Peristiwa Rafillus Telah Mati Dua Kali

Rafilus by Budi Darma

Demi udara yang saya isap, tanah yang saya pijak, ruang yang saya tempati, dan setan, peri, dedemit, serta segala macam makhluk baik yang tampak maupun tidak, saya berjanji dan sekaligus bersumpah, bahwa cinta saya kepada sampean adalah cinta terakhir...”

Kutipan pembuka buku ini saya tulis ulang, karena juga jadi kunci latar belakang sang karakter utama. ‘Kaum musyik: “Apakah kalau sudah menjadi tulang belulang dan hancur lebur, kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk baru?” Tuhan menjawab dengan tegas: “Ya, kamu akan menjadi batu hidup atau besi hidup.”’ (QS Al-Isra, 40-50)

Andai kata takdir mengenal keadilan dan juga timbang rasa terhadap kebaikan, kebajikan, dan amal manusia, maka takdir dapat diperdebatkan. Saya ingin lepas landas dan mengibakan takdir saya. Takdir adalah takdir. Dan takdir tahu apa yang dihendakinya, karena itu dia tidak suka mengadakan tawar-menawar. Novel yang unik. Pusat cerita adalah Rafilus, orang aneh dengan perawakan besar dan kuat laiknya besi hidup. Tidak jarang saya merasa seperti patung besi yang kebetulan dapat bertindak dan berteriak. Namun sudut pandang adalah Tiwar yang bercerita ulang. Dia menjadi saksi perubahan desanya pasca merdeka tahun 1950an sampai novel ini terbit tahun 1980an. Ini kisah yang membelenggu dengan plot yang tak banyak riak, endingnya adalah kalimat pembuka, dan kalimat pembuka itu saya nukil jadi judul ulasan ini, jadi jelas ini bukan spoiler.

Ketidaktahuan adalah siksaan, dan siksaan adalah obsesi. Setelah dibuka dengan exordium tentang sejarah Kuda Troya yang terkenal itu. Kita diajak ke Yogyakarta, tentang arti pahlawan. Seorang tukang jaga kantor yang kerjanya monoton, sapa, hormat, senyum. Tampak sederhana, waktu tampak membosankan, lalu dengan santuy sang Penulis bilang bahwa tempo novel ini lambat. Jadi bersiaplah! Peringatan semacam itulah, sebab ini cerita pengakuan. Namun kisah bukan di DIY, hikayat ini di Jawa Timur.

Nama-nama tokohnya memang aneh dan unik, begitu juga tingkahnya. Dia tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan mengapa orang-orang yang bekerja keras tetap merangkak, dan mengapa orang-orang yang tidak mempunyai otak justru dapat mengatur hidupnya sesuai selera. Dari awal sekali kita diperkenalkan dengan Jumarup, seorang kaya raya, kalangan jetset yang mengundang banyak tamu guna jamuan makan, tanpa memunculkan batang hidungnya saat pesta. Jadi para tamu membaur, makan dan saling kenalan. Para pramusaji juga ga tahu wajah si Jumarup ini. Dari sini saja kita dah mengernyitkan dahi. Karakter nyentrik gini perasaan pernah baca, atau lihat di film. Dari mula inilah Tiwar berkenalan dengan Rafilus, yang sama-sama tamu, pulangnya nebeng, dengan perjalanan mobil dan melewati jalur berbahaya kala malam hari. Berbahaya di sini adalah, jalan yang sepi dan malam hari sering ada begal menghadang. Dalam perjalanan inilah kita tahu riyawat sang karakter utama. Bagaimana ia tumbuh dalam kerasnya rumah panti asuhan.

Hikayat Gandari yang melahirkan Kurawa diambil untuk konotasi wanita yang suka digarap, suaminya buta, maka di sini Rafilus jatuh hati. Rafilus tinggal di Margorejo sedang sang Saya tinggal di Ketintang Wiyata, cukup jauh, di antaranya ada Jl Ahmad Yani dan rel melintang jalur Surabaya-Malang-Jember. Saya harus sampaikan ini karena jalur inilah yang menjadi algojo akhir novel ini. Obsesi pun bukan hasil, melainkan proses. Begitu obsesi mencapai titik kulminasi, segera sekian banyak pikiran yang tidak lepas dari obsesi itu sendiri segera berkelebatan.

Karakter aneh lainnya adalah seorang tukang surat Munandir, menuturkan pengalamannya tentang surat yang datang dan pergi di rumah Rafilus. Otak untuk berpikir dan bukan sekadar bagian kepala. Betapa anehnya ia. Setelah mendengar banyak hal, ia sendiri lalu menyampaikan latar hidupnya, keluarga sederhana dengan lima anak lelaki, seolah keluarga Pandawa. Anak adalah titipan Tuhan, berkah yang wajib disyukuri, pelengkap hidup, menemani hari tua. Dari mulut sang opas pos juga kita tahu riwayat singkat Rafilus lagi lebih detail, tapi karena sejarah hidupnya saja kabur, entah kebenaran ceritanya juga meragu. Munandir memang hobi ngoceh, Van der Klooning dan seluk beluk kehidupan pribadinya, termasuk ibunya, Raminten. Dalam kedunguan dan kekerdilannya, kadang-kadang dia membayangkan dirinya sebagai pemikir agung.

Bagaimana Tiwar menjalin kasih Pawestri terlihat sungguh menggairahkan. Ini justru jadi bagian menakjubkan. Setelah kebetulan berkenalan di kantor surat kabar karena bejan hadiah candid photo. Ga butuh waktu lama, mereka jadian. Pendidikan dan cara pandang hidup memang mempengaruhi banyak keputusan. Sang Saya yang menuturkan kisah ini, sementara Pawestri adalah seorang pekerja kantor yang keseharian di valuta asing. Ia memutuskan menerima cinta Tiwar karena memang jatuh hati pada pandangan pertama. Andai kata saya ditanya mengapa saya tertarik kepadanya, saya tidak dapat menjawab. Benar-benar saya tidak dapat. Saya tertarik karena saya tertarik, begitulah. Keanehan muncul, ketika sang gadis mendengar tuturan cerita tentang Rafilus, obsesinya untuk tidur dengan manusia besi inilah nantinya menjadi jalan eksekusi akhir yang absurd. “Rafillus mati dua kali.”

Karena setting waktu pasca merdeka, keterbatasan komunikasi menjadi romansa sepanjang kisah. Telegram, surat, transpotasi terbatas, sampai adab hidup manusia Indonesia dari dan ke peralihan dua Orde. Terutama sekali surat, bagaimana sarana tulisan tangan menjelma budi kata yang panjang dan indah. Tiwar sendiri banyak mengambil dari surat untuk menggulirkan plot, selain cerita langsung beberapa karakter. Tak heran kita sering menemui kalimat, ‘Surat Pawestri masih banyak...’

Berikut pandangan hidupnya tentang cinta, yang saya nukil secara acak lalu saya satukan dalam satu paragraf pandang. Tentang kasihnya pada Tiwar. “… Ketulusan untuk menyenangkan anaknya tidak lain adalah jalan yang paling tepat baginya untuk menyenangkan diri sendiri. Saya siap untuk jatuh cinta kepada sembarangan laki-laki, bahkan kepada semua laki-laki sembarangan. Karena itu, pengertian cinta bagi saya kurang mempunyai makna. Begitu sampean menjadi suami saya, seluruh hidup saya benar-benar saya letakkan ke dalam genggaman tangan sampean. Saya juga akan menjelaskan mengapa rasa hormat saya kepada sampean jauh lebih tinggi daripada rasa hormat saya kepada langit, hujan, dan halilintar. Semua kata-kata sampean hebat, dan kehebatan kata adalah kehebatan gagasan. Bagi perempuan sehat dan tidak suka melanggar kodrat, kebahagiaan paling besar adalah memiliki anak. Kita bersatu padu, tapi kita musti jaga dan pelihara kita punya jarak.”

Betapa sulit dia mematut-matut dirinya supaya dia tampak pandai memperbudak kata. Buku The Prophet karya Khalil Gibran disinggung, tapi sepintas. Seolah memang Penulis ini jadi acuan sifat salah satu karakter. Saya sendiri baru membaca satu bukunya, buku cinta yang agung. Sebenarnya gerak Bambo menunjukkan bahwa sebenarnya manusia bukan penguasa dirinya sendiri. Peradaban telah mencincang manusia untuk mementingkan kesadaran, sementara kesadaran tidak lain kekuatan semu yang diciptakan manusia untuk menutupi kebohongan diri sendiri.

Hak adalah gabungan kecerdasan otak, ketekunan kerja, ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kesediaan menolong, dan ketidakcongkakan. Budha melepaskan hak-haknya bukan karena bosan akan hak-haknya, tapi memang karena dia tidak menyukai hak. Banyak rasa syukur disampaikan. Segala sesuatu yang telah dimilikinya dan akan dimilikinya, dianggapnya sebagai rahmat Tuhan dan karena itu dia mensyukurinya. Tuhan pasti mendengar keinginan kita, sebab keinginan kita bukan keinginan kata-kata, melainkan pengejawantahan berkelebatnya niat nurani dan mulia.

Ketahuilah, anak kecil sering tersenyum pada waktu tidur, dan saya menikmati senyum semua anak saya. Kata adalah pikiran, dan pikiran hanya dapat terwujud dalam bentuk kata-kata selain tindakan.

Novel ini memang tentang Rafilus, sang Saya (penulis) meminjam suara Tiwar justru adalah pengamat. Selain sang manusia besi, nama Pawestri sangat mendominasi, kehidupannya panjang sekali dikisahkan. Tentang keseharian, pandangan hidup, ideologi, sampai hal-hal yang sensitif disampaikan. Kesewenang-wenangan, ketidakberdayaan, dan keadilan adalah abstraksi-abstraksi dari sekian peristiwa. Dan akhir yang dramatis, yang secara langsung juga menegaskan, ini adalah sepenggal cerita seseorang yang pernah ada di Indonesia, yang datang, menghinggapi keadaan lalu ditelan waktu diganti generasi berikutnya, adalah KITA.

Biarlah dunia berlalu sebagaimana waktu menghendakinya.

Rafilus | by Budi Darma | Pertama kali terbit tahun 1988 oleh Penerbit Balai Pustaka, kemudian oleh Penerbit Jalasutra pada Mei 2008 | Copyright 1988 | Penyunting Teguh Afandi | Penyelaras aksara Nani | Penata aksara CDDC | PEwajah sampul iggrafix | Penerbit Noura (PT. Mizan Publika) | Cetakan ke-1, Mei 2017 | 386 hlm.; 13×20 cm | ISBN 978-602-385-229-1 | Skor: 4.5/5

Karawang, 290120 – The Corrs – Somebody for Someone

Daftar Harbolnas Mizan. Tujuh sudah, sembilan menuju. Lady Susan – Cannery Row – Rafilus – The Woman in BlackFiestaAgnes Grey – ZiarahThe Red-Haired WomanA Fair Lady & A Fine Gentlement

4 komentar di “Peristiwa Rafillus Telah Mati Dua Kali

  1. Ping balik: #Januari2020 Baca | Lazione Budy

  2. Ping balik: Harbolnas Pertamaku | Lazione Budy

  3. Ping balik: Buku-buku yang Kubaca 2020 | Lazione Budy

  4. Ping balik: 14 Best Books 2021 – Fiksi/Lokal | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s