Mabel: “I know what it’s like to kill by proxy, this isn’t it.”
Misteri sebelas hari menghilangnya sang Penulis cerita detektif memang masih teka-teki, film ini hanya (semacam) spekulasi, apa yang ia lakukan selama Agatha Christie tak muncul. Dan jelas, setelah satu setengah jam menikmati film, apa yang disampaikan adalah fiksi atau lebih tepatnya, sesuai narasi tulis pembuka: imajinasi yang mungkin terjadi. Terlampau banyak kejanggalan, jauh dari kesan Christie yang kita kenal. Anggap saja hiburan akhir pekan, poin plusnya trivia Penulis tenar ini berserakan di mana. Menyenangkan…
Kisahnya dibuka dengan lagu pujian, sebuah melodi perdamaian. Lalu di sebuah gerbong kereta api, seorang prajurit menyanyikannya, tampak samar. Lalu kamera menyorot wajah seorang gadis bernama Florence Nighingale Shore (Stacha Hicks), tersenyum dan mereka saling sapa. Florence adalah perawat tentara perang, awalnya kukira mereka akan berkenalan akrab, tapi ternyata ini adalah sebuah kasus pembunuhan. Sang Perawat dihantam beberapa kali hingga tewas. Film ini sebagian besar adalah upaya mengungkap siapa jati diri sang pembunuh?
Agatha Christie (Ruth Bradley) sedang mencoba merekat hubungan dengan suaminya Archie Christie (Liam McMahon) yang mengingin cerai karena punya WIL (wanita idaman lain), Nancy. Sebagai penulis kenamaan Christie tetap professional dalam bekerja, saat itu tahun 1926, ia sedang galau karena beberapa novelnya oleh pembaca bisa menebak alur. Maka ia mendatangi Sir Hugh Persimmion (Brian McCardie) di lapangan golf, untuk meminta nasehat gara-gara writer’s block. Sir Hugh hanya mau kasih informasi rahasia yang diberikan ke Sir Arthur, jika ikut bermain golf padahal ia ke situ cuma mau tanya detail bahan novel, dan setelah turut serta walau kaku, rahasia itu dibuka: merancang lapangan golf!
Pada suatu hari ada seorang tamu yang meminta tolong pada Agatha Christie karena anaknya adalah korban pembunuhan. Setelah enam tahun tak ada kejelasan kasus, dan penelusuran menemui jalan buntu, ia meminta sang novelist memecahkannya. Tentu saja ditolak, ia penulis bukan detektif. Mabel (Pippa Haywood) ngotot, maka saat ia pulang, berkasnya ditinggalkan. Sang sekretaris memberikannya langsung, tapi tetap tak acuh.
Barulah beberapa hari kemudian, saat ia merancang lapangan golf miniature di atas meja, anaknya yang rewel, suaminya yang nyebelin menggangu, seolah ada bunyi ‘ding!’ dan lampu pijar menyala. Ia harus menyelesaikan kasus ini. Setelah meneliti berkas, dengan detail merencana dengan Bu Mabel, mengirimi surat undangan kepada para pewaris rumah keluarga yang potensial menjadi pelaku. Saat di kantor pos, ia disapa petugas yang sudah mengenalnya ‘Mrs. Christie’. Rumah megah untuk mewawancara calon ahli waris dibersihkan, lalu Christie menyamar jadi sang Pengacara London bernama Mary Westmacott dengan kaca mata, dan make up tebal menampil lebih muda sepuluh tahun. Iseng ia ke kantor pos dan menyapa sang petugas, dan menanyai pendapat bukunya. “Lebih bagus dari Conan Doyle, tapi masih di bawah Stevenson.”
Ketika para undangan sudah tiba, kopernya menyusul, mereka teliti satu persatu. Rasanya saya tak perlu menjelaskan satu per satu siapa saja tamunya, penelusuran ini akan menemukan klik, pasti. Ada korban tewas lagi, ada banyak kejanggalan, yang akhirnya mencoba twist. Detektif Dicks dan asistennya menelusur kematian, mewawancarai semua orang di sana, yang akhirnya menjadi pembuka kedok ‘wawancara palsu’ program warisan. Membawa Koran hilangnya Christie dan kemarahan sebab ratusan personilnya yang dikerahkan mencari. Dengan logat khas British yang merdu di telinga, dapatkah Agatha Christie melepas bayang-bayang ilusi kepenatan hidup?
Kesan klasik coba diapungkan, tapi karena ini hanya film tv, semacam FTV dengan plot detektif jadul maka jangan harap akan semegah bioskop dengan gemerlap CGI dengan budget mewah. Terlihat sekali ini dibuat seminim mungkin latar yang dicipta, bangunan tua, kereta api dengan uap mengepul, lapangan golf yang lebih sederhana. Sejatinya ga masalah, yang utama sekali adalah cerita. Ya, cerita. Untuk kisah dengan mencatut nama Agatha, jelas film ini gagal menyuguhkan cekam atau tanya besar: siapa pelakunya? Percobaan mencipta fantasi 11 harinya patut diacungi jempol, klasik dan menelisik. Kesan sederhana sangat ketara, maklum budget tivi.
Posternya sendiri tampak aneh, dengan warna mencolok berderet parak karakternya dengan sang Penulis di tengah-tengah bertagline: ‘Some people have a taste for murder…’ cast-nya semuanya asing, ga ada satupun bintang besar Inggris yang berhasil digaet, benar-benar asing tak ada yang kukenal. Jadi kenapa nekad juga kulahap? Hanya gara-gara Agatha Christie. Yup, hanya itu. Ekspektasiku sih proses menghilangnya, pencariannya, atau spekulasi yang lebih mendebarkan. Nyatanya, justru ini mengisah cerita lain, hilangnya dia malah hanya tempelan. Sejatinya kasus pembuhan Florence adalah nyata, tahun 1920 dalam kereta api dari London Victoria ke Bexhill, East Sussex. Dan Mabel benar-benar meminta Christie memecahkannya, tapi sang Penulis malah menuangkannya dalam novel berjudul The Man in the Brown Case Suit yang terbit tahun 1924.
Judul The Truth of Murder sendiri diambil dari draf novel Death on the Nile yang terbit tahun 1937 sehingga kesan adaptasi masih coba relevan. Sementara nama pena Mary Westmacott pernah digunakannya untuk menerbitkan enam novel antara tahun 1930 sampai 1956: The Rose and the Yew Tree, The Burden, Absent In the Spring, Giant’s Bread, Unfinished Portrait dan A Daughter’s Daughter. Well, saya belum baca satupun. Bahkan dari 82 novel detektif-nya, saya baru menyelesaikan baca ulas belasan saja. Bahkan dalam penilaian sepintas petugas pos itu, saya mungkin tak sependapat. Dalam Best 100-Novels of all time, saya menempatkan Penelusuran Benang Merah (Sir Arthur Conan Doyle) dalam sepuluh besar, Sepuluh Orang Negro (Agatha Christie) di daftar belasan dan Petualangan di Pulau Harta Karun (Robert Louis Stevenson) di nomor 66. Untuk kasus pendapat novel Pembunuhan Roger Ackroyd yang disampaikan sepintas lewat saat di rumah itu, ia bisa menebak pembunuhnya, saya sependapat, saya bisa menebaknya! Ada satu kalimat penting yang disampaikan yang menjadi kunci utama dalam menebak, tapi ya ga norak juga karena menyebut Roger dengan nama Peter. Di depan penulisnya langsung lagi, addduhhh….
Penulis detektif terkenal Sir Arthur Conan Doyle muncul untuk memberi nasehat, walau sebentar kemunculannya memberi keseruan sendiri, pas ditanya Bagaimana kalau Sherlock Holmes tak pernha ada? Dengan santuy dijawab: “Good riddance to an tolerable dick.”
Mungkin suatu saat ketika saya mengalami writer’s block, saya akan merancang lapangan bola, lebih tepatnya lapangan sepak bola Olimpico! Siapa tahu inspirasi bakalan muncul, di tiap sudut gagasan dan semua pun bersorak… #ForzaLazio
Catatan tambahan: Bagi yang penasaran sebenarnya apa yang terjadi di 11 hari hilangnya Agatha Christie, bisa membaca ulasan detail menakjubkan dalam buku The World’s Greatest: ‘Misteri Luar Biasa Aneh di Dunia’ terbitan Kharisma. Benarkah amnesia? Cemburu? Marah? Frustasi? Atau benar-benar memecahkan kasus pembunuhan?
Agatha and the Truth of Murder | TV Movie | Year 2018 | Directed by Terry Loane | Screenplay Tom Dalton | Cast Dean Andrew, Ruth Bradley, Bebe Cave, Amelia Dell, Richard Doubleday, Derek Halligan, Blake Harrison, Pippa Haywood, Stacha Hicks, Ralph Ineson, Brian McCardie, Michael McElhatton, Tim McInnerny, Liam McMohan, Seamus O’Hara | Skor: 3/5
Karawang, 130420 – Bill Withers – Lovely Day
Disclaimer in end credits: “This film has not been endorsed, licensed or authorized by the estate of Agatha Christie or by Agatha Christie Limited.”