The Woman in Black by Susan Hill
“Ada banyak cerita dan kisah-kisah, ada banyak omong kosong.”
Akhirnya saya menuntaskan buku yang menjadi sumber film dengan bintang Daniel Radcliffe. Tentang hantu wanita yang meneror di desa kecil Crythin Gifford, pemuda berpendidikan tinggi dengan rasional dan berpikiran terbuka, mendapat tugas menyelesaikan administrasi bosnya seorang pengacara, kliennya meninggal dunia, maka ia harus mengurus segala hal terkait warisan, berkunjung di ujung dunia yang terpencil, muram dalam desas-desus mistis. Tentu saja, ia seorang logis yang tak percaya adanya hantu, sampai ia mengalaminya sendiri. Pengalaman mengerikan itu dan akibat yang ditinggalkan kemudian, menghantuinya hingga usia senja. Sebagai seorang pemuda waras berpendidikan baik, yang memiliki kecerdasan rata-rata dan menyukai hal-hal pasti, sekali lagi ia tidak percaya adanya hantu. Dan kengerian mendadak bangkit seiring dengan kembalinya ingatan itu. Jika aku ingin mencari kebenaran aku harus berpegang pada bukti yang kurasakan lewat pancaindraku saja.
Kisahnya mundur. Di present day, Arthur Kipps adalah seorang kakek yang hidup tenang dengan keluarga terkasih, istrinya Esme dan anak-anak di Monk’s Piece. Ketika Natal tiba, di depan hangatnya perapian, di bulan Desember yang dingin menggigit, dan warna malam yang kelabu itulah ia kembali teringat masa mudanya. Rasa takut itu melumpuhkan untuk sementara, seperti selalu yang sebelumnya, ini sensasi yang sudah lama terlupakan. Awalnya anak-anak memintanya bercerita hantu, ia menolak, karena pengalaman pahit ini akhirnya berkisah dalam bentuk tulisan. Sampai-sampai aku bingung apakah aku sedang mengingat atau mengulang kembali kenangan itu. Masa ketika ia mengalami tragedi. Adakah cara untuk menghalau kenangan, serta imbas yang dibawanya, seperti obat penghilang sakit atau salep meredakan sakitnya luka, setidaknya untuk sementara? Dari pembuka ini kita tahu, Arthur akan selamat dan berumur panjang, maka saat ia nantinya terjepit, mendapatkan masalah pelik nan berbahaya mengancam nyawanya, ia selamat. Catat, dan catatan ini, menjadi bumerang bagiku, karena tragedi itu disusun dari kepingan pekat malam. Dan memang, musibah itu tampak sangat mengerikan. Benar, kalau Tuhan gagal membuat dirimu terperosok sendiri dalam lembah keputusasaan, jalan paling logis adalah membuat orang terkasih yang terjatuh. Pasti berhasil. Untung saya bacanya tahun ini, dulu saya kos sendirian, dengan halaman depan menghadap kuburan, malam hari yang pekat, suka merenung di teras di sela baca buku. Sekarang kalau ingat baca buku dengan latar kuburan saja sudah ngeri. Itu dulu, jadi andai dibaca kala itu, pasti efek takutnya makin mencekam. Sungguh, seumur hidup belum pernah aku sedemikian takluk oleh rasa takut, tak kusangka lututku akan gemetar, tubuhku akan merinding dan membeku sedingin batu. Aku tak sanggup bereaksi berdasarkan akal sehat dan logika.
Arthur memiliki tunangan cantik, Stella di usia muda ketika sedang menapaki karier, ia mendapat tugas dari bos Tuan Bentley untuk mengurus segala hal terkait hak waris atas meninggal dunianya nyonya Alice Drablow di desa kecil Crythin Gifford. Setelah menyiapkan segala perlengkapan, ia berkereta api, perjalanan jauh ke ujung utara, melewati Terowongan Gapemouth – Mulut Menganga – ke desa terpencil. Di kereta api ia berkenalan dengan warga Crythin Gifford bernama Samuel Daily, ternyata ia adalah konglomerat, mengundangnya datang di sela tugas, terkejutlah ia ketika tahu Kipps berkunjung demi kepentingan mengurus kematian nyonya Drablow. Desas-desus mengatakan ia adalah penyihir, ia adalah kutukan. Kehidupan keluarga ini menghantui warga.
Awalnya tak percaya hal gituan, tapi saat acara duka pemakaman yang seharusnya sakral malah menjadi janggal. “Saya hanya bisa bilang menyedihkan jika orang hidup sampai usia delapan puluh tahu, tapi tak satu pun kenalannya datang menghadiri pemakamannya.” Harus diperingati seperti ini tanpa kehadiran kerabat sedarah atau sahabat karib, melainkan hanya dua pria yang terhubung karena urusan bisnis – salah satunya bahkan belum pernah bertemu langsung dengan wanita itu semasa hidupnya. Dalam satu desa, ketika almarhum dikirim ke tempat peristirahatan terakhir, ada acara lelang yang meriah dilakukan. Aku merasa seperti hantu gentayangan di tengah pesta pora. Seolah itulah pesta, cara mengusir hantu tua yang menghuni suatu tempat adalah dengan upacara eksorsisme. Ironis. Lebih mengerikan lagi, Arthur menyaksikan penampakan gadis bergaun hitam dalam prosesinya, yang ketika ditanyakan ke Jerome, asistennya di sana, malah shock berat karena ia tak melihat. Lubuk hatiku tergugah oleh kecantikannya yang ganjil dan angker. Well, sampai di sini cerita masih bisa dibilang belum banyak riak. Barulah ketika Arhur Kipps ke Eel Marsh House yang dikelilingi rawa, ‘kota yang tidur membelakangi angin.’ Di mana jalan menuju ke sana di sebut Nine Live Causeway – Jalan Lintas Sembilan Nyawa, hanya bisa dilalui ketika siang karena saat malam air akan pasang menutup jalanan, cerita menjadi cekam penuh kengerian. Kurasakan semacam keheningan asing yang datang menyergap, membawa firasat buruk, dan mencekam.
Kipps melihat lagi gadis bergaun hitam di pemakaman keluarga. Apakah yang harus ditakuti di tempat yang indah dan langka ini? Angin? Kicau burung-burung rawa? Rumuput laut dan air tenang? Desir angin pantai yang mengalun horor, kamar anak yang gemuruh saat malam, padahal ia yakin sendirian saja. Kamar itu ada kuda jungkit yang berderak di saat sunyi dan segala hal menakutkan mulai nampak. Betapa suram, kelabu, dan muramnya tempat itu dalam hujan dan kabut lembab. Esoknya tuan Samuel memberi teman seekor anjing bernama Spider saat kembali ke Eel Marsh, setidaknya ia tak sendiri. Nah, tragedi awal disajikan di sini. Anjing itu akan berlari mendekat ketika ada siulan, malam itu tiba-tiba ada siulan di tengah rawa, yang otomatis Spider lari menuju tenggelam, yang dikejar ketakutan dan turut tenggelam. Nyaris mati, untungnya secara dramatis terselamatkan. Kejadian itu mencipta trauma, karena ketika ia berjuang keluar dari kubangan rawa, ia melihat penampakan di jendela kamar misterius itu. Sementara aku berusaha mati-matian mencari penjelasan rasional tentang kehadiran orang lain yang sangat terasa bagiku. Kipps sakit parah, dirawat tuan Samuel berhari-hari, dan akhirnya memutuskan kembali ke London. Selesai? Jelas belum. Tragedi itu dimunculkan di paragraf-paragraf akhir di bab akhir. Seram, traumatis, mengerikan. Agak berbeda dengan filmnya, tapi poinnya sama. Ada apa gerangan? Menutup telepon keras-keras, memedihkan telingaku!
Ada beberapa kesamaan yang kurasakan. Arthur Kipps suka menyendiri dengan buku. Jelang tidur ia menikmati lembar-lembar kisah, dirumah angker itu ia membaca novel karya Walter Scott dan John Clare. Saya ga tahu juga saat ia membaca buku The Heart of Midlothian. Sepertinya ini buku-buku lokal British yang asing di Indonesia. Lalu ada satu kalimat ini, “Taman yang mengingatkanku pada kediaman tokoh-tokoh karangan Jane Austen…” Sebuah kebetulan saya sedang membaca bukunya.
The Woman juga memainkan psikologis tentang kenangan. Semua kejadian itu telah berakhir, telah jauh di masa silam, tidak akan dan tidak mungkin kembali, aku yakin aku tidak pernah merasakan lagi tidur senyaman malam itu di Crythin Gifford. Bisa saja Tuan Kipps bilang gitu, nyatanya ia masih trauma. Bagian terburuk dari sakitku bukanlah sakit fisik, bukan rasa nyeri, kelelahan atau demam, melainkan guncangan mental. Ingatan seram itu masih tersembunyi di pojok kepalanya. Kenangan-kenangan masa kecilku mulai bangkit lagi dan aku bernostalgia mengingat malam-malam ketika aku berbaring dalam kehangatan dan kenyamanan ranjangku. Benar saja, dan kini, di rawa yang sama seluruh adegan itu, atau hantunya, atau bayangannya, kenang-kenangan, terulang lagi dan lagi – entah seberapa sering.
Tuan Kipps juga seorang profesional, masih terlalu muda dan angkuh untuk dikecewakan. Ketika ia diminta pulang saja, dengan percaya diri menjawab, “Saya harus menghadapinya Tuan Jerome, layaknya hal-hal lain yang harus dihadapi.” Masa muda yang menggebu demi karier dan masa depan. Ah… Aku yakin kami tidak boleh menunda-nunda melainkan harus segera merebut kebahagiaan, nasib mujur atau kesempatan atau apapun dan menggenggamnya erat-erat.
Identitas dan alasan penampakan gadis bergaun hitam terungkap dengan dramatis, dengan iringan udara sekitarnya terisi hebatnya dukacita dan kesusahan wanita itu, ditambah kebenciannya yang terpendam, serta hasrat balas dendamnya. Adalah Nyonya Jennet Humfrye yang memiliki masa lalu tragis. Cinta yang dihalangan tradisi, anak yang dipaksa berpisah, dan sebuah tragedi tenggelamanya kereta kuda di rawa yang tertangkap memori. Setiap ada penampakan dirinya, akan ada anak yang meninggal di desa tersebut. Maka warga menjadi ketakutan. Membangkitkan sebersit rasa takut di lubuk hati, rasa takut yang segera tertahan.
Susan Hill, novelis Inggris yang pernah memenagi penghargaan Whitbread, Somerset Maugham dan John Llewelyn Rhys, serta nominasi Booker Prize. Tinggal di Glouchestershire, memiliki penerbitan sendiri Long Barn Books.
Cerita horor bukanlah genre-ku. Tak banyak buku hantu yang kunikmati. Karena jarang, maka ketika mendapatkan hantaman bagus, jadi terngiang-ngiang. The Woman jelas adalah horor yang keren sekali. Ga perlu darah tumpah ruah untuk menakuti pembaca, ga perlu penampakan-penamakan kaget untuk membuat gidik ga perlu jalinan kata panjang pekat bombastis untuk mencipta kengerian. The Woman alurnya lambat namun sangat ampuh, seram dan benar-benar membekas di kepala, membuatku takut suara siul, takut kegelapan beberapa hari terakhir. Aku kehilangan kesadaran akan waktu dan realitas. Menuturkan cerita itu rasanya seperti mengalami sebuah pemurnian.
Buku yang kembali membangkitkan minat genre horor. Sungguh menakjubkan betapa kenyamanan rasa mampu menghidupkan suasana jiwa. Aku menyerah pada pikiran-pikiran sedih, serta rasa kasihan pada diri sendiri. Aku tidak pernah sendirian seperti ini, sekaligus merasa sangat kecil dan tak pernah di tengah luasanya alam, aku tenggelam dalam perenungan filosofis yang murung, terpukul oleh betapa acunya lautan dan langit akan keberadaanku. Aku mulai meragukan realitasku sendiri.
Kuajukan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab kepada diriku sendiri tentang kehidupan dan kematian serta dunia perbatasan di antaranya, dan aku mengucap doa yang tulus, sederhana dan menggebu-gebu. “Aku merasa Tuhan berada sangat jauh, dan doa-doa yang kuucapkan terasa formal dan hormat…”
The Woman in Black | by Susan Hill | Diterjemahkan dari The Woman in Black | Terbitan Long Born Book Ltd., London, UK | Copyright 1985 | First published in 1983 by Hamish Hamilton | Penerjemah Reinitha Lasmana | Penyunting Dyah Agustine | Proofreader Enfira | Desain sampul A.M. Wantoro | Penerbit Qonita | Cetakan I, Mei 2016 | 228 hlm.; 20.5 cm | ISBN 978-602-402-026-2 | Skor: 4.5/5
Untuk Pat dan Charles Gardner
Karawang, 180120 – 200120 – Avril Lavigne – Here’s to Never Growing Up
“Memelihara dendam, amarah, dan kebencian hanya akan meracuni jiwa.” – Steve Maraboli
Daftar Harbolnas Mizan. Tiga sudah, sembilan menuju. Lady Susan – Cannery Row – Rafilus – The Woman in Black – Fiesta – Agnes Grey – Ziarah – The Red-Haired Woman – A Fair Lady & A Fine Gentlement