Joker: Realita Retak Dalam Tawa

Arthur: When you bring me out, can you introduce me as Joker?

Film sakit. Nonton wong edan. Tawanya mengerikan, mengintimidasi, membuat seisi bioskop terdiam, malesi, bikin kesel. Seperti tiga korban pertama, pastinya kalian juga kesal mendengar tawa menggelegar saat kalian serius dan terjadilah apa yang memicu banyak kericuhan di kota Gotham. Ga usah banyak spekulasi anehlah sekalipun jamnya semua 11.11, bukan hanya Todd yang suka angka cantik, semua orang juga.

Filmnya suram, bisa konsisten dari awal sampai akhir, nada-nadanya jua muram. Ga cocok buat dinikmati sepulang kerja, di mana kepala sedang pening karena kerjaan, capek main futsal, lapar. Butuh refreshing, malah disuguhi film depresif. Lengkap sudah, nonton film yang bikin nambah mumet. Hiks. Saya sudah di-cekok-in sebulan ini sama segala puja-puji, wow, sebagus itu, give an Oscar!, amazing, gilax, Phoenix hanya akting kan, ga gila beneran? Dan seterusnya dan seterusnya… Mirip Parasite yang hype-nya menggila dengan Cannes, maka Joker punya Venice. Ga salah dong, harapanku turut tinggi. Karena ini adalah film komik, dan film komik DC punya standar tertinggi The Dark Knight maka apa yang saya dapat memenuhi harapan. Hati-hati dengan hati yang berharap. Joker adalah film dengan kemuraman akut, sepanjang dua jam penonton melihat akting tawa yang natural, padahal ga lucu. Penonton menjadi muak, dan yeaaah sejatinya memang itu tujuan film ini. Dirilis hampir bersamaan dengan huru-hara Indonesia menyambut pergantian Periode Dewan Perwaklian Rakyat (DPR) yang bapuk. Pas banget, sampai kepikiran jangan-jangan demo mahasiswa ini dikoordinasi sama Joker.

Settingnya tahun 1981, penonton langsung diajak ke inti. Bahwa Arthur Fleck (diperankan dengan gilax oleh Joaquin Phoenix) menjadi badut sewa di bawah naungan Haha’s. Dibuat dengan pilu, bagaimana situasi mencipta Arthur menjadi sekarang. Menjadi badut promo, direbut papannya sama begundal remaja, dikejar lalu berakhir menyedihkan, papannya rusak, ia babak belur. Arthur tinggal di apartemen sama ibunya Penny Fleet (Frances Conroy), yang memuja seorang konglomerat Thomas Wayne (Brett Cullen), yang mencalonkan diri jadi walikota. Nyonya Fleet sedang menanti surat balasan dari Thomas. Keakraban ibu-anak ini sejatinya tampak istimewa, ibunya yang sakit-sakitan dimandiin, disuapin, nonton tv bersama. Salah satu tayangan favorit mereka adalah acara talk show yang dibawakan oleh Murray Franklin (Robert De Niro) dengan ceria bak ‘Bukan Empat Mata’, minus eaaa eeea nya. Seolah memang acara tersebut menjadi hiburan jelata, di tengah resersi. Gotham dalam banyak masalah, pengangguran, ekonomi terpuruk, minimnya kepercayaan publik, kejahatan. Gambaran yang sempurna untuk mencipta film tragedi.

Seorang teman kerja Haha’s, Randall (Glenn Fleschler) memberi pistol buat jaga-jaga. Sejatinya dari sini, segala kekacauan mulai didorong. Orang stress, dikasih pistol, pembunuhan hanya masalah waktu. Malam setelah tampil di rumah sakit anak-anak, yang berakhir tak bagus karena pistol badutnya jatuh saat penampilan, Arthur dipecat. Pembunuhan mula itu terjadi dalam subway, di gerbong Arthur ada cewek bening yang digoda tiga pekerja laki-laki yang pulang kantor, biar lebih jleb mereka adalah buruhnya Wayne Enterprise. Si cewek manyun dan pindah gerbong, penyakit Arthur kumat disaat tak tepat. Ketawa ga jelas, tiga penumpang itu merasa dicemooh, merasa tindakan amoral-nya omong kosong, maka ketika Arthur digebuki ramai-ramai, meletuslah tembakan. Dua tewas, satu lagi lari dan keluar kereta saat berhenti di stasiun. Dikejar lalu turut ditembak. Inilah kejahatan tingkat satu pertama sang Joker. Pulangnya, ia seolah memang melepas beban. Dengan masuk ke apartemen seorang cewek single mother Sophie Dumond (Zazie Beetz), langsung kiss.

Tindakan itu memicu banyak hal, berita seorang badut membunuh ditampilkan dalam headline. Penyelidikan dilakukan oleh dua detektif Burke (Shea Wigham) dan Garrity (Bill Camp). Sementara Arthur mencari jati dirinya, setelah dalam surat ibunya mengaku dia adalah anak yang tak diharapkan Thomas Wayne. Untuk mencari bukti, ia datang langsung, malah ketemu anaknya, sang Batman Kecil aka Bruce Wayne (Dante Pereira-Olson), diberi kesan senyum deh itu Manusia Kelelawar, lalu guna menambah kepedihan ia ke sakit jiwa Arkham Asylum untuk menemukan fakta masa lalu ibunya. Ketika Arthur tahu masa lalu keluarganya, seolah kehilangan sesuatu yang penting dan terhormat. Tindakan akhir, bagaimana keputusan terhadap orang terkasih itu sungguh mengerikan. Sebelum menonton Joker kita mengklaim karakter Joker itu jahat, padahal ia remuk sedari sebagai Arthur. Seolah meluruskan pandangan umum bahwa Frankenstein adalah monsternya, bukan! Frankenstein adalah ilmuwannya.

Kondisi panas memuncak saat ia diundang acara Murray gara-gara stand-up nya unik terkait anak kecil yang ga mau belajar. Dan kejutan dalam live show itu adalah sang striker Brighton ditembak. Memberi ke-kzl-an maksimal. Saat dia ditangkap dan dalam kekacauan publik, ia diangkat di atas mobil dalam kejayaan membuncah, seharusnya film langsung diakhiri karena ending yang luar biasa. Sayangnya film dilanjut dalam interview dan jalan kaki berjejak darah. Joker yang liar.

Untuk mencipta chaos dibutuhkan organisasi, kerja sama dan kemampuan membujuk dengan derajat luar biasa tinggi. Oleh karena itu orang brutal nan agresif kerap kali pilihan buruk dalam mengendalikan chaos. Maka seorang pemicu yang berdiri paling lantang harus bisa mempengaruhi, membujuk, memanipulasi serta melihat dari sudut pandang berbeda. Joker seolah menjadi saklar kopling huru-hara, menjadi pemimpin perwakilan rakyat yang sudah muak sama sistem. Saya jadi ingat guyon-an orang Jawa untuk personifikasi orang stress, yang disebut bocor alus. Istilah untuk abnormal karena ada yang retak menghadapi realita. Ditambah ketawa sendiri tanpa alasan jelas. Joker menertawakan kekacauan, dan update hari ini (16/11/19), kekacauan itu mencapai pendapatan 1 Trilyun Dollar, pendapatan tertinggi untuk film berating R. Wow, just wow bahkan Todd pun ga akan nyangka. Ini tanpa tayang di China yang melarangnya karena tema chaos yang disajikan terlampau ekstrem.

Kutonton dengan teman kerja, Titus dan Akbar pada tanggal 3-Okt-19. Bagaimana pendapat mereka dan rekan lainnya? Simak!

Titus: Menurut saya sih bagus, ini salah satu film DC yang keluar dari konteks biasanya. Aksinya lebih sedikit tapi lebih mendalami karakter Joker, siapakah Joker, bagaimana Joker itu berasal, itu luar biasa. Ok sih, untuk 120 menitan cukup lama, cukup membosankan, tapi kalau menikmati alur, itu sangat OK. Joaquin Phoenix Top. Skor: 8/10.

Akbar: Kalau dari saya pribadi, itu top. Tapi agak kurang sih. Karena saya penggemar Avengers keluaran Marvel, saya masih menjagokan Marvel dibandingakn film DC. Tapi film DC yang ini top banget. Skor: 7.5/10

Budy: Joker. Ekspektasiku ketinggian. Banyak orang bilang Joaquin Phoenix laik Oscar, banyak orang bilang chaos, luar biasa, mempersona. Nyatanya? Ya…, sekadar bagus. emang depresif, tapi yah terlalu tinggi ngomong ‘film terbaik tahun ini’, ‘masuk ke Oscar, harusnya best picture’, (bagiku) enggak! Kalau Joaquin Phoenix sih Ok bisa masuk, cuma kalau untuk yang (kategori) paling tinggi, rasanya enggak. Heath Ledger tetap Joker terbaik. Skor: 4/5

Rani Skom: Aduh gilax, Joaquin Phoenix itu, apa ya. Beyond imagination, dia itu aaggghh… mungkin. Heath Ledger dapat saingan sih, tapi favorit aku tetap Ledger. Cuman, Joaquin terbaik juga, gilax. Filmnya pokoknya, puas banget. Skor: 9/10

Intano: Biasa saja sih, maksudnya aku tuh sebelum nonton Joker, banyak banget postingan di sosmed yang bilanh: ‘Joker tuh wah banget, bagus banget, ratenya 9 per sepuluh’. Tapi kataku ga se-wow itu, biasa aja. Tapi aktingnya yang jadi Joker yang siapa namanya. Itu emang bagus banget sih, standing applaus deh buat dia. Tapi secara alur cerita aku enggak, merasa ga se wah itu. skor: 7/10

Catatan ini kututup dengan kutipan dari ‘The Quantity Theory of Insanity’ karya Will Self yang menyatakan bahwa jumlah total kewarasan manusia itu tetap, tak berubah-ubah, karenanya usaha-usaha untuk menyembuhkan orang gila adalah hal yang sia-sia, sebab apabila seseorang sembuh dari kegilaannya pasti di tempat lain ada seseorang yang kewarasannya melayang, seakan-akan kita tengah berbaring di atas kasur dan mengenakan sehelai selimut kewarasan yang ukurannya kecil sehingga tidak mampu menyelimuti kita semua. Knock-knock.

Joker | Year 2019 | Directed by Todd Phillips | Screenplay Todd Phillips, Scott Silver | Cast Joaquin Phoniex, Robert De Niro, Zazie Beetz, Frances Conroy, Brett Cullen, Shea Whigham, Bill Camp, Dante Pereira-Olson | Skor: 4/5

Karawang, 041019 – 161119 – Bob James – Mind Games

*) diketik dalam dua kali kesempatan duduk, 4 Okt dan hari ini 16 Nov