Jesse: I wish I’d meet you earlier. I really like talking to you.
===catatan ini mungkin mengandung spoiler===
Namun apanya yang spoiler, ini adalah film full-ngegoliam tersertifikat fresh. Fufufu… Jenis film fantasi yang persentase kemungkinan terwujudnya di dunia nyata: satu per sejuta. One night stand ala filsafat. Freud bakal bertepuk tangan. Plato bakal terkagum. Spinoza menabur konveti. Locke akhirnya tahu kekosongan itu telah terisi. Descartes kembali meragukan kebenaran berpikir nan ada. Bjerkeley mengelus cerminnya. Kant tak akan menyanksikan moral. Hegel merasionalkan cinta. Marx menjelma hantu yang menyambangi Wina. Seperti kata Goethe: ‘Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.’
Kereta dari Budapest menjadi altar kaidah para filsuf yang gentayangan, menjadi saksi ilusi berkenalan yang ideal untuk jalinan kasih, sungguh menyenangkan semua acara ngegoliam ini bermula dari buku, benda mati yang paling kucintai. Garis cerita adalah obrolan berkualitas antar dua orang asing: luar biasa, indah, menarik, saling isi, klik. Komunikasi, seperti dalam buku ‘Bicara Dapat Mengubah Hidup Anda’ karya Dorothy Sarnoff bahwa bicara memang mirip main pingpong, kita melempar bola, lawan menyambutnya dengan arah yang coba kita tebak, lalu kita balas lagi lempar bolanya, lawan bicara akan kembali melontarkannya. Begitu terus sampai terjadi jeda. Bila kedua pemain tenis meja bisa memainkan bola dengan apik, pastinya penonton berdecak kagum. Before Sunrise jelas jenis tenis meja kelas kakap. Sajian film ini 90%nya adalah permainan pingpong level dewa. Seolah perwujudan kutip yang umum kita lihat di beranda sosial media: ‘Ini bukan hanya masalah ke mana Anda pergi. Tapi dengan siapa Anda pergi.’
Film ini hanya berkarakter nama dua orang. Jesse and Celine, dunia milik berdua yang lain ngontrak. Film berset hanya dua hari, 16-17 Juni 1994. Pengumbar kekuatan ngobrol itu dilakukan oleh Jesse – bernama asli James diambil dari novelis Irlandia Ulysses, James Joyce – (Ethan Hawke) dalam perjalanan ke Wina naik kereta, ia akan naik pesawat keesokan harinya ke Amerika. Seorang pria backpacker pasca mengunjungi pacarnya, namun berakhir mengecewakan. Pemuda kere karena tak tahu akan menginap di mana malam itu. Celine (Julie Delpy) dalam perjalanan ke Paris untuk melanjutkan studi naik kereta, ia sudah putus sama pacarnya, dan sudah konsul ke psikiater. Dalam satu gerbong yang mencipta kebersamaan karena ada pasangan yang berantem, Jesse sedang membaca buku, dengan Celine di seberang kursi jua melakukan aktivitas sama. Jesse pegang bukunya Klaus Kinski berjudul All I Need is Love, sedang Celine melahap Madame Edwarda/Le Mort/Histoire de I’oeil karya Georges Bataille. Terjadilah percakapan, ‘baca buku apa?’ ‘ini nih…’ ‘oh’. ‘Mau kutraktir ngopi?’ Kesamaan gemar membaca, saling memikat, membelit. Keberanian menyapa membuat segalanya menjadi lebih mudah. Heran saya, belasan tahun baca buku di tempat umum ga pernah ketemu cewek nyambung sebening Celine. Apa sayanya yang terlampau pasif? Atau memang di kendaraan umum, Makhluk Celine dengan bukunya hanyalah mitos? Yah, film ini setidaknya mewakili impian liar itu.
Di kafe kereta, perkenalan basa-basi masih sangat umum, tapi kualitas otak keduanya sudah teraba. Saat kereta akhirnya sampai Wina, Jesse yang betah ngobrol seolah dipaksa turun, dengan enggan ia mengemasi barang. Setelah say bye, ia kembali. Menawarkan kegilaan, ‘merayu’ dengan analogi masuk akal. Seandainya 20 tahun ke depan dalam pernikahan kamu mengalami hal-hal yang kurang bagus, lalu Celine membayangkan masa kini, andai saja, umpamanya. Yah, anggap saja tawaran untuk turut turun ini adalah perjalanan waktu. Siapa tahu, kita berjodoh. Klik. Mari kita jalan. Gaya rayu Jesse keren euy, seolah ajakan biasa sambil mengedipkan sebelah mata, dan kedua tangan terayun ke samping.
Selanjutnya adalah pamer tempat-tempat eksotis sudut kota Wina. Semacam parade fantasi sehari semalam. Mereka ngomong apa saja yang terlintas di kepala. Dari naik bus, naik bianglala, main ding dong, nongkrong di kafe, duduk-duduk di meja pinggir jalan, ngopi di angkringan, ziarah singkat, sampai akhirnya rebahan otomatis romantis di taman. Dan malam itu diakhir dengan putusan ujar, ‘ngapain dibuat rumit sih?’
Omongan lempar tangkap kata di sini seolah deklamasi puisi gaya bebas. Tentang esensi tuhan, tentang cinta, hidup, keluarga, sampai hal-hal remeh yang kalau kita yang berkata seolah tak bermakna di sini jadi begitu hidup. Semua jalinan jalan kaki, semua adegan ngegoliam mereka sungguh menyenangkan diikuti. Sampai-sampai mematik pikir, benar juga ya. Dunia ini remeh, hidup mati tuh debu kosmik, yang kita khawatirkan setiap waktu seolah sembulan tiup, bahan canda dewa-dewa.
Ada banyak adegan keren, seolah setiap menit meninggalkan kesan. Seolah ketakutan mereka berdua akan pagi, turut dialami penonton. Seolah perpisahan mereka adalah akhir dari kenikmatan bercinta dengan kata. Pertama saat mereka melewati pinggir sungai ada pujangga jalanan sedang menulis puisi di atas perahu. Hanya meminta receh, sang pujangga kere menantang mereka menyebutkan kata untuk dirangkai syair. Celine refleks saja ucap ‘milksake’. Bah bah bah! Bisa saja idenya. Bagaimana juga mencipta puitik dari diksi tak lazim? Jadilah Delusion Angel. Bagus euy, dibacakan dengan ketenangan aliran sungai. Puisi ini aslinya dicipta oleh David Jewel.
Adegan keren berikutnya adalah saat makan malam mereka pura-pura telpon dengan gaya bercerita kepada seseorang yang akan dituju awal rencana perjalanan ini. Jesse bercerita bagaimana ia terpesona gadis dalam kereta dan mengajaknya jalan, ia jatuh hati padanya. Dus, gombalmu Lik. Lalu gantian Celine pura-pura telpon dan berujar bahwa ia saat di kereta sejatinya menanti, ajakan ngobrol, ajakan turun. Well, cara mengungkap rasa kasih yang luar biasa. Seolah natural dan sungguh menggairahkan. Udah deal jadian ini sebenarnya. Janji suci hanya masalah waktu.
Adegan di toko kaset piringan ketika mereka masuk ruang demo musik sambil main lirik begitu aduhai. Jesse melirik Celine, Celine melihat ke depan. Celine melirik Jesse, Jesse melihat ke depan. Jesse melirik Celine, Celine melihat ke depan. Celine melirik Jesse, Jesse melihat ke depan, Celine melihat ke depan. Celine melirik Jesse, Jesse melihat ke depan Celine melihat ke depan. Celine melirik Jesse, Jesse melihat ke depan. Gitu saja terus sampai celana Spongebob jadi bulet, seolah ini adalah asmara remaja yang malu-malu kucing. Dengan iringan lagu legendaris ‘Misfits’ karya The Kinks. Duuuh… gereget zaman muda. Pengen balik lagi ke masa putih abu.
Film diakhiri dengan sempurna. Salah satu ending film terbaik yang pernah kutonton. Mereka awalnya ga akan janjian ketemu, biarlah semua mengalir, biarkan jadi debu ingatan. Namun kekuatan nyambung, dan betapa kita sulit menemukan teman ngobrol yang baut-murnya pas, mencipta mereka guna mendadak membuat ikrar. Ketemu lima tahun di tempat yang sama? Wew kelamaan woy. Ok setahun ya. Hhhmmm… kayaknya masih terlalu lama juga. Baiqlah cintakuh. Setengah tahun deh. Deal. Hari ini tanggal 17 Juni, jadi kita ngegoliam lagi Desember ya. Ok, dan ciuman panas perpisahan tersaji, kereta melaju meninggalkan kenangan. Fantasi bercengkrama gaya filsuf berakhir sudah bersamaan dengan kepulan asap kereta.
Dan ya tuhan, saya belum bercerita bagaimana bisa kamera menyorot kekosongan tempat-tempat bercengkerama mereka mencipta lanskap memori fana. Hanya hati kecil yang tahu.
Before Sunrise | Year 1995 | Directed by Richard Linklater | Screenplay Ricard Linklater, Kim Krizan | Cast Ethan Hawke, Julie Delpy | Skor: 5/5
Karawang, 221119 – Maroon 5 – One More Night
*) Di akhir credit kita tahu film ini didedikasikan untuk mengenang kakek-nenek sang sutradara: Thelma dan Charles Krieger Ada serta Cecil Harmon Shirley dan Charles Linklater. So sweet dedicated.
**) Rekomendasi romantis Bank Movie ke 4,3 dari 17 film ini berasal dari Bung Fariz Budiman. Thx
Ping balik: Notting Hill: Ketika Realita Lebih Indah dari Khayalan | Lazione Budy