Hening yang Riuh

Silence by Shusaku Endo

Pange lingua, Bella premunt hostilia, da robur fer auxilium…” / “Apa pun yang terjadi aku takkan pernah mengingkari Imanku…”

Kristiani dibawa ke Jepang oleh Francis Xavier, orang Basque yang mendarat di pantai Kagoshima pada tahun 1549 bersama dua rekan Yesuit dan seorang penerjemah Jepang. Tetapi arsitek sesungguhnya atas misi ini adalah Alessandro Valignano yeng berkebangsaan Italia. Dialah yang menggabungkan antusiame Xavier dengan rancangan masa depan yang brilian serta kegigihan yang mengagumkan. Maka pada tahun 1614 surat keputusan pengusiran itu diumumkan secara resmi, menyatakan bahwa “Gerombolan Kiristian telah datang ke Jepang… dengan maksud menerapkan hukum yang jahat, untuk menjungkirbalikkan dokrin sejati, sehingga mereka bisa mengubah pemerintahan negeri ini dan menguasai seluruh Jepang.” Ini adalah kisah seorang pendeta Yesuit di era itu. Mematik nalar, bagaimana sebuah kepercayaan disebar, ditentang, lalu coba dipertahankan walau nyawa taruhannya.

Saya sudah berniat melahapnya jauh hari, ketika film adaptasinya kunikmati tahun 2016 oleh sutradara kawakan Martin Scorsese yang brilian. Niat itu terwujud tuntas pada hari Kamis, 9 April 2020 ketika mengambil cuti sehari sehingga bisa menuntaskannya dari pagi sampai sore hari di sebuah ruko Galuh Mas, dan masjid Raya Peruri Teluk Jambe Timur, Karawang. Kegigihan, pendalaman karakter, di sebuah masa yang sulit. Inilah sejatinya hening yang riuh di kepala. Dan seperti laut itu, Tuhan tetap bungkam, tuhan masih tetap mempertahankan keheningannya.

Tokoh utamanya Sebastian Rodrigues lahir tahun 1610 di kota pertambangan Tasco, memasuki kehidupan relijius pada usia tujuh tahun dan Juan de Santa Marta dan Francisco Garrpe, keduanya sahabat dan menjadi siswa di semitari Campolide. Pada tanggal 25 Maret 1638, armada kapal India keluar dari sungai Taus dengan iringan letupan senapan di benteng Belem. Di kapal Santa Isabella ketiga misionaris yang menerima berkat dari uskup Joao Dasco berangkat. Awalnya bertiga menempuh perjalanan memutari benua Afrika turut dalam kapal dagang, berlabuh di Makau. Di sana mereka dibantu oleh orang Jepang yang mabuk dan terisolasi, aku hanya bisa menyimpulkan dia diganggu suatu kenangan lama yang dicobanya lupakan dengan minum-minum. Ia ingin pulang kampung, maka mereka pun bersama ke Negeri Matahari Terbit yang kini sedang melakukan penolakan beberapa kapal-kapal asing, termasuk dari Portugis. Penyakit dan kekurangan air menyambangi kapal kami. Dan kenapa kami menahan ini semua? Kenapa kami mau pergi sejauh ini ke kota yang penuh kehancuran di Timur Jauh ini? Kalau dipikir-pikir, Tuhan kita sendiri memercayakan nasibnya pada orang-orang yang tidak layak dipercaya. Sejak tahun 1636 Pemerintah Jepang yang mencurigai keterlibatan Potugis dalam pemberontakan Shimabara, sepenuhnya memutuskan hubungan dagang. “Di negeri miskin-papa itu umat Kristen telah kehilangan pastor-pastor mereka, dan mereka bagaikan kawanan domba tanpa penggembala. Harus ada yang pergi ke sana untuk membangkitkan semangat mereka, dan memastikan api keimanan mereka yang baru setitik itu tidak padam.”

Tujuan mereka ke sana memang G yang ketiga, ‘Gospel’ menyebarkan agama Kristiani, tapi ada misi yang tersembunyi juga. “…tugas satu hal lagi, kami ingin mengetahui kebenaran tentang guru kami Ferreira.” Yup, guru besar mereka dikabarkan menyerah kepada Pemerintah Jepang setelah ditangkap, ia disiksa sehingga murtad melepaskan kepercayaan Gereja. Berarti dadu telah dilempar. Demi meng-Kristen-kan Jepang dan demi kemuliaan Tuhan, kami telah mengadakan perjalanan ke Timur ini. Sekarang kami dihadapkan pada masa depan yang sudah pasti jauh lebih berbahaya dan berat dibandingkan perjalanan laut memutari Afrika dan menyeberangi Samudra India. Ketika Kichijiro menggambarkan peristiwa yang mendirikan bulu roma itu, wajahnya berkerut-kerut lalu sekonyong-konyong dia terdiam. Barangkali setiap ia membuka mulut, dia ketakutan terhadap ucapannya sendiri. Dia mengguncang-guncang tangannya, seolah-olah ada kenangan asa lalu yang mengerikan datang menghantuinya. Seorang pemabuk, mereka percayakan hati kepada seorang pemabuk untuk sampai ke tujuan. Tidak. Tidak mungkin. Iman takkan bisa mengubah manusia menjadi pengecut seperti ini. Maka ketika Rodrigues dan Garrpe mendarat di sana, mereka melakukan pola gerilya dengan tetap mengutamakan keselamatan. Dan bertanya-tanya di mana Ferreira. Kami sama sekali tidak membawa barang apa pun ke Jepang selain hati kami. Kami terlalu disibukkan oleh persiapan spiritual.

Di sana, mereka disambut bak bintang rock. Gegap gempita para domba menemui gembalanya, mencipta hubungan unik. Karena mereka sebar agama dengan sembunyi-sembunyi, maka di sebuah gubuk di atas bukit yang disediakan, mereka tafakur. Akan tetapi aku sudah bertekad, apa pun yang terjadi aku harus keluar dan menemukan domba-domba yang kesepian dan terabaikan itu. Lalu para jamaah datang meminta berkat, meminta waktu untuk ceramah, meminta pengakuan dosa, sampai segala hal yang suci dicelotehkan. Mereka sembunyi dalam lubang di gubuk, maka setiap ada yang datang muncul pertanyaan. “Apakah kau Krsiten?” Kekhawatiran mencipta getar dan waspada berlebih.

Tersentuh hati mereka, karena kedatangan mereka yang dipuja bak orang suci. Keadaan yang genting itu perlahan mencipta kegaduhan, karena pemerintah membagikan pengumuman yang sungguh menggiurkan. Siapa saja yang melaporkan tentang para pastor diberi imbalan tiga ratus keping peraj, seorang bruder dua ratus keping perak dan melaporakn orang Kristen dihadiahi seratus keping perak. Pembantaian orang-orang Krsiten di Kyushu. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakan Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.”

Beberapa benda juga dibagikan, umat menyambutnya bak sebuah berkah. Dari salib, rosario, bahkan tasbih. Semua yang bersentuhan dengan pastor menjadi sangat berarti, suci. Gubuk persembunyiannya menjadi tempat keramat, dikunjungi dan dijadikan altar menyucian dosa. Pola pikir mereka sama dengan pola pikir para malaikat yang jatuh dalam dosa, ketika mereka memikat manusia ke dalam dosa. Dalam beberapa hal, kami para pastor bisa dikatakan adalah sekelompok orang yang menyedihkan. Lahir di dunia untuk melayani manusia, tak ada yang lebih sendirian dan kesepian daripada pastor yang tak bisa menunaikan tugasnya.

Semakin hari semakin ramai, wajar Pemerintah mulai curiga. Dan kabar kedatangan mereka menyeruak. Dari kampung lain, akhirnya ada yang datang. Dari Gotto, dua orang kristiani memintanya datang ke sana, domba-domba itu harus akan sang gembala. “Beri makan domba-dombaku, beri makan domba-dombaku, beri makan domba-dombaku…” Maka Rodrigues ke sana, dan luar biasa penyambutannya. Keberadaanku di kota negeri Timur yang terpencil dan tak dikenal ini benar-benar seperti mimpi. Ia takjub, banyak umatnya di sana. Disambut dengan megah, rasa suka cita dan kebahagiaan sekonyong-konyong memenuhi dadaku; aku merasa hidupku bernilai dan aku telah melakukan sesuatu yang berarti. Walau sembunyi-sembunyi, dan di sana ketemu Kichijiro yang dianggap pahlawan karena berhasil mendatangakn sang pastor. Betapa bangganya si pemabuk itu.

Seiring waktu, pemerintah makin meluaskan pencarian. “Di Jepang telah muncul orang yang merupakan momok bagi orang-orang Kristen. Namanya Inoue.” Para pastor sudah mendengar kedigdayaannya, maka mereka menerapkan cara meminta warga untuk menginjak menginjak-injak fumie, sebuah papan bergambar Perawan Maria dan Yesus ditaruh di kaki mereka, untuk membuktikan mereka bukan kristiani, awalnya bisa, lalu diminta meludah dan berkata kotor terhadap gambar suci itu, sulit. Maka yang tak melakukan ditangkap. Aku tak menyuruh kalian menginjak gambar ini dengan sepenuh keyakinan, sekadar formalitas saja, tidak akan menodai keyakinan kalian.

Lalu cara lebih gila dilakukan, karena ga juga menyebutkan tempat persembunyian sang pastor, mereka ditangkap, diminta empat warga, dan salah satunya Kichijiro. Dihukum dengan dipancang di pantai, beberapa hari, air pasang akan menyambutnya, diiris sebagian kulit sehingg air asin akan menyemburkan kepedihan, berhari-hari hingga meninggal dunia. Mereka mati sebagai martir. Kemartiran yang sungguh luar biasa, aku sudah baca tentang para orang suci yang mati sebagai martir, betapa jiwa mereka pulang ke surga, dipenuhi kemuliaan surga, dan para malaikat meniup sangkakala. Kejam sekali. Kichijiro sendiri selamat, ia dengan pede melakukan pantangan itu sehingga bisa melanjutkan hidup.

Mereka berdua akhirnya terpaksa pergi dari desa itu, karena mulanya mau memberi pencerahan malah mencipta korban rakyat. Penguasa Feodal memiliki kuasa tak terbatas terhadap rakyatnya, jauh melebihi kekuasaan raja mana pun di negeri Kristen. Sampai hatikah engkau menimpakan percobaan lebih banyak lagi kepada orang-orang yang telah terbungkuk oleh beban pajak, pemerintah, dan kekejaman? Perginya berpisah, nah disinilah kengerian benar-benar dimula. Perpisahan ini memberi makna sebenarnya karena firasat itu mengata inilah terakhir mereka bertemu. Rodrigues mendatangi Gotto dan desa sudah porak poranda, ia sembunyi dan bertemu dengan Kichijiro, darinya ia tahu desa digeledah dan dimusnahkan karena ada warga yang tak melaporkan ada Kristiani.

Dari Kichijiro, yang membakar ikan untuknya, dan ia ragu ia akankah melaporkan? Eh beneran, esoknya dalam lelap ia ditangkap pemerintah, sang Yudas menerima uang perak yang dijanjikan. Yudas telah menjual Kristus seharga tiga puluh keping perak, harganya sepuluh kali lebih mahal. Muncul dalam benakku pemandangan dramatis Perjamuan Terakhir, ketika Kristus menoleh pada Yudas dan berkata, “Apa yang hendak kau perbuat, perbuatlah dengan segera.” Nah, sejak dari sini semuanya suram. Rodrigues menjadi tahanan rumah, umatnya dibantai dengan keji, dan ia semakin hari semakin menderita. Sejak datang ke negeri ini, dia seperti telah kehilangan hitungan waktu – bulan, hari; sehingga ekarang ia tak tahu lagi sudah berapa lama, sejak Paskah atau hari yang diperingati berlalu. Sampai akhirnya muncul pilihan, apakah ia bersedia murtad?

Di rumah tahanan ia juga didatangkan ahli agama Buddha, diajak diskusi. Ada tiga jenis Buddha; bossin, goshin, dan oka. Buddha oka menunjukkan delapan aspek untuk menyelamatkan manusia dan memberi keuntungan pada mereka, Buddha bossin tidak memiliki awal atau akhir, dan dia tidak berubah. Menurut jalan pemikiran kami, kebenaran bersifat universal.
Agama kita bisa menembus wilayah ini seperti air mengalir ke dalam tanah yang kering, karena agama kita memberikan kepada orang-orang ini kehangatan manusiawi yang sebelumnya tidak pernah mereka kenal. Aku teringat ayat-ayat dalam Injil yang menyatakan bahwa ada benih yang jatuh ke tanah yang baik, lalu bertumbuh dan bertunas, dan menghasilkan buah, ada yang sepuluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada nada juga yang seratus kali lipat. Sebab tanpa kehadiran pastor, orang-orang di desa ini diam-diam membuat pengaturan sendiri untuk menyelenggarakan sakramen-sakramen, dengan cara itulah mereka mempertahankan iman mereka. “Sungguh melelahkan jalan ceroboh menuju kehancuran, sungguh sepi rawa-rawa yang kita jalani…”

Apalagi momen yang dinanti itu tiba, bertemu dengan gurunya yang kini bernama Sawano Chuan. Penyiksaan demi penyiksaan umat terjadi kalau ia tak berganti kepercayaan. Inilah hening yang riuh, subuh itu ia mengambil keputusan terberatnya sebagai pastor. Tindakannya senyap, tapi kepalanya jelas sangat riuh bergolak.

Banyak hal yang masih relevan hingga saat ini untuk orang-orang yang mabuk agama. “Pokoknya Bapa, kami ini orang Kristen, orang-orang itu bukan Kristen, mereka kafir.” Terdengar familiar? Pernah dengar ucapan seperti itu di media sosial? Yup, begitulah. Setiap agama akan mengklaim itu, merekalah yang benar, yang lain salah.

Kisahnya sendiri berakhir dengan senyap. Dengan nama Okada Sanemon di pemakaman, apa yang dimula dengan semangat menyebarkan agama, berakhir dengan ketetapan hati yang berat harus diakui. Setidaknya orang-orang tak tahu isi hati kita, hanya Tuhan dan dia yang tahu. Apa yang terjadi pada mimpi-mimpi kami yang hebat?

Dosa terbesar kepada Tuhan adalah keputusasaan, namun keheningan tuhan ini tak bis aku mengerti. Dosa bukanlah apa yang biasanya dikira orang, pikirnya, dosa bukanlah karena mencuri dan berbohong. Dosa adalah kalau orang menginjak kehidupan orang-orang lain secara brutal dan tak peduli sama sekali akan luka-luka yang ditimbulkan.

Manusia memang makhluk aneh, jauh di dalam hati kecil kita, kita selalu merasa akan bisa melewati bahaya apa pun. Apa yang terjadi pada sang pastor menjadi sangat menarik. Terutama ketika siksaan-siksaan itu melampaui batas, lalu mempertanyakan keberadaan sang pencipta. Hatinya meluapkan rasa iba kepada mereka, namun rasa iba bukanlah tindakan, butuh pula bukti kasih, rasa iba seperti halnya cinta, tak lebih dari semacam insting. Di dunia ini selalu saja kami kena masalah, jadi kami mesti kerja keras. Bapa, benarkah di surga tidak ada kesakitan lagi? Tidak! Tidak! Kugeleng-gelengkan kepalaku. Kalau tuhan tidak ada, bagaimana mungkin manusia bisa mempertahankan kemonotonan laut dan ketiadaan emosinya yang kejam? Aku tak percaya Tuhan memberikan cobaan ini pada kami tanpa maksud tertentu, aku yakin pada suatu hari nanti kami akan memahami dengan jelas mengapa penganiayaan serta segala penderitaan ini ditimpakan pada kami.

Manusia dilahirkan dengan dua kategori, yang kuat dan yang lemah, yang suci dan biasa, pahlawan dan mereka yang menaruh hormat pada pahlawan. Kichijiro sendiri mengaku dosa berkali-kali, dan merasa sebagai kaum lemah itu. Kenapa Kristus tidak mengentikan ketika Yudas mulai menyimpang dari jalan yang benar? Aku merasa Yudas tak lebih dari boneka malang yang dikorbankan demi kemuliaan drama kehidupan dan kematian Kristus.

Doa tak bisa meringankan penderitaan mereka, sebagai ganjaran atas penderitaan mereka di bumi, orang-orang itu akan memperoleh sukacita abadi. “Jangan membohongi dirimu sendiri. Jangan menutupi kelemahanmu dengan kata-kata indah itu.”

Apa pentingnya semua itu, bukan mereka yang menilai hatiku. Melainkan hanya Tuhan kita.

Hening | by Shusaku Endo | Diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh William Johntson: Silence | Copyright 1996 | 6 17 1 86 001 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Tanti Lesmana | Desain dan ilustrasi cover oleh Staven Andersen | Pertama terbit tahun 2008 | Cetakan keempat, Mei 2017 | ISBN 978-602-03-3717-3 | 304 hlm.; 20 cm | Skor: 4.5/5

Karawang, 150420 – 200420 – Bill Withers – I Wish You Well

Ulasan film adaptasinya bisa dibaca di sini: https://lazionebudy.wordpress.com/2017/03/12/silence-grim-and-intimidating/

2 komentar di “Hening yang Riuh

  1. Ping balik: #April2020 Baca | Lazione Budy

  2. Ping balik: Buku-buku yang Kubaca 2020 | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s