Burial Rites by Hannah Kent
“Setiap malam, aku bermimpi tentang kematian, aku melihatnya di mana-mana. Aku melihat darah di mana-mana. Aku melihat darah di tanah, di genangan gelap, dan lengket. Aku merasakan di mulutmu Agnes, aku bangun dengan rasa darah di mulutku.”
Ini adalah buku debut, dan langsung memukau. Hebat, takjub rasanya menikmati lembar demi lembar kisah hidup Agnes Magnusdotir dari masa kecil yang terbengkelai sampai hari H hukuman mati. Tampak nyata kengerian yang disodorkan. Ini adalah kisah fiksi dari kejadian nyata. Diambil dari buku sejarah turun-temurun yang diteliti bertahun-tahun lalu diadopsi menjadi novel, yang sukses mengiris kepedihan. Karena tulisan masa lalu yang agak simpang siur, maka Hannah dengan pede bilang di kalimat pertama di balik naskah bahwa ini kisah fiksi, yang kemudian disandingkan beberapa kenyataan.
Pada tahun 1828, tiga orang Fridrik Sigurdsson, Agnes Gudmundsdottir, dan Sigga di tanah pertanian Illugastadir dekat pantai, melakukan konspirasi pembunuhan atas tuan rumah Natan Ketilsson dan tamunya Petur Jonsson. Kisahnya beralur mundur, jadi di pembuka kita sudah tahu bahwa ketiga pembunuh ini tahun 1829 akan dijatuhi hukuman mati. Ketiganya dipisah, dikirim ke tanah pertanian yang berbeda untuk ‘dibersihkan’ hatinya jelang ajal. Didampingi pendeta, disucikan jiwanya. Karena tak ada dana untuk menampung di penjara, mereka juga ‘dibudidayakan’ untuk bekerja di tanah pertanian itu sembari disucikan. Karena kisah ini akan fokus ke Agnes, maka sepanjang 400 halaman kita akan mengikuti riwayat kehidupannya. Sungguh menyentuh, sungguh berhasil menghadirkan nuansa dingin salju dan temaram lilin khas novel klasik abad 19.
Agnes Magnusdotir ditempatkan di tanah pertanian Islandia Utara yang dingin di keluarga Petugas Wilayah Jon Jonsson. Awalnya mereka merasa tak nyaman ada pembunuh di rumah mereka, bergulirnya sang waktu mereka malah dekat. Terutama sang bunda Margret, yang komplain. Namun justru dialah nantinya yang mendengar kesaksian akhir sang pembunuh karena sang Pendeta yang sakit tak bisa hadir di mas akrusial itu. Didampingi Asisten Pendeta Thoravdur ‘Toti’ Jonsson kisah mengalir bercerita tentang masa lalu. Ternyata Agnes pernah tinggal di rumah itu, mengenal sang asisten pendeta, sewaktu kecil pernah bertemu kedua anak sang taun rumah, Steina Jonsdottir dan Lauga Jonsdottir. Tampak tak asing kehidupan Agnes, penelusuran itu mengarah pada penyelidikan naskah yang mencantum riwayatnya.
Sigga melakukan banding, dan dikabulkan sehingga hukuman matinya ditangguhkan menjadi hukuman seumur hidup melayani. Agnes coba bernegosiasi, bisakah ia juga melakukannya? Sementara Fridrik sebagai pelaku utama mustahil. Ada harapan di sana, ada sebuah opsi lain agar dirinya bertahan menjadi manusia yang lebih berguna.
Agnes melalui hari-hari dengan bercerita kepada sang pendeta, lalu kepada keluarga ini. Selain itu turut membantu dalam pertanian, kalau laki-laki ke sawah dan maka perempuan ke peternakan memerah susu, ke perkebunan pun turut membantu sekadarnya. Agnes memainkan peran dengan bagus, setidaknya sembari menanti hari H ia bisa berguna.
Dari tutur kata itulah plot cerita bergulir. Lambat, tapi sungguh menyentuh. Jadi setting-nya maju mundur, era sekarang di pertanian di musim dingin yang membeku dengan era kehidupan sang pesakitan menjalani hari-hari. Dari kecil, perpindahan dari rumah ke rumah, sampai akhirnya berkenalan dengan korban Natan. Agnes lahir di Flaga, distrik Underfell tahun 1795, ia memiliki kecerdasan tinggi dan pengetahuan serta pemahaman yang baik agama Kristen. Nah di sinilah bagian paling menarik. Sang korban itu berengsek, walaupun berprofesi sebagai dokter yang banyak membantu, ia lelaki hidung belang. Memainkan banyak perempuan. Bahkan Rosa seorang penyair terkenal yang punya suami itu, mengakui anak yang dikandungnya adalah anak Natan. Ganas, seluruh lembah tahu betapa bejadnya dia. Playboy kakap, di mana profesi nya seiring dengan kelakuakn buruknya.
Agnes sendiri akhirnya direkrut jadi kepala pelayan, secara bersamaa ada remaja yang juga direkrut menjadi pelayan juga. Lho… ternyata bibir manis Natan menjanjikan keduanya kepala pelayan rumah tangga, walaupun akhirnya ditiduri juga semuanya. Sadis. Natan, dinamai minrip Satan, dengan hanya huruf depan diganti, tampak mengedepankan nafsu, tak berlogika, sementara Agnes begitu mencintai majikannya sampai berharap dinikahi. Sementara Sigga mendapati pemuda begundal Fridrik yang kedatangannya di rumah Natan begitu dibenci. Fridrik melamar Sigga, tentu saja Natan menolak, zaman itu pelayan kalau diajak nikah harus siizin tuannya. Bayangkan, pelayan itu menjadi semacam gunduk, diminta pemuda untuk dijadikan istri, dan ditolak. Rumit!
Semakin menipis, semakin dekat dengan tanggal pembunuhan. Seperti yang diujar di awal, Natan mati ditusuk berkali-kali, kepalanya dihajar benda keras bersama tamunya Petur di malam naas itu, lalu rumahnya dibakar. Pelakunya tiga, runutnya bisa dinikmati di bagian akhir. Sadis, tapi setelah tahu detail itu rasanya kok seperti karma jahat yang menyelingkupi Natan. Agnes sepertinya apes, di waktu dan tempat yang salah. Seorang pecinta sastra, yang hidup di era yang kejam dan sialnya miskin. Akankah hukuman matinya bisa ditangguhkan? “Kau bukan orang jahat.”
Awalnya memang mengundag simpati, kebaikan yang dilakukannya terbukti ia memiliki welas asih, menjadikan pelayan yang penurut dan berguna. Namun ketika ¼ akhir, kita semakin tahu sifat Agnes. Sayang sekali, ia melakukan tindakan itu. katakata bijak, berhati-hatilah dengan teman, sahabat bergaulmu karena kau akan sepertinya, sangat tepat. Jangan main api kalau tak mau terbakar, Agnes yang miskin dan cerdas itu terjerumus dalam pergaulan payah, sehingga memasuki kefatalan tindakan. Apapun itu, membunuh adalah tindakan buruk, apalagi motifnya dendam, kesal, dan kecewa terhadap korban. inilah frame kehidupan kecil di Islandia Utara. “Aku paling kejam kepada dia yang paling kucintai.” Kata Laxdaela Saga, dan Agnes tega menghunus senjatanya kepada orang yang ia cintai.
Setiap awal bab kita akan disodori surat-surat yang disadur asli dari pihak berwenang. Dari surat pengadilan, surat kepolisian, korespondensi permohonan penangguhan, surat perintah pemindahan tempat penahanan, puisi-puisi penyair Rosa, lagu kematian, sampai surat yang menyatakan perang. Semua terasa nyata, dengan sebagian memakai bahasa asli, yang tampak eksotis.
Ditulis oleh seorang kelahiran Adelaide, awalnya kukira novel Eropa. Ternyata semasa sekolah Hannah pernah melakukan tukar-siswa ke sana, melakukan penelitian atas kasus Agnes dan menuangkannya dalam novel.
“Berjalan di depan, memimpin kaum perempuan // Seorang penyair bernama Magnus // Darahnya yang suci mengalir di urat nadi-nadi perempuan itu // Burfell-Agnes yang baik.” – Anonim, c. 1825
Ritus-Ritus Pemakaman | by Hannah Kent | Diatejemahkan dari Burial Rites | Copyright 2013 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | GM 40201140102 | Alih bahasa Tanti Lesmana | ISBN 978-602-03-0906-4 | 416 hlm.; 20 cm | Skor: 4.5/5
Untuk kedua orangtuaku
Karawang, 090420 – 120420 – 190420 – Bill Withers – Ain’t Sunshine
Thx to Titus Pradita