yang memainkan peran sentral dalam revolusi Indonesia, bukan kaum intelegensia atau kelompok-kelompok kelas yang teraliensi dalam kancah perpolitikan dalam kancah politik saat itu. (Hadiz, 1989: 32). Menurut William H. Frederick (1997: 227-229) menolak identifikasi gambaran Anderson, istilah pemuda serta gagasan mengenai generasi muda sebagai kekuatan politik dalam dirunut dari sejarah Indonesia yang panjang, dari Budi Utomo. Seseorang tidak serta merta menjadi remaja karena berusia muda, akan tetapi mereka menjadi remaja karena memiliki selera dan aspirasi yang menandakan dirinya remaja, dengan kata lain menjadi remaja adalah sebuah gaya hidup.
Orde Baru adalah sebuah koalisi yang menginginkan berakhirnya Demokrasi Terpimpin a la Sukarno yang menghendadi persatuan tiga kekuatan politik Indonesia: Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Koalisi terdiri dari kelompok muslim NU, dan Masyumi; Partai Sosialis Indonesia (PSI); kaum birokrat konservatif (PNI Osa-Usep); Partai kiri anti-komunis (Murba); kelompok mahasiswa dan pemuda anti komunis yang dipimpin oleh KAMI; serta tokoh militer (Cribb dan Brown, 1995: 106-107) merupakan kelompok yang tak sejalan dengan Sukarno yang mengingin PKI turur dalam Indoneisa raya, maka PKI disingkirkan. Jelas, gerakan mahasiswa untuk menyingkirkan
Orde Lama tak lepas dari campur tangan Angkatan Darat (AD).
Krisis di Indonesia tahun 1965 para menteri mencoba mengeluarkan kebijakan yang tak populer. Tanggal 13 Desember 1965 dikeluarkan kebijakan antara lain melakukan sanering dengan memotong nilai Rupiah dari Rp 1.000,00 menjadi Rp 1,00 serta mencabut subsidi atas kebutuhan pokok, sehingga meningkatkan biaya kebutuhan hidup masyarakat kebanyakan (Wibisono, 1970: 10’ Anwar, 1981: 1; McDonald, 1980:70). Efeknya mencipta demo di mana-mana yang akhirnya memunculkan Tritura (tiga tuntutan rakyat) yaitu: Pembubaran PKI, Perombakan Kabinet Dwikora, serta penurunan harga.
Penyair antikomunis Taufiq Ismail dalam puisinya ‘Merdeka Utara’:
Dua buah panser Saladin / Dengan roda-roda berat / Rintangan-rintangan djalan / Selebihnya kesenyapan // Dua buah tikungan yang bisa / Seseorang memegang bren / Langit pagi yang biru / Menjadi ungu, menjadi ungu. Puisi yang menggambarkan demo suruh Januari-Februari 1966 yang menewaskan Arief Rahman Hakim, mahasiswa kedokteran UI dan Zubaedah, pelajar SMA.
Orde Lama punya jargon ‘politik sebagai panglima’ maka Orde Baru menyatakan ‘ekonomi sebagai panglima’. Untuk memenuhi program stabilisasi dan rehabilisasi kepercayaan masyarakat luar dan dalam negeri. PMA No. 1/1967 menjadi kerangka dasar diterapkannya politik pintu terbuka, bukan hanya modal asing yang masuk tapi para ahli perekonomian asing yang berpendidikan Barat turut masuk, yang otomatis membawa sistem kapitalis bersama segala persoalan ekonomi dan sosial yang terkandung di dalamnya (Sasono, 1980: 78; Lombard, 2000: 88). Bila Sukarno dikenal dengan ‘ekonomi terpimpin’ maka Soeharto disebut ‘kapitalisme terpimpin’.
Dalam pemilu dikenalkan konsepsi baru the floating mass, massa mengambang yang artinya masyarakat dibiarkan ‘mengambang’ tidak berafiliasi pada salah satu partai atau kelompok ideologi, sehingga pemerintah bisa lebih berkonsentrasi pada pembangunan. Rakyat hanya boleh menyalurkan aspirasi politik lima tahun sekali.
Generasi ‘Baby Boomer’ anak-anak muda 1960-an hidup di tengah-tengah pengaruh berkembangnya budaya konsumsi dan televisi (Tindall dan Shi, 1992: 1370). Dalam counter-culture, generasi terpecah jadi dua, pertama orang yang anti perang berslogan ‘make love not war’ dan kaum hippies yang memiliki cara pandang hidup berbeda saat itu, hippies merupakan gerakan gerakan tanpa kartu anggota, tidak dibatasi umur, maupun Negara (Wethues, 1972: 74). Etika hippies disebut ‘hang-loose’. Kaum hippies menyebut mereka generasi bunga atau anak-anak bunga (flower generation). Bunga adalah simbol, sebagai lambang kedamaian dan tidak membuat orang lain terluka. Mereka adalah anak-anak muda idealis, mau berpikir, yang percaya cinta, keindahan, kebebasan, kebersamaan, saling membantu. Hippies menawarkan kebebasan dalam hidup.
Di Indonesia sama Pemerintah, kaum hippies dianggap persoalan karena mengganggu ketertiban, dan salah satu cirinya berambut gondrong. Makanya dilarang!
Novel Cross Mama karya Montinggo Boesje menggambarkan bagaimana kehidupan keluarga-keluarha ‘high society’, kehidupan keluarga umumnya tinggal di perumahan mewah seperti Menteng atau Kebayoran Baru. Kebudayaan kami bukanlah kebudayaan Indonesia atau Barat, tapi kebudayaan International.
Pencitraan Belanda terhadap orang-orang yang berambut gondrong sebagai pelaku criminal tak lepas dari pengalaman mereka pada masa Hindia-Belanda. Mereka yang tumbuh kurang ajar oleh Belanda disebut ‘teroris’ atau ‘ekstrimis’ yang merupakan produk salah asuhan Jepang (Onghokham, 1977: 21).
Pencitraan antagonis berambut gondrong mudah dijadikan sasaran dan kambing hitam oleh penguasa, termasuk setelah merdeka. Razia rambut gondrong dilakukan dibanyak kota besar. Sebuah ironi terjadi tahun 25 September 1973 ketika band The Bee Gees manggung di Medan, Maurice Gibbs beretoris, “Aneh, bagaimana mereka dapat mengundang kami, sedang mereka sendiri tidak rambut gondrong seperti kami.”
Bukunya banyak menukil surat kabar lampau, berita tv, kutipan para figure, dokumentasi sastra H.B. Jasin, PDII-LIPI, Perpustakaan Idayu sampai Pusat Informasi Kompas. Penelitian ini mengikuti cara umum dalam setiap penelitian sejarah yaitu dengan tahapan pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi atau kritik atas sumber, interpretasi, dan penulisan (Kuntowijoyo, 1999: 89). Setelah dilakukan interpretasi, dapat diperoleh suatu fakta yang dapat dituangkan dalam tulisan. Fakta di sini tentu saja bersifat subjektif karena merupakan hasil dari apresiasi atau interpretasi subjektif atas data yang ada di Penulis.
Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an | By Aria Wiratma Yudhistira | Copyright 2010 | Pengantar Andi Achdian, 2010 | Cetakan pertama, April 2010 | ISBN 978-979-1260-07-7 | 161 hlm; i-xxii, 140 x 203 mm | Penerbit Marjin Kiri | Skor: 4.5/5
Karawang, 280420 – Bill Withers – We Could be Sweet Lovers
Thx to Titus Pradita