Mengukir Masa Depan by Nidhoen Sriyanto
“Bagaimana tak putus asa, Kak! Sudah enam tahun belajar di SD. Tiga tahun di SMP, dan tiga tahun di SMA. Dua belas tahun sekolah tetapi tak dapat pekerjaan juga!”
Di era Orde Baru, di mana ekomoni menjadi gembong pembangunan dan corong yang paling keras diagungkan demi menjadi negara berkembang, banyak cara dilakukan pemerintah untuk melakukan propaganda. Mereka mencoba menghapus cara lama, Orde Lama yang mengedepankan Demokrasi Terpimpin. Maka Orde Baru menyebut, mereka dalam masa pembangunan dengan istilah Demokrasi Ekonomi. Untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa negara memang konsen dan peduli untuk kesejahteraan warga. Novelet ini hanya segelintir bukti bahwa banyak cara untuk bertahan hidup dengan gaya. Upaya dalam menghilangkan kesenjangan sosial, dengan mencoba menhapus kata ‘priyayi’ memberi gambaran bahwa kerja bentuk apapun bagi pemerintah ga masalah, asal mengisi kemerdekaan dengan hal yang positif. Berbakti pada negara tidak harus bekerja di kantor. Mencukupi kebutuhan hidup atau mencaro nafkah tidak harus duduk di meja. Berbuat agar martabat kita sebagai manusia lebih tinggi bukan hanya karena menjadi priyayi. “Pandangan hidup dan sikap hidup atau tingkah laku sehari-hari dalam hidup ini harus dibenahi.”
Kisahnya tentang keluarga Pak Nodan yang ideal. Memiliki dua anak, putra-putri. Seorang wiraswasta furniture, mengembangkan usaha mebel, tukang kayu yang merintis dari kecil. Di Era Orde Baru tahun 1990an, mereka mencoba tumbuh kembang demi kebahagiaan keluarga kecil. Putra pertama, Wasisadi atau biasa dipanggil Sis selepas lulus SMP melanjutkan ke jenjang STM, sekolah teknik yang memang nantinya lulusan siap kerja. Ia sudah merajut asa, untuk meneruskan usaha bapaknya, optimisme dan kemandirian dicipta dari dalam. Sementara adiknya, tak banyak tampil, hanya menjadi orang dibalik layar usaha cipta kerja kakaknya.
Cerita dibuka dengan problematika, bagaimana pengangguran ada di mana-mana. Banyak lulusan lama tak memilki pendapatan, apalagi yang baru selesai sekolah, makin mencipta pemuda tak kerja. Dinarasikan, bahwa mereka menganggur karena pilih pilah pekerjaan, inginnya di pabrik, inginnya kantoran, sementara tenaga kerja yang dibutuhkan terbatas. Banyak pekerjaan yang sejatinya bisa digeluti, ga perlu malu menjadi tukang, buruh, atau tenaga kasar. Singkatnya, istilah priyayi di zaman kolonial lalu ke era Orde Lama yang kolot dan tinggi seharusnya dihapus saja. Orang-orang tua tak hanya mewariskan benda, tapi juga mewariskan budaya kolot. “Warisan bukan hanya harta benda, melainkan juga berupa cara pikir dan cara bertingkah laku.”
Keluarga Pak Nodan menjadi contoh sukses mendobrak papan itu. Digambarkan Sis menjadi siswa yang rajin, pintar, dan semangat baja. Menjadi panitia kelulusan sekolah, menjadi patokan kelulusan pula. Di STM ada sistem magang, atau Praktek Kerja Nyata (PKN) atau kalau zaman sekarang disebut PKL (Prakter Kerja Lapangan), STM Suka Karya ini melakukan kegiatan positif dengan membantu membangun rumah warga Citra Tani yang terkena musibah gempa. Sebagai warga kabupaten, mereka senang saja naik bus ke pegunungan, ke desa tersebut yang sejuk di mana mayoritas warga bekerja bercocok tanam.
Segalanya lancar jaya bak jalan tol. Selepas lulus sukses bisa membuka usaha mebel dengan toko milik sendiri dan pegawai, lalu guru favoritnya semasa SMP berkunjung membeli perabot rumah. Selesai. Novelet ini nyaris tanpa konfliks, benar-benar datar. Mungkin karena ini buatan seorang guru yang emncoba menitikkan petuah, nasehat, kata-kata mutiara makanya tak terlalu banyak kejutan.
Selesai baca sekali duduk di Sabtu pagi (28-03-20) libur kerja. Buku ini kubeli ketika ke IIBF (International Indonesia Book Fair) 2018 di Jakarta bareng Bung Tak. Memang kubeli sekadar iseng, bukunya tipis, harganya tipis, klasik terbitan Balai Pustaka. Isinya ternyata juga tipis. Buku semacam ini memang umum kita temui di perpustakaan sekolah, jarang di toko buku umum konvesional.
Pengangguran adalah masa-masa yang menakutkan. Untuk mengelak dari pengalaman yang tidak enak ini, tentau tergantung pada masing-masing. Artinya bagaimana kita harus berusaha agar masa depan bisa bekerja. Buku ini mengisahkan perjuangan Sis muda menuntut ilmu dan ketrampilan agar masa depan yang gemilang. Tak perlu berkerut kening atau jelimet, benar-benar bacaan ringan. Memang di sampul tertulis Remaja sih genre-nya.
“Warisan yang tak menguntungkan adalah pendapat atau pendangan bahwa bekerja di kantor itu para priyayi. Martabatnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan pekerja kasar. Menurut pandangan itu, bekerja harus menjadi pegawai di kantor. Padahal tidak harus demikian bukan?”
Nidhoen Sriyanto lahir 13 Desember 1949 di Wonogiri. Tahun 1972 lulus sarjana muda jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Negeri Surakarta. Pengalaman kerja, mula-mula di bagian promosi perusahaan swasta, tahun 1978 mengajar SPG Negeri Jambi. Tahun 1984 di Pusat Pendidikan ndan Latihan Pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di bidang tulis menulis, sejak 1981. Tahun itu dan 1983 menjadi juara dua Sayembaya Mengarang Bacaan Populer yang diadakan oleh Proyek Penulisan dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun 1984 dan 1985 meraih juara satu untuk sayembara yang sama.
Mengukir Masa Depan | Oleh Nidhoen Sriyanto | Penerbit Balai Pustaka | BP No. 3685 | Copyright 1991 | Cetakan kesebelas – 2003 | 78 hlm.; ilus.; 21 cm | Perancang kulit dan dalam B.L. Bambang Prasodjo | ISBN 979-407-339-3 | Skor: 2/5
Karawang, 290320 – KE$ha – Crazy Kids