The Best Films 2019
Wake: “And I am damn-well wedded to this here light, and she’s been a finer, truer, quieter wife than any alive-blooded woman.”
Oscar tahun ini mengejutkan banyak pihak, sebagian pihak maksudnya. Termasuk saya, haha…. Parasite mendobrak tabu, film asing menjadi pemenang kategori tertinggi. Untuk pertama kalinya, film bahasa asing menjadi Best Picture, dan Negara yang beruntung itu adalah Korea Selatan.
Dari kumpulan superhero melakukan balas dendam sampai remaja hamil diluar nikah. Dari kisah fotografer kesepian sampai tawa renyah badut brutal. Dari pengantar surat di Perang Dunia Pertama sampai cerita adu cerdas di pengadilan. Dari penulis sulung keluarga March sampai dokrin NAZI untuk remaja. Dari duo gila di mercusuar sampai drama cinta buku berhalaman 28. Semua tersaji dengan keceriaan hati yang melimpah ruah. Hari ini 31 Maret 2020. Hari special ulang tahun keponakan tercinta. Untuk keempat kalinya saya kasih daftar sejenis. Berikut film-film terbaik 2019 versi LBP – Lazione Budy P.
#14. Pet Sematary – Kevin Kolsch & Dennis Widmyer
Berdasar adaptasi buku Stephen King, endingnya mengejutkan. Sad ending dengan gaya, ga nyangka bakalan seperti itu. Kisahnya memang menyedihkan, tapi ini kesedihan yang maksimal karena menyangkut seluruh anggota keluarga. Pemakaman binatang peliharaan memiliki kekuatan magis, dan memborong nyawa orang-orang terkasih. Ini baru Cekam horror. “In the woods today, Ellie discovered a charming little landmark.”
#13. Avengers: Endgame – Anthony Russo & Joe Russo
Kali ini kumpulan super hero memainkan waktu. Dilipat, dijelajah, dimodifikasi lalu adu jotos ronde berikutnya terjadi. Setelah luluh lantak di Infinity War karena jentikan maut Thanos, para jagoan menyusun misi ‘menghidupkan kembali’ mereka yang mengabu. Teori waktu disajikan, dimula oleh Ant-Man dan diakhiri oleh kematian jagoan pujaan mayoritas umat yang sekarang kita kenal dengan kalimat ‘I Love You 3000’.
#12. Section 357 – Ajay Bahl
Saya selalu berkiblat ke novel-novel John Grisham ketika membicarakan drama berkelas pengadilan. Maka ini seolah adalah adaptasi bebas dari salah satu bukunya. Kasus pemerkosaan yang tampak mudah untuk mengambil keputusan, justru malah samar ketika menit berjalan mendekati akhir. Si miskin, gadis perancang busana yang dilecehkan sutradara terkenal dengan brutal. Dari sisi umum, ini perbuatan terkutuk. Sampai hati yang membara, dan dendam membuncah berbicara. Keadilan dilambangkan dengan timbangan, mata tertutup. Lalu akankah banding itu berhasil membebaskan sang terdakwa? Laki-laki, selalu apes ketika kasus selakangan diapungkan.
#11. Jojo Rabbit – Taika Waititi
Segala cara dicipta untuk mencipta propaganda. Di era kejayaan Nazi, Hitler bak tuhan yang wajib dipuja. Maka generasi muda jadi tumpuan untuk melanjutkan ideologi. Roman memainkan remaja yang galau, Jojo Betzler. Halu Hitler menjadi side-kick yang muncul di saat-saat genting. Komedi satir yang memenangkan adaptasi naskah terbaik. Endingnya keren, laiknya tik-tok, sebuah perayaan merdeka yang histeris tanpa kata. “Is it dangerous out there?”
#10. Dua Garis Biru – Gina S. Noer
Satu-satunya film Indonesia yang saya masukkan ke daftar. Memang istimewa filmnya, slow pace realistik. Pacaran anak sekolah yang terjerumus perzinaan, hamil diluar nikah, dan problematika setelahnya. Menyatukan dua keluarga, si kaya yang mencoba berdamai dengan masa depan Dara dan si miskin yang menyusun kepingan harap untuk Bima. Siapa yang salah? “Kalau ibu saja perlahan-lahan bisa memaafkan kamu, apalagi Allah.”
#9. Us – Jordan Peele
“It’s us.” Lelah juga pikiran. Beberapa hal memang ga sesuai ekspektasi. Orientasi hidup apa sih? Hidup seimbang apa sih? Panjang umur apa sih? Masuk surga apa sih? Jangan-jangan dunia ini ada senyawa pararel yang menginginkan kehidupan kita? Bayang di ‘cermin’ itu membawa gunting untuk memenggal segala asa. Twist! Salut sama ide-ide nyeleneh Jordan Peele. Untuk kali ini, agak brutal, secara cerita memang gila sih. “…but the soul remains one.”
#8. Joker –Todd Phillips
Tawa yang sedih. Dalam teori Will Self di buku The Quntity Theory of Insanity bahwa jumlah total kewarasan manusia itu tetap, tak berubah-ubah, karenanya usaha-usaha untuk menyembuhkan orang gila adalah hal yang sia-sia, sebab apabila seseorang sembuh dari kegilaannya, pasti di tempat lain ada seseorang yang kehilangan kewarasan, seakan-akan kita telah berbaring di atas kasur dan mengenakan selimut kewarasan yang ukurannya kecil sehingga tidak mampu menyelimuti kita semua. Dan itulah sekelumit psikopat-gila film ini. “Ketika kau memperkenalkanku keluar, dapatkan kau memanggilku Joker?”
#7. Parasite – Joon-ho Bong
Siapa sebenarnya yang menjadi parasite? Para umat miskin yang menempel menjadi karakter ‘pembantu’ orang-orang kaya, atau justru orang kaya yang memanfaatkan kejelataan umat? Film ini menampilkan kedua sisi dengan gemilang. Sebagian bahkan jenaka. Sampai adegan ‘penguasaan rumah’ oleh kolaborasi orang miskin, nyaris menjelma film konyol. Maka ketika malam itu bel berbunyi di tengah hujan badai, film ini memasuki dunia realism. Goa gelap tak bertuan.
Tak pernah ada masalah dengan ide aneh.
#6. Photograph – Ritesh Batra
Sunyi yang mendesis. Seorang fotografer miskin, jomblo, dan penyendiri suatu hari memotret mahasiswi di Gerbang Selamat Datang. Miloni pergi tanpa membayar, Rafi mencari tapi bukan niat uang. Justru pematik kisah adalah nenek Rafi yang mendamba kebahagiaan cucunya, maka ketika kunjungan mereka memainkan sandiwara tunangan. Esensinya bukan cinta beda kasta dan perjuangan mencipta kebersamaan, karena dari foto itulah kita menangkap momen. Selalu ada kesempatan untuk semua umat-Nya.
Mari kutaruh ‘hari ini’ ke amplop Anda.
#5. 1917 – Sam Mendes
Seolah one take dari awal sampai akhir film. Luar biasa. Harus ditonton di bioskop untuk merasakan pengalaman sensasional, pergerakan kamera yang lembut walau terjadi banyak goncangan. Sebuah pengalaman sinema yang menyenangkan. Cerita cuma antar surat yang memberitahukan serangan dibatalkan, di tahun 1917 dengan teknologi terbatas perang berkecamuk. Dua tentara harus melintasi padang perang. Luar biasa kita menjadi mata kamera, saksi cekam teater serangan yang sejati. “I hoped today would be a good day. Hope is a dangerous thing.”
#4. The Lighthouse – Robert Eggers
Kalau patokan suram adalah koentji, maka The Lighthouse adalah kunci yang memakai kode istimewa, maksudnya rumit. Horror yang perlu mikir, dan warna filmnya hitam putih. Udah ditakuti, mikir lagi. Permainan psikologis, antara nyata dan fiksi. Akting Green Goblin versus Edward Cullen sungguh memukau. Sepanjang dua jam kalian hanya melihat dua orang ini, dengan setting satu tempat. Sebuah mercusuar dengan problematikanya. Sepi kesepian, sampai-sampai putri duyung dijadikan objek onani. Kurang keren apa coba? Jadi ingat Pintu Terlarang. Sukses membuat penonton frustasi. “What made your last keeper leave?”
#3. Little Woman – Greta Gerwig
Saoirse + Hermione + Meryl bonus Gerwig = Masterpiece. Ternyata ada kejutan, satu lagi karakter yang membuat hati jatuh, Florence Pugh. Diluarguda justru dia memainkan peran paling signifikan, krusial, dan paling berkembang. Dari gadis rapuh, lalu ambisius, lalu membumi lagi. Dari novel adaptasi Louise May Alcott yang legendaris, Gerwig memainkan plot menjadi acak. Proses Jo menjadi penulis penuh perjuangan: tapi tetap keluarga adalah segalanya. “I am so sick of it… I am so lonely.”
#2. Portrait of a Lady on Fire – Celine Sciamma
Pelukis mencipta seni, menghidupkan seni, melakukan seni. Dan boom! Inilah kisah cinta pelukis dan modelnya, ga sembarangan model karena ia adalah Sang Lady yang akan menikahi pangeran, cinta sesama cewek yang malah menambah gairah. Cinta terlarang menyeret rasa terdalam. Kehidupan ini fana, yang abadi adalah potret dengan model kekasih, berbaju hijau. Saya jadi penasaran dengan buku tiap halaman 28, suatu saat akankah bisa kutemukan di halaman 28 bersketsa tubuh molek, bonus cermin bulat. Membumbungkan daya khayal. Tambahkan pirang! Tiga menit terakhir adalah sajian kepuasan, bikin mikir berhari-hari: wajah pirang sendu, senyum, lalu nangis dengan iringan musik gesek yang menyayat. “I can’t make you smile. I feel I do it and then it vanished.”
#1. The Irishman – Martin Scorsese
Reuni para orang tua yang luar biasa. Tiga setengah jam yang memukau, sejatinya sebuah hiburan psikologi itu harus seperti ini. Kumpulan para maestro sinema, yang bisa jadi menjadi perpisahan Martin Scorsese dengan para aktor langganannya, terutama Robert de Niro dan Joe Pesci. Berdoalah, semoga Martin masih mau mencipta karya dengan kumpulan orang tua semacam ini. Dan dihargai Oscar!
Ini tentang mafia yang hilang. Ketua serikat buruh yang menghilang tak ketemu rimbanya. Dan penonton menjadi saksi metamorphosis seorang pengantar daging menjelma pembunuh suruhan. Tak ada yang mudah kalau berhubungan dengan dunia kriminal. Roti celup dan ketidakadilan piala Oscar. “Fck em, fck em!”
Karawang, 310320 – Hanson – If Only (Live and Electric, Best of)
Selamat Ulang Tahun Winda Luthfi – 14 Tahun.
>.<