Jo March: Women, they have minds and they have souls as well as just hearts. And they’ve got ambition and they’ve got talent as well as beauty,and I am so sick of people saying that love is just all a woman is fit for. I am so sick of it! But… I am so lonely.
Luar biasa. Memainkan pola, dengan plot maju mundur, penonton menjadi saksi nasib empat saudari March. Jatuh bangun membangun mimpi, tangis tawa memenuhi ruangan keluarga. Dengan nama-nama besar yang sesak rasanya sulit sekali menolak mencinta para gadis yang sedang mekar ini. Keluarga adalah segalanya, maka Little Women memenuhinya dengan drama meluap-luap.
Kisahnya tentang empat saudari March. Si sulung Jo March (Saoirse Ronan) yang bercita menjadi penulis sandiwara dan penulis novel. Meg March (Emma Watson) yang bercita menjadi model, atau aktris. Amy March (Florence Pugh) yang bercita menjadi pelukis, dan Beth March (Eliza Scanlen) yang bercita menjadi pemain piano. Ayah mereka (Bob Odenkirk) pergi berperang, maka sepanjang film kita akan lebih dekat dengan sang ibu. Marmee March (Laura Dern), dan pembantu mereka Hannah.
Dibuka dengan Jo March yang menatap pintu sebuah agensi penerbit, dengan kamera menyorot punggungnya, seolah mengucap doa maju menyodorkan draf cerita. Saya mengucap bismillah, memulai petuangan, Saoirse maju. Cerita pendeknya disetujui, ia mendapat uang. Di New York, ia mencoba mewujudkan mimpi remajanya. Menjadi penulis. Dia tersenyum…
Meg March memainkan peran dalam sandiwara cerita ciptaan Jo, tatapan sendu pada kain istimewa yang akan dijahit menjadi baju mode saja sudah cukup membuat leleh, ingin menjadi model bisa sama dengan tiket keluar rumah. Pacaran dengan John yang nantinya menjadikannya March pertama yang menikah. Tak perlu waktu lama menanyakan nasibnya, di menit awal sekali kita tahu ia memiliki dua anak, dengan ekonomi sulit. Mungkin peran Emma Watson di sini memang kurang banyak, ia lebih seperti membantu Jo yang jadi pusat perhatian. Namun tiap mereka dalam satu frame, hati saya berdegub lebih kencang. Menyenangkan, menyaksikan dua orang yang menjadi nama dua putriku tampil dalam satu layar.
Amy March suka melukis, mencipta karya dengan keheningan. Berserakan kuas dan ilustrasi, lukisan orang-orang sekitar, dengan pensil atau cat air, sama tampak bagus. Nantinya berkenalan dengan lelaki kaya Fred Vaugh, jalan-jalan bareng sama yang lain ke pantai, bukannya melukis Fred ia membuat ilustrasi gambar Laurie. Sudah ada rasa, sudah menandainya.
Beth March pandai memainkan piano, tapi keluarga March ga punya piano. Maka tetangga mereka yang kaya, Tuan Laurence (Chris Cooper) membolehkannya ke sana guna memainkan tuts. Apalagi mereka kehilangan anak perempuan, maka saling melengkapi. Mereka saling membantu, dua keluarga yang akrab ini menjalin banyak keistimewaan, terutama putra mereka, Theodore ‘Laurie’ Laurence alias Teddy (Timothee Chalamet) yang tampan mengimbangi kecantikan keempat putri March. Memainkan hati dan pikiran, menjadikannya karakter eksekusi, karena ia mencintai Jo, ditolak, mencintai Amy, lha kan Amy sudah akan menikah dengan Fred yang kaya. Bibi March (Meryl Streep) sendiri lalu menggantungkan harap kepada Amy untuk menikahi si kaya, akan menerima waris cincin istimewanya. Namun hati manusia siapa yang tahu, Tuhan adalah mahasegala pembolak-balik hati ciptaannya.
Plot lalu bergulir dengan tenang, Beth sakit, Jo dikirimi surat untuk pulang. Meg datang bersama keluarga kecilnya. Amy yang sedang dalam perjalanan ke Eropa tak dikabari, karena ayah mereka sedang berperang, maka Beth dirawat bersama, oiya sama pembantu mereka yang setia Hannah. Menghadapi hari-hari mendebarkan itu, penonton turut was-was. Dan akhirnya Little Women menemui titik tutup yang seperti kehidupan ini sendiri, apapun yang terjadi segalanya dilindas waktu. Apapun itu, yang terjadi terjadilah.
Saya belum baca bukunya, saya justru punya Jo’s Boys, sekuel cerita ini. Jadi ketika Jo bilang ingin jomblo selamanya, tak ingin menikah, itu bisa dengan mudah dipatahkan. Penjelasan ending di bawah payung tersirat. Terlalu manis mungkin, setidaknya menyelamatkan nasib putri March.
Saoirse Ronan ingin menjadi penulis, mencipta karya dengan ketenunan. Membuat sandiwara keluarga yang disaksikan anak-anak dan tetangga, indah sekali tiap ia tersenyum. Emma Hermione Granger Watson ingin menjadi model, menjadi pemain teater. Mengenakan baju mode, cantik sekali tiap senyum. Meryl Streep menjadi bibi yang mengarahkan putri-putri March, dengan pengalaman hidup panjang, ia berharap yang terbaik kepada para keponakannya, tenteram sekali melihatnya tersenyum. Gerta Gerwig mencipta karya adaptasi novel, menulis dan menyutadarinya. Sacramento Proud. Keempat orang inilah yang menjadikan alasanku menjadikan Little Women, film paling ditunggu, setelah menonton ada satu aktris yang mencuri hati, adalah Florence Pugh. Gilax, ia menjadi penyeimbang yang sangat menawan. Menjadi saudari yang ngeselin, nyebelin, membakar naskah novel, menyerobot perjalanan ke Eropa, menikahi lelaki yang mencinta Saoirse sampai mencipta kekhawatiran menjelma akhir yang pilu. Laik Oscar!
Ekspektasi menikmati akting Saoirse Ronan dan Emma Watson, realita saya tercuri hati oleh Florence Pugh. Gilax, keren banget nih bocah. Sejujurnya, saya lebih menebak Pugh menang Oscar ketimbang Saoirse. Adu akting ketika ia membakar naskah, lalu meminta maaf, lalu berantem, menyusul dengan sepatu es, lalu emosi meluapnya, lalu menjelma gadis baik-baik dengan tampak polos memilih lelaki yang menintai kakaknya untuk dinikahi, sungguh memikat. Kalau bisa sih, dua-duanya menang. Jadi kenapa ga kutaruh aja prediksi sesuai harap? “Yes, you’re Jo.”
Untuk Gerwig, rasanya sulit, apalagi untuk kategori tertinggi. Setidaknya untuk naskah saja, please. Memainkan emosi, plot yang tak lazim, teka-teki siapa jodoh Jo, sampai hal-hal yang mungkin tampak biasa menjelma luar biasa. Lihat! Saoise menulis surat, meminta kesempatan kedua cinta yang pernah ia hempaskan, lihat hanya dalam beberapa menit, surat itu dirobek, dilemparkan ke sungai. Emosi jubgkir balik, yang semestinya jadi piala. Jadi ingat doeleo, mudik mendapat surat yang mematahkan hati, lalu tanpa kubaca detail, langsung kulempar ke sungai. Selain naskah, kostum desain juga laik menang. Jacqueline Durran sukses mencipta pemandangan cantik Hermione-ku.
Jelas, tak perlu diperdebat pendapatku tentang film ini. Tentang dunia buku, proses menulisnya saja sudah dapat nilai wow. Artis yang menyelingkupi menunjuk pada kesempurnaan, kalian hanya tersenyum ke layar saja sudah bikin leleh. Ini kesempatan langka, Saoirse dan Hermione pertama kalinya duet, terlihat dalam satu layar, ya ampun, kata siapa tak ada manusia sempurna?
Anything more?
Little Women | Year 2019 | Directed by Greta Gerwig | Screenplay Greta Gerwig | Based on novel Loiusa May Alcott | Cast Saoirse Ronan, Emma Watson, Meryl Streep, Florence Pugh, Eliza Scanlen, Laura Dern, Timothee Chalamet, Tracy Letts, Loius Garrel | Skor: 5/5
Karawang, 100220 – Backstreet Boys – Drowning
Parma 0-1 Lazio, Caicedo 40’ #OscarDay
Ping balik: The Best Films 2019 | Lazione Budy
Ping balik: Jojo Rabbit: Komedi Satir di Era Nazi | Lazione Budy