Lengking Burung Kasuari by Nunuk Y. Kusmiana
“Itu burung kasuari. Dia suka marah kalau melihat kita dekat-dekat dengannya.” – Sendy
Keren. Keren adalah kata pertama yang terucap ketika selesai baca semalam (05/04/2020) di akhir liburan. Tata bahasa, plot, penyampaian kisah, karakter yang kuat sampai akhirnya ditutup dengan manis. Kalau boleh kasih sedikit keluhan, adalah ending-nya yang bahagia. Walau Asih kena tamparan, pada kenyataan mereka meninggalkan rumah dengan senyum. Merasa sakit hati, tapi mau mengadu ke siapa? Sempat berpikir ngeri, seperti akhir kisah The Boy in the Stripped Pyjamas karya John Boyne di mana eksekusi akhir, sang anak menghilang hingga benar-benar menguras air mata, Lengking Burung Kasuari tak sepahit itu. Padahal susunan kisah sudah tepat mengarah ke sana, bahkan di bab terakhir di lembar-lembar akhir Asih ‘sudah berjumpa’ dengan tukang potong kep. Penculik anak-anak berambut lurus! Namun tidak, ini adalah buku tentang kehangatan keluarga, sebuah memoar terselubung yang meyakinkan sekali ketika dituturkan karena seolah memang Mbak Nunuk mengalami segalanya, dan menuangkannya dalam buku.
Kisahnya mengambil sudut pandang orang pertama, dan akan terus begitu sampai selesai. Dari anak SD bernama lengkap Kinasih Andarwati, panggilannya Asih, memiliki keluarga harmonis dengan permasalahan yang membumi, maksudnya umum seperti finansial, permainan anak-anak masa lalu yang menyenangkan, hingga pendidikan yang apa adanya. Asih adalah anak pertama dari keluarga asli Jawa Timur, Bapaknya ditugaskan ke Jayapura tahun 1970, dan mereka ikut serta. Ibu Yatmi yang luar biasa hebat. Memiliki adik yang imut, cerdas, dan sungguh menyenangkan bernama Tutik, selisih dua tahun. Bocah cilik bertubuh kuat. Mereka menjalani hari-hari yang panas di bumi Papua, setahun setelah resmi bergabung dengan NKRI. Ada adegan bagus, maksudnya bervitamin. Tentang Pantai Base-G, sejarahnya semasa Perang Pasifik, pantai itu dan seluruh wilayah yang dulu dikenal dengan nama Hollandia menjadi basis pertahanan tentara Sekutu. Wilayah itu dinamai Base-G atau basis pertahanan dengan urutan ke-G. Basis pertahanan di atasnya di sebut Base-F terletak di Hawaii. Jadi ada Base-A sampai E? Mungkin di Amerika. Yang jelas Base-G adalah armada ketujuh Amerika Serikat. Wow, serius baru tahu saya.
Dibuka dengan narasi meyakinkan, tetangga mereka yang asli Papua memiliki bengkel kendaraan, rumahnya berhalaman luas. Dengan daya tarik buah kersen yang pohonnya menjulang di kandang babi, dan di sampingnya ada kandang dengan seekor burung kasuari, yang suka mengejar siapa saja yang menampakkan diri di dekatnya. Asih berkenalan dengan Sendy Patricia Karake, teman pertamanya, tetangga mereka yang Kristiani dan kaya. Sendy sekolah di SD Paulus di Dok Lima Atas, jauh sehingga berangkat –pulang diantar mobil. Selain main pasar-pasaran, masak-masakan acara paling disukauinya adalah memetik buah kersen, unik karena lewat samping, dekat kandang kasuari, dan akhirnya di atap rumah. Dari sinilah judul buku ini diambil. Lengkingan sang burung dan karakteristik hewat tersebut yang terlihat galak, sejatinya berhati lembut. Hewan liar di hutan, dipelihara.
Asih bersekolah di SD Persit (Persatuan Istri Tentara) milik ABRI Angkatan Darat, berangkat bareng adiknya Tutik yang masih TK, bareng pula anak tetangga, Watik dari keluarga Bahar yang sekelas sama Tutik. Letaknya di Klofkamp, sebelah timur Ajen (Asisten Jenderal). Terlihat di sini keluarga Asih dekat dengan Keluarga Bahar karena setiap berangkat aktivitas, kunci rumah dititipkan kepada Tante Bahar. Nah, karena tante Bahar memiliki ‘musuh’ tetangga bernama Tante Tamb (panggilan Magda – nama kecil), mereka perang dingin maka otomatis keluarga ini juga bermusuhan walau mencoba netral tetap saja ada gap. Sejatinya, di sini kita sudah bisa menebak ke arah mana cerita ini ketika Tante Tamb yang menggangu Asih mulu. Dari meminta bawang, minyak, sampai memaksa menjaga Butet, anaknya yang balita. Saya sudah curiga cerita mengarah ke sana, karena pemintaan paksa itu terkesan janggal. Mbak Nunuk kurang rapat menyimpan kejutan yang ini.
Ekonomi menjadi triger berikutnya untuk mengayuh kalimat. Sebagai tentara biasa, gaji mereka pas-pasan. “Ah, gaji tentara. Biar naik juga masih kecil juga.” Sampai tengah bulan dah ludes, maka di sinilah peran istri bergerak. Hebat. Hebat adalah kata pertama yang kuucap ketika tahu Bu Yatmi nekad melakukan bisnis, membuka kios di pedalaman yang pengiriman barangnya bisa berbulan-bulan setiap kapal baru menurunkan jangkar. Dengan jarak kira-kira dua kilo meter dari rumah, setiap pagi dia berangkat jaga kios sembako di Polimak Atas. Modal? Akhirnya mereka pinjam ke koperasi tentara Puskopad (Pusat Koperasi Angkatan Darat) atas nama bapak. Di sini saya takjub. Seorang istri tentara, berjuang demi membantu finansial keluarga. Banting tulang, karena keluarga adalah segalanya. Paginya masak, bangun subuh, siang istirahat bentar, balik lagi sampai sore. Luar biasa. Catat ya, ini kota Jayapura tahun 1970an yang minim transpotasi, minim bahan pokok, minim komunikasi, minim warga, sebuah kota yang sepi. Ibunya akhirnya tersandung kasus, bisnis kayu yang dia geluti rontok. Om Said yang bertugas mengurus, mengambil kayu dari pedalaman, suatu ketika kapalnya kena badai, maka kayu itu dibuang ke laut demi menyelamatkan nyawa. Malam ketika menyampaikan itu, kita mengetahui bahwa ada yang punya keris di rumah asri ini! Selain itu, bisnis batu bata yang dilakukan di samping rumah juga akhirnya kena tegur sama satuan, terhenti juga. Di sini tampak sekali, ini adalah cerita realita. Menjalankan bisnis itu tak gampang, jatuh bangun, kena tipu, terjepit masalah, finansial megap-megap. Jelas, ini ditulis dengan hati. Hati yang pernah merasa pahit manisnya perjuangan.
Kasus berikutnya, Asih naik kelas tiga, tapi nilainya ada merah dua. Naik kelas dengan percobaan. Membuat malu bapaknya. Sementara Tutik yang TK justru gemilang, ia sudah terlebih dulu bisa membaca, tiap sore ‘sekolah’ juga, ngaji, dan pemikirannya lebih praktis. Cool! Karakter favorit. Sendy pernah mengajak Asih ke Gereja, demi sekotak permen. Pernah pula ikut Natalan di rumahnya, demi kesenangan, turut dalam pesta dansa, yang ini gagal karena khusus untuk orang dewasa. Nah, dengan polosnya Tutik bilang Dosa, orang Islam ga boleh masuk gereja karena nanti akan dibakar di neraka. Haha… setelah icip gulali, ikut juga malahan. Oh dunia anak yang menyenangkan.
Akhirnya kita sampai pada kesimpulan. Bapak naik pangkat, sekarang jadi asisten Wakil Gubernur sehingga upahnya turut naik dan akan mendapat rumah dinas yang lebih layak. Bagaimana kios ibu? Sampai cicilan lunas, mereka sedikti lega karena nyaman dengan finansial. Lalu teror Tukang potong kep, tukang potong kepala manusia yang digaungkan Sendy mematik takut Asih, karena mereka hanya mau anak berambut lurus. Jembatan sudah jadi, tapi kepala anak-anak tetap dicari untuk ditimbun di bawah jembatan. Cerita ini nyaris mendekati sempurna di akhir, kenapa? Karena suram adalah koentji maka, akhir yang bahagia terasa terlalu nyata. Tak ada adegan darah, penculikan, atau parang yang beraksi. Ini adalah novel keluarga yang indah. Makin manis ketika ada adegan ‘pamit’ terhadap burung kasuari. Yah, setidaknya novel ini tampak meyakinkan, tampak keren, dan elok. Untuk dikisahkan kepada anak-anak atau remaja. Rate-nya SU – Semua Umur.
Salah satu kegiatan yang kusuka adalah bapak yang jelang tidur membacakan cerita kepada Asih dan Tutik. Cerita yang beragam: Perang Bratayudha, Cinderella, Gadis Korek Api, apa saja. Klop denganku di mana setiap jelang tidur Hermione Budiyanto merengek minta dibacakan cerita, dari Harry Potter, Narnia, sampai buku-buku Roald Dahl. Saat ini sih dua novel Winnie The Pooh tamat. Hebat sih, anak lima tahun hapal detail adegan di Hutan Seratus Ekar dan berkat Pooh pula, ia bercita-cita menjadi ilustrator seperti Ernest H. Shepard karena memang hobinya gambar dan warnai apa saja. Suka loncat-loncat di kasur karena suka sekali aksi membal-membal Tigger. Seperti Tutik yang sudah bisa baca di masa TK, Hermione juga sudah bisa baca latin dan Arab di Paud. Apalagi ending buku pertama Pooh yang diberi hadiah pensil warna, maka ia makin giat menggambar, setiap harinya satu gambar dan dipamerin ke saya.
Satu lagi yang agak personal adalah, sekarang keponakanku yang jadi tentara ABRI Angakatn Laut sedang bertugas di Sorong, Papua Barat. Terasa kisah ini, kehidupan di Timur seperti apa. Walau beda masa, beda angkatan, setidaknya ada gambaran bumi Papua yang jauh… jauh sekali dari tanah Jawa. Menjadi sangat penting untuk bisa menempatkan diri dan kondisi. Indonesia dengan ragam budaya dan bahasa.
Nunuk Y. Kusmiana lahir di Ponorogo, setahun ketika Papua bergabung dengan NKRI ia turut pindah ke Jayapura bersama keluarga saat berusia lima tahun, sampai tamat SD dan SMP. Lulus perguruan tinggi di Yogyakarta, dan aktif di Koran Ekonomi Bisnis Indonesia dan menjadi wartawati di kelompok Gramedia Majalah. Novel ini adalah buku pertamanya, sebagai novel pemenang unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016. Cool! Debut yang menyenangkan.
Tampak sekali, penggalan cerita diambil langsung dari pengalaman pribadi, tentunya dengan bumbu imajinasi dan keseruan pemilihan diksi. Salute!
Lengking Burung Kasuari | by Nunuk Y. Kusmiana | GM 617 202.016 | Editor Sasa | Desain sampul dan ilustrasi Fauzi Fahmi | Desai nisi Nur Wulan | Copyright 2017 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | ISBN 978-602-03-3982-5 | Skor: 4.5/5
Untuk Sam dan Didit
Karawang, 070420 – Bill Withers – Lean On Me
Thx to: Taman Baca Bustaka Galuh Mas, Karawang.