Happy Old Year: Kenangan Adalah Ilusi

Happy Old Year by Nawapol Thamrongrattanarit

Saya suka hal-hal sederhana seperti ini. Apa adanya, minimalis, membuang hal-hal yang terasa tak diperlukan, memaksimalkan keadaan, walau itu harus melepaskan benda-benda penuh kenangan. Hidup ya sekarang, dan untuk menata masa depan, masa lalu harus dikorbankan. Memang tak semudah itu mendepak memori indah, tapi pikiran praktis dan menyambut esok bisa saja kita maklumi. Pertama kali dengar pola hidup dengan perabot minimal, sekitar dua tahun lalu di inspirasi pagi, dari Jepang yang lalu mewabah. Itulah yang pertama terlintas setelah film berjalan lima menit. Namun ternyata tak semudah itu menerapkan ilmu. Karena ini menyangkut orang tua, mantan kekasih, cinta, dan kenangan akan segmen bayang yang menghantui. Inilah ilusi yang ditimbulkan kenangan.

Kisahnya tentang Jean (Chutimon Chuengcharoensukying) yang memulai usaha sebagai desain interior selepas pulang dari Swedia tiga tahun. Usaha yang dilakukan di rumahnya sendiri, rumah yang tertata rapi, minimalis dengan benda-benda yang hanya digunakan saja yang tampak di ruangan. Sebuah paparan indah dan tampak idealis, tapi ternyata tak semudah itu menciptanya. Kita lalu diajak menelusur masa lalu, proses menuju ke pembuka film ini.

Jean tinggal sama ibunya yang hobi bernyanyi, dan kakaknya. Mereka hidup dari menservis alat musik. Ayahnya pergi, menikah lagi dengan WIL (Wanita Idaman Lain), meninggalkan luka di keluarga ini. Rumahnya yang strategis pinggir jalan, dan Jean harus punya kantor, maka ia berupaya mengubah lantai dasar rumahnya, menempatkan ibu dan kaka di lantai satu. Itu berarti membuang barang-barang yang terasa tak diperlukan, karena tempat itu penuh dan banyak yang harus dirapikan, maka keteguhan hati harus membaja. Kekejaman harus dilakukan.

Banyak barang yang harus dibuang, atau lebih baik dihibahkan, atau bahkan jadi duit di tangan kolektor. Maka sesi pilih pilah dilakukan. Sahabatnya Pink menemukan kaset CD yang ketika ditanya, ini juga dibuang? Ya… sudah tak diperlukan, ia kecewa karena CD itu adalah hadiahnya dulu pas masih sekolah. Yah, mau gmana lagi? Mending diambil lagi? Silakan. Dari Pink, Jean mending barangnya dikembalikan ke pemiliki saja. Sebuah berkas berisi kamera dan beberapa roll dan milik sang mantan Aim (Sunny Suwanmethanont ) membuat galau akut. Setelah banyak pertimbangan, maka diputuskan dibuang/loak. Berat memang, kukira Jean adalah wanita strong, kejam. Sempat salut, eh runtuh juga, saat kendaraan loak menjauh, ia mendadak berubah pikiran. Barang-barang yang sudah dimasukkan plastik, ia bongkar lagi dan dengan kebimbangan merencana membagikannya, sebisa mungkin.

Beberapa barang yang tak banyak kenang asmara bisalah ia cepat relakan, tapi barang mantan gmana? Terasa sulit sekali, apalagi nanti kita tahu ia di pihak yang salah. Wajarlah, banyak kenangan di dalamnya. Maka ia putuskan dipaketkan saja walau hanya di sebelah. Tak berapa lama, ia mendapatkannya kembali karena sang penerima menolak. Hufh… secara harfiah Aim marah kan? Nantinya kita tahu, bukan ia yang mengirim balik! Maka Jean memutuskan mendatangi langsung rumahnya. Sempat ragu di depan pintu, tapi setelah pencet bel malah balik badan, duh dipanggil mantan dengan dramatis agar masuk rumah. Ok, sebagai permintaan maaf tolong buatkan sup hangat favorit. Sejatinya inilah pematik utama hubunagn mereka.

Kejutan pertama film ini ditampilkan, Aim udah ga jomblo. Ada wanita lain yang ada di sana, mengenakan kaos special yang turut makan sup, ia adalah gadis masa kini, Jean masa lalu: masa kelam hehe… Sungguh (awalnya) apa yang dilakukannya patut diapresiasi, tak ada kemarahan, tak ada kata-kata kasar. Seolah kedatangan Jean ke sana, lumrah dan baik-baik saja. Seakan akan pertemuan kembali ini mengisi kekosongan sebuah wadah melawan kualitas kenangan yang tak penting.
Sementara konflik di dalam, sebuah piano yang ditawar seorang kolektor, seolah menjadi barang suci yang menjadikan keputusan terpenting di sini. Ibunya ngotot untuk tetap mempertahankan, itu piano bapak, walau sudah ga dimainkan itu adalah benda bersejarah. Jean menganggap bapak itu jahat, pergi meninggalkan mereka dengan kemarahan. Sementara sang kakak yang sedari mula jadi penyeimbang memang tak tahu harus memihak ke arah mana. Justru ialah yang menemukan foto lama, foto keluarga dengan latar merona klasik. Bagi kakaknya foto itu tercetak dengan jelas di ingatannya seolah baru kemarin. Bapak main piano, ibu di sampingnya, dan kedua anak bernyayi. Potret lawas yang mengejutkan Jean bahwa mereka pernah sehangat ini dan tampak sungguh bahagia. Nantinya foto buram menjadi eksekusi kunci segala keputusan, di mana hati Jean harus berada.

Di pecahan kisah lain, dua teman lama Jean memutuskan menikah, ia meminta tolong mencarikan foto lama, foto yang menampilkan pertemuan pertama, kedua calon pengantin itu dicari di mana-mana ga ketemu, dan ia kepikiran mungkin disimpan Aim. Jean yang membuka foto-foto lama menemukan potret ibu Aim, kangen ia menelpon dan kejutan keras yang ia dapat. Sakit euy. Kebalikannya, Aim mencoba mengembalikan barang-barangnya maka tak pelak lagi, satu kunjungan siang itu merentet kunjungan-kunjungan yang lain, yang kemudian mencipta hulu ledak kemarahan dalam diam. Kunjungan dibalas kunjungan, tak semua silaturahmi berniat baik itu mencipta akhir yang baik kawan. Inilah cerita hubungan lama yang timbul tenggelam untuk jiwa-jiwa yang rapuh. Butuh kekuatan lebih untuk menuntaskan kisah dengan kepala tegak. Tak perlu dijelaskan lagi, bagaimana endingnya, karena adegan pembuka saat ia diwawancarai wartawan bahwa kunci hidup minimalis dalam kesuksesan terap. Kita hanya tahu, jalan menuju ke Roma sungguh berliku dan terjal penuh batu karang. Tipsnya apa? Kejam!

Jelas ini lebih bagus dari Friend Zone dari Thailand yang kutonton tahun lalu, memainkan hati dengan ibu dan benda-benda penting masa lalu selalu sukses mengalir anak sungai air mata. Egois menjadi peluru pematiknya. Kamu mengingin ini demi kamu, bukan aku. Tapi aku yang selalu mengalah malah kamu tinggalkan tanpa kabar, seharusnya aku marah, tapi entah kenapa aku tak bisa meluapkannya, apakah ini yang namanya masih cinta? Singapura hanyalah tempat pelarian untuk memutus rantai hubung, ga semua orang bisa menerima kepahitan rasa ini. Rumit sejak dalam perencanaan.

Jalan menuju titik sukses memang terjal. Sedari mula kita disuguhi hati Jean yang keras, tapi setelah durasi mencapai separuh, kita tahu ia ga sekeras itu. Dan ketika menit mendekati akhir, apa yang dirasakan Aim sungguh dilematis dan sepakat bahwa Jean memang egois. Tips hidup sederhana, ah sesederhana itu kata pakar, gundulmu! Pertengkaran membutuhkan dua orang yang saling peduli.

Saya sendiri termasuk orang yang suka menyimpan barang-barang kenangan. Mengingatkanku pada film Everything is Illuminated, di mana barang-barang disimpan dan diidentifikasi waktu dan kenangannya. Saya ingat sekali, ketika mudik Solo koleksi tabloid Bola dan film dijual ke tukang loak, saya marah besar. Begitu pula Koran lama yang kusimpan di bawah kolong meja mencapai ribuan, suatu hari pulang kerja tahu-tahu ga ada, ternyata dijual ke pedagang tempe hanya dihargai kiloan! Termasuk barang-barang lain, tiket konser Linkin Park saya laminasi dan disimpan rapi. Artikel Sherina Munaf sejak dua puluh tahun lalu, sebagian kutata. Peniti mantan, kunci loker di tempat kerja pertama, surat cinta, foto di atas Sikusi, bolpoin untuk calon Penulis! Sampai sebuah baju bertanda tangan orang-orang terkasih. Barang-barang yang tak ada artinya, kecuali bagi yang memasukinya. Lelaki melankolis yang rapuh tidak untuk dipermainkan.

Cerita masa lalu menentukan jati diti kita. Cerita dari masa depan menentukan harapan kita. Dan kemampuan kita untuk memasuki narasi-narasi tersebut lalu menghayati mereka, demi membuat narasi-narasi itu menjadi nyata, adalah yang memberikan makna pada kehidupan kita. Apa itu makna? Makna itu harus kejam pada kenangan, dan karena kenangan adalah sesuatu yang membekas dalam ingatan, maka ia abstrak. Sungguh sulit melawan makhluk tak kasat mata ini. Tak ada kesan tanpa kehadiranmu. Hiks,..

Happy Old Year | Year 2019 | Thailand | Directed by Nawapol Thamrongrattanarit | Screenplay Nawapol Thamrongrattanarit |Cast Chutimon Chuengcharoensukying, Sunny Suwanmethanont, Sarika Sathsilpsupa, Apasiri, Nitibhon, Thirawat Ngosawang, Padcha Kitchaicharoen | Skor: 4/5

Karawang, 140420 – Bill Withers – Just the two of us