Ziarah by Iwan Simatupang
“Saudara walikota boleh terka.”
Novel yang aneh, liar dan membingungkan. Kisahnya ga runut, ga nyaman diikuti. Semua karakter tanpa nama, hanya disebut profesinya: pelukis, opseter, walikota, wakil walikota, kolektor, kritikus, dst. Mereka membaur dalam hikayat kehidupan warga yang sejatinya umum, tapi dicipta hiperbolis. Bagaimana sebuah karya lukis bisa laku keras, kaya raya, snob, dan luar biasa beruntung yang bertubi. Contoh, koleksi lukisan kejual mahal, tapi sang seniman ga terlalu ambil pusing masalah uang, maka uangnya ditaruh di lotere pacuan kuda, menang, ditaruh lagi, menang, dst sampai kaya raya dengan hidup dari satu hotel ke hotel lain. Bukan sembarangan hotel, diperlakukan khusus dan ramah.
Namun tak serta merta bahagia. Hanya dengan satu paragraph, sang pelukis jatuh miskin, tinggal di gubuk di pantai dengan kesederhanaan akut. Uang seolah kucuran air, mudah datang sangat mudah pergi. Begitu juga jodoh, sang pelukis yang mau bunuh diri malah menemukan jodoh ketika terjun dari lantai atas gedung. Menikah tanpa tahu nama pasangan? Bukankah itu sudah terlampau aneh?
Sang polisi yang coba memperkarakan upaya bunuh diri yang karena dari pasal pidana termasuk juga pembunuhan. Begitu terus, dari awal sampai akhir. Poinnya adalah kehidupan sang pelukis yang tak mau melakukan ziarah ke makam istrinya, lalu sang opseter meminta ia melukis tembok pemakaman, bagian luar, lalu dari situ segalanya meliar tak terkendali.
Ngomongin filsafat, debat arti bunuh diri, surga-neraka adakah setelah kehidupan. Ironi pelukis yang kaya raya, bahwa lukisan itu untuk umat manusia masa depan, seolah ini adalah impian liar sang seniman, seperti Fyodor Doestovsky yang mencipta cerita judi, menang besar padahal kenyataannya ia melarat gara-gara judi. Ada di buku the Gambler. Ziarah semacam itu, impian liar yang hanya bisa dibuat di novel.
Kepada manusia-manusia dari jenis mereka, kerdil, dekil, pandir, bernaluri makan dan pakaian saja, tak lebih.
Maaf bagi suatu jiwa yang keburu gugur menjadi jiwa besar. Maaf bagi suatu pembalasan dendam yang tak kesampaian. Maaf bagi suatu dosa yang baru bakal jadi dosa.
Pamong praja yang baik tidak mempunyai pendapat, tidak mempunyai hati nurani.
Sebagai pegawai negeri, dia harus selalu memihak kepada yang umum, betapapun hambar dan remangnya segala apa yang bercap umum itu.
Kepegaian yang sudha berpuluh-puluh tahun itu telah membuat dari dirinya, tanpa semaunya sendiri, manusia susila. Sedang bunuh diri adalah tindak tak susila. Negara bahkan menganggap unuh diri sebagai juga pembunuhan biasa. Matinya adalah kematian rangkap dua.
Novel masa depan. Novel tanpa pahlawan, tanpa tema, tanpa moral.
Manusia yang mempertaruhkan dirinya sebagai nilai terakhir yang perlu diuji keampuhannya dalam satu keadaan baru.
Manusia dengan nam Ganda En (NN)
Mencocokan lotere dengan trekkingslijst.
Persis seperti oarng yang berpenyakit jiwa, yang masih sehat untuk mengetahui, bahwa ia sakit.
Adakah bahwa bumi tak berwarna apa-apa, maka dia tak pernah menangis sebelumnya? Tidak berwarna apa-apa, tidakkah itu sendiri itu warna?
“Pada mulanya, pada akhirnya.”
Karena neraka merupakan tempat penampungan abadi mereka sesudah bumi ini nanti, pastilah apa yang disebut neraka itu hanya merupakan nama yang lain saja bagi suatu bentuk kehidupan lain yang tak perlu ditakuti.
Pujian-pujian baginya, bagi karya-karyanya telah terpaksa menggunakan kata-kata dan idiom-idiom baru. Yang lama sudah tak cukup lagi untuk mencakup sebutan-sebutan bagi dirinya.
Makin kuat kita berbuat seolah tak tahu, makin tinggilah karya-karya kita.
Menantu hipotetis…, makhluk apa itu?
“Sudha terlambat, kata-kata yang pernah kita ucapakan, dapat kita tarik kembali. Tapi, bagaimana menarik kembali perasaan-perasaan yang pernah kita rasakan, tak pernah kita ucapkan.
Ziarah | by Iwan Simatupang | Copyright 1969 | Pernah diterbitkan pada tahun 1969 oleh Penerbit Djambatan, sudah cetak delapan kali | Penyunting Teguh Afandi | Penyelaras aksara Nuung Wiyati | Penata aksara TBD | Ilustrasi sampul aalvinxki | Penerbit Noura Books | Cetakan ke-1: September 2017 | 224 hlm.; 21 cm | ISBN 978-602-385-334-2 | Skor: 3.5/5
Kepada c grostect ini kupersembahkan sebagai ziarahku selalu padamu… | untuk CORRY yang dengan novel ini Aku ziarah terus-menerus
Karawang, 270120 – The Corrs – Looking in the Eyes of Love (Previously unreleased)
Daftar Harbolnas Mizan. Lima sudah, sembilan menuju. Lady Susan – Cannery Row – Rafillus – The Woman in Black – Fiesta – Agnes Grey – Ziarah – The Red-Haired Woman – A Fair Lady & A Fine Gentlement