Ephraim Winslow: “Say, why is it bad luck to kill a gull?”
Duduk sendirian sepanjang hari menatap tembok mercusuar sambil memikirkan hal-hal yang berat jelas tak baik untukmu. Kamu bisa stress, kamu bisa gila!
Definisi hening yang sesungguhnya, lautan dengan deburnya, mercusuar dengan rahasia di puncaknya, burung-burung camar dengan celotehnya, dan taruhlah dua orang di sana untuk menekuri waktu. Sebuah frame ambigu mencipta kekuatan saling menjatuhkan. Frustasi ke titik tertinggi, capaian hina sampai-sampai menjadikan putri duyung sebagai objek onani. Iman mengasumsikan bahwa tubuhmu nyata dan bahwa kamu bukan sekadar otak yang tersimpan di sebuah tong yang lalu sekadar membayang-bayangkan semua persepsi pancaindera. Objek itu lalu menyata di pinggir pantai dengan ombak menggoda, menjawil-jawil tepian nafsu, ia tersenyum. Gadis duyung telanjang, memikat hatimu yang sepi. Bayangkan, bukankah tampak menyeramkan? Pemandangan mengerikan. Seberapa seringpun dilihat, tetap merasa mengerikan.
Settingnya hanya di satu tempat, di mercusuar, pemain intinya ya hanya berdua si tua yang sudah pengalaman dan si muda yang dikirim ke sana diperbantukan. Ini benar-benar film cekam, dan perlu mikir, sejatinya apa yang terjadi sampai-sampai mereka saling tikam, salim jaga, ketawa bersama di meja makan malam dalam remang. Berdua saling maki, teriak-teriak, lalu berantem. Nostalgia, amarah, kesedihan, kebencian, semua emosi yang saling bertentangan itu campur aduk dan bergolak di dalam dada.
Pada akhir tahun 1800an seorang pemuda jangkung Ephraim Winslow (Robert Pattison) dikirim ke sebuah pulau yang terisolasi menjadi side-kick petugas mercusuar tua Thomas Wake (Willem Dafoe). Hari pertama di sana, Winslow menemukan patung figure putri duyung dari kayu. Kiranya hanya jadi semacam benda ga guna, nantinya justru menjelma pematik fantasi. Mereka kerja saling silang, satu tidur, satu kerja, dan hanya di sela shift waktu saling menyapa. Termasuk di dalamnya makan malam yang remang. Wake yang memang tampak aneh memeringatkan untuk tak ke atap mercusuar menyaksikan cahaya, itu hanya tugasnya, tak boleh orang lain. Manusia, ketika dilarang justru menyulut tanya, ada apa ya? Langsung mengingatkanku pada Pintu Terlarang (2009, Joko Anwar).
Sebagai anak bawang, Winslow mendapat tugas banyak dan beragam, terutama yang berat-berat. Angkut barang, isi minyak lampu, mengaduk minyak dalam barak, sampai mengaduk minyak di penimbunan, setelah beberapa lama Winslow benar-benar curiga apa yang menjadi rahasia di puncak menara. Suatu saat seekor burung camar mendekat dan ia diperingatkan untuk tak membunuhnya, karena akan menjadi karma buruk. Sementara waktu bergulir, ia menjadi bertambah murung sampai, dan kemurungan ini dilepaskan dengan onani. Makin suram makin menggairahkan sensasinya.
Suatu malam, kala makan malam setelah lelah saling menjaga jarak mereka saling mengenalkan diri lebih dekat. Bagaimana Winslow memutuskan ke sana karena bosan di pekerjaan sebelumnya sebagai tukang kayu. Haha… bosan di sana? Di sini jauh lebih membosankan! Jadi kenapa membunuh burung camar itu ga bagus? Well, sebagai senior ia berpengalaman, Nak burung itu adalah jelmaan kelasi pelaut mati, jiwa yang sepi. Hah, benarkah? Entahlah Nak, mending jangan lakukan itu. Pamali.
Menit-menit berjalan dalam hening, dan mereka saling cekam dalam sepi. Frustasi mencapai level tertinggi ketika malam terakhir Winslow menemukan burung camar tewas, dan ketika ada seekor yang mendekati tampungan minyak, iapun melakukan larangan itu, Wisnlow dengan geram membantai sang burung hingga tewas. Ya ampun, kau melakukan pantangan itu! Sementara angin tampak mereda, badai justru mengintai, hal ini mencipta kengerian Wake sehingga ketika esoknya yang seharusnya datang kapal ferry, mereka tak mendapati. Petanda buruk. Betapa hujan ini membawa suasana murung dan tidak menyenangkan – seperti hama yang merusak segala sesuatu di permukaan dan pada akar-akar di bawahnya. Mulai di sinilah segalanya menjelma ngeri. Seperti mimpi masa silam, tak ada yang bisa menebak apa yang terjadi esok, tapi jelas ia tak boleh takut sedikitpun.
Winslow melihat penampakan orang mati, yang ketika ditelusur bukan orang asing, lalu ada Putri Duyung (Valeriia Karaman) terdampar, awalnya takut tapi malah menjadikan objek onaninya melonjak dahyat. Keadaan tak terkendali, diari Wake dibaca, dan wajah-wajah ‘hantu’ bergelimang di kepalanya, keinginan ke puncak mercusuar itu harus dibayar mahal, karena seolah lapis roti tumpang tindih, nyata dan maya mengabur sampai tak bisa dibedakan. Cahaya di puncak didedah, dan silaunya menampar retina penonton. Siapa yang bisa berhasil keluar dari pulau hidup-hidup? Ataukah koak camar bakalan menjadi lagu kemenangan?
Durasi lebih dari satu setengah jam dengan segala keterbatasan terasa mencekam, bukan hanya horror, The Lighthouse menantang nalar sehingga penonton dituntut berpikir, berkhayal seolah mercusuar adalah altar menuju hari pembalasan. Ditampilkan hitam putih menambah kemuraman. Seru sekali menyaksi Green Goblin dan Edward Cullen ini saling memaki, memainkan pingpong komunikasi dengan lihai. Seperti Pintu Terlarang yang menawarkan kapak dan tanya tak berkesudahan, film ini seolah menyentuh nihilitas dengan tanda koma besar di akhir. Dadu telah dilempar, dan jagoan harus terus bergerak di keterbatasan ruang demi keselamatan umat.
Kehormatan dan kemuliaan dan kekuatan hanyalah milik Tuhan.
Keheningan yang lama menghantam hati orang-orang kesepian bagai batu karam yang sangat berat, dengan kekuatan semacam itu, rasanya seperti sensasi ketika pertama kali mendengar tentang eksistensi tuhan. Dan kesepian itu jauh lebih dingin, jauh lebih mengerikan daripada yang dialaminya sebelumnya. Kesepian bisa menjadikan orang gila, dan kegilaan mengarah pada kemungkinan tindakan tak tanggung jawab. Wake jadi Winslow, Winslow jadi Wake, lalu partner lama yang tewas muncul lagi, tikam! Dan cerewet itu kembali ke titik mula: hening!
Banyak sekali faktor subjektif sifatnya dalam konsep kebahagiaan. Dibalik keheningan menyesakkan laut ini ada keheningan Tuhan… perasaan bahwa sementara manusia berseru-seru dalam penderitaan mereka kepada-Nya, Tuhan tetap diam dengan kedua lengan terlipat menyaksikan tingkah pola dua orang di sebuah pulau dengan mercusuar tegak menjulang, mungkin dengan tersenyum sinis. Betapa sia-sianya ilusi mereka.
The Lighthouse | Year 2019 | Directed by Robert Eggers | Screenplay Robert Eggers, Max Eggers | Cast Robert Pattison, Willem Dafoe, Valeriia Karaman, Logan Hawkes | Skor: 4.5/5
Karawang, 150420 – Sherina Munaf – Ada
Doodle let me go…