Jesse: If You want love, then this is it. This is real life. It’s not perfect but it’s real.
===tulisan ini mungkin mengandung spoiler===
Well, spoiler apa? Menit belum sepuluh kita sudah tahu mereka akhirnya bahagia selamalamalalamalamalamanyaaaaa, memiliki anak kembar dan dalam kegundahan tanggung pasangan ini merubuhkan pondasi indah. Oh tidaaaaak. Very disappointing. Kenapa dua masterpiece film dialog direnggut jelang tengah malam? Ini adalah tragedi. Tragedi serial telah tercipta. Dua orang jenius bertemu di usia 20an berpisah dengan senyum karena setelah klik mereka janjian akan ketemu lagi. Poinnya adalah mereka terpisah, meninggalkan gereget. Dua orang jenius itu di usia 30an kembali ketemu, terasa terlambat karena salah satunya sudah menikah, si laki jenius hanya punya waktu beberapa menit sebelum balik ke istrinya. Kebimbangan, kekesalan dan segala hal ragu antara terbang atau tidak di kepala jenius itu terpenggal dalam akhir yang fantastis, gereget ‘I know’ yang sensasional. Lalu muncullah peri Disney, menaburkan serbuk bahagia di atas kepala Linklater, seolah mengabulkan kata happily-ever-after harus dibuat guna menyenangkan fan. Berengsek. Suram adalah koentji. Dan kunci penting itu sudah dilempar ke sungai Seine oleh mereka sebelum menyusun lego senyum ke Athena. Why oh why?!
Di bandara Kalamata, Yunani. Jesse (Ethan Hawke) mengantar anaknya Henry untuk kembali ke Amerika pasca liburan musim panas. Layaknya bapak yang khawatir akan perjalanan jauh putra kesayangannya, Jesse nanyain banyak hal terkait persiapan, bekal, dan banyak hal remeh. Di parkiran kita disambut Celine (Julie Delpy) dengan dalam ocehan telpon genggam, dialog tawaran kerja, keraguan ambil enggaknya kesempatan. Saat akhirnya kamera menyorot penumpang, terlihat dua remaja putri kembar yang kecantikannya bak bidadari, Nina dan Ella. Referensi untuk: Nina Simone – penyanyi penutup seri dua dan Ella Fitzgelard – penyanyi jazz. Sempat bikin jantung deg gitu, wah mereka akhirnya bahagia nih. Lalu penonton menjadi semacam kaca depan mobil, menyaksikan percakapan panjang lebar pasangan ini. Sampai menit 20an saya dah wanti-wanti, dah drop mood kok jadi kisah dongeng indah?
Benar saja, mereka sedang di Athena berkunjung, liburan, santuy. Memilih kota eksotis untuk lanskap romantis sah-sah saja, poinnya tetap pada cerita. Bak acara liburan umum. Ada yang masak sama bu-ibu sambil ngegosip, ada yang main bola di halaman, ada yang ngopi sambil ngerumpi lihat matahari tenggelam dengan background sempurna, lautan teduh. Anak-anak main kejar-kejaran. Sungguh pemandangan indah menikmati senja bersama orang-orang terkasih. Yah, kekhawatiranku beneran jadi nyata. Ini film menawarkan hura-hura. Huhuhuhu… Mana konfliknya?
Adegan terbaik disajikan di sini: Jesse dan Celine mencoba berfilsafat lagi dengan jalan kaki sambil bersilat lidah dengan kamera di depan, adegan keren di Sunset kala mereka jalan dari toko buku ke kafe coba dirajut. Ok sih, tapi pengulangan. Sampai akhirnya mereka di hotel, sama receptionis diminta credit card, sementara salah seorang pegawai minta tanda tangan dengan menyodorkan dua buku Jesse: This Time dan That Time. Ternyata mereka ke hotel hanya untuk nostalgia, indehoy, menikmati masa indah berdua dengan menitipkan si kembar.
Nyaris tak ada yang istimewa lagi apa yang didiskusikan di kamar setelah toples dan bersiap bercinta. Hal-hal umum yang dibicarakan, dua jenius ini menjelma konyol. Arogan. Ngomel ga jelas. Mengkhawatirkan masa depan, bukankah kalian liberal yang optimis? Mengkhawatirkan masa lalu, salam buat istri Jesse. ‘Mantan istri’ kena interupsi. Bukankah kalian makhluk open minded? Lha, film kenapa jadi gini? Kejeniusan kalian luruh, mencipta kisah pasangan tua penggerutu. Walau diakhiri dengan sweet moment, nongkrong di kursi dengan pemandangan laut, berpayung rembulan. Tetap. Ini adalah lanjutan cerita yang buruk sekali. Tragedi serial menepuk pundak mereka bertiga.
Seperti kata Jesse ketika di puncak kekesalan, ‘I fucked up my whole life because of the way you sing’. Ini menyakiti kita. Penonton jelas kesal sekali, kalimat itu terucap dari tokoh pujaan yang meronta karena usia menua. Saya jatuh hati pada performa Celine di apartemennya. Kalian pasti juga, Jesse jelas yang paling cinta. Di sini kita tahu, dia ga jadi terbang. Namun kenapa mulutnya malah teriakan kasar? Rasanya seperti ditampar, kesal sekali, semenjak adegan di hotel semua memang berantakan. Main pingpong cerdas yang kuharapkan hilang. Ini malah jadi sitkom komedi, rusak semua. Ending gantung di Sunset itu sewajarnya biarkan saja menggantung, ga usah dijelaskan.
Segala yang gamblang malah boring. Hidup ga sejelas itu, hidup jadi menarik karena selubung misteri masa depan, tanya masa lalu kecuali para pelakon. Tanda tanya selalu jadi gelitik manarik dalam bersinema. Kita tak tahu mereka melafalkan apa dalam desah di taman, festival-festival apa yang terjadi dalam jeda sembilan tahun, atau tabu-tabu yang mereka pegang. Yang paling penting, kita tak tahu fakta apa selama mereka tak ketemu, apa yang terjadi sebenarnya, apa yang mencipta keadaan hingga sekarang karena pakem Before adalah hanya obrolan. Midnight menjelaskan banyak hal, dan itulah lubang terbesar.
Di Sunrise hanya dua tokoh yang bernama, di Sunset hanya tiga tokoh yang bernama: Phillipe sang driver, di Midnight sudah banyak: kita ketemu Henry, si kembang, si tuan rumah, pasangan bahagia lain, pasangan bahagia lainnya yang lebih muda, dst. Saya lebih suka ngobrol dengan orang asing ketimbang menjalin cerita penuh petuah sama orang yang dikenal. Lantas apa menariknya menyaksikan keceriaan di tengah penerungan? Ga ada logo Castle Rock saja sudah tampak mencurigakan. Dan dari judul juga sudah ga sesuai pakem, keduanya pakai sun yang ini night. Harusnya pilih sun juga, sunlight misalnya. Fufufu…
Saya jadi teringat buku Sapiens karya Youval Noah Harari tentang Peugeot, produk fiksi hukum yang dicipta. Ini adalah fiksi. Delusi kolektif, pengaruh yang dicipta, orang-orang asing bisa bekerja sama hanya berdasar mitos, legenda lambang singa. Peugeot adalah buah imajinasi bersama. Semua ini adalah perkara menuturkan kisah, dan meyakinkan orang agar mempercayainya. Dalam trilogi ini, Midnight sudah bukan kisah tapi kenyataan apa itu ‘happy ending’. Pompeii disebut. Bee Gees disebut. Time travel ala Predestination dilakukan. Tapi tetap ga bisa menyelamatkan.
Richard please, buatlah film keempat bahwa kejadian di Yunani ini hanyalah mimpi, perbaiki segalanya. Jesse tetap terbang ke New York dan Celine menikah dengan orang lain dan hubungan mereka timbul tenggelam. Dan mereka ketemu di kota eksotis di negara dunia ketiga. Memberi anak kembar imut untuk film frustasi adalah bencana.
Perbaikilah Seri Before ini, saya ga mau rusak di sini. Saya usul kota keempat yang laik untuk setting berfilsafat, bagaimana kalau kota Solo? The spirit of Java. Lalu hening.
Before Midnight | Year 2013 | Directed by Richard Linklater | Screenplay Richard Linklater, Ethan Hawke, Julie Delpy | Story Richard Linklater, Kim Krizan | Cast Ethan Hawke, Julie Delpy | Skor: 3/5
Karawang, 241119 – Bee Gees – How Deep Is Your Love
Rekomendari romantis kelima Bank Movie oleh Bung Fariz Budiman. Thx