“Bangsa besar ini, akan berhasil dan sejahtera, satu hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri.”
Film dengan naskah yang biasa banget. Kita sudah tahu apa yang terjadi tahun 1992 di Barcelona, kita sudah tahu akhir jalinan asmara dengan Alan, kita juga tahu yang terjadi tahun 1998, kegemparan Reformasi. Skenario itu mendetail hal-hal yang sudah kita tahu. Saya jadi ingat film The Damned United, biografi salah satu pelatih terbesar Inggris. Difilmkan dengan luar biasa hebat, kita tahu Brian Clough adalah seorang jenius yang menghantarakan Nottingham Forest merengkuh puncak kejayaan. Dalam film tersebut kita bukannya melihat adegan demi adegan bagaimana Clough mengangkat piala. Namun malah bercerita masa-masa sulit beliau sebelum di sana, jatuh bangun era di klub Leed United dan kasta sekitarnya. Saking fokus pada masa perjuangan itu, saat akhirnya melatih Nottingham yang tercatat tinta emas, hanya dimunculkan tulisan di ujung. Nah, saya membayangkan Susi Susanti juga gitu, fokus pada masa perjuangan sebelum tahun 1992, dibuat suram dan merenung pahit, setelah itu gelar Olimpiade itu cukup ditampilkan sederhana dalam bentuk tulisan sembari menampilkan foto-foto.
Kisahnya jelas kita tahu, Lucia Francisca Susi Susanti, gadis Tasikmalaya yang menjadi orang pertama yang meraih mendali emas di ajang olahraga tertinggi Olimpiade, bersama dengan Alan Budikusuma yang akhirnya menikah tahun 1997. Mereka disebut ‘Pasangan Emas Olimpiade’, memiliki tiga orang anak yang mana, mereka (didorong) tumbuh bukan menjadi atlit. Hal-hal semacam ini sudah kita ketahui, lantas apa yang perlu dicerita dalam film? Isu diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa menjadi bagian yang menarik sejatinya, di mana tekanan lebih berat. Membayangkan tuntutan prestasi tinggi sementara surat kewarganegaraan masing di persimpangan jalan.
Dengan cast besar: Laura Basuki, yang hebatnya mirip sekali, sayang sekali cerita yang disodorkan terlalu lemah. Kecantikan natural Laura malah lebih sering menghiasai, memberi tekanan kuat, eksplor berlebih dengan sorot kamera close up. Pun Dion Wiyono, sudah sangat tepat duet ini. Bila kalian diberi buku bergaris, jangan menulis lurus mengikuti garis. Agar menarik buatlah tulisan miring, menyilang, bahkan kalau perlu merumitlah dalam benang kusut ceker ayam, buatlah jalinan kata melawan apa yang sudah digariskan dengan memberi kejut dan penasaran pada pembaca. Love All, malah turut dalam garis lurus itu. Nilai etis prinsip kemenangan adalah segalanya, jelas lebih rendah nilainya daripada sikap terhormat dalam kekalahan.
Banyak hal ingin disampaikan, durasi hanya satu jam setengah mencoba efektif. Paling bagus justru adalah adegan-adegan nostalgia era 1990an dengan mobil jadul, kencan ke toko kaset, makan di warung. Hal-hal sederhana gini justru menyenangkan ditelusuri. Malah yang bikin muak adalah nasihat-nasihat berlebih, kritik politik Orbe Baru yang berulang diujar. Adegan Susi berlatih lari, lalu ada seorang militer memberinya telpon dan suara di seberang dengan (mencoba) logat Pak Harto. Duh! Kuasa adalah suatu bentuk tindakan atau hubungan antar khalayak, yang pada setiap persentuhannya bernegosiasi, sehingga karena itu tiada akan pernah tetap dan stabil. Orde Baru membangun berhala baru yang bernama ‘stabilitas’. Maka segala yang mengancamnya diberhangus. China, salah satu Negara besar Komunis menjadi ujung pisau yang diantisipasi era itu. Andai fokus ke arah depresi perjuangan persamaan hak, cerita akan jauh lebih hidup. Maka tak heran, untuk urusan akting, yang paling Ok malah karakter pendukung. Dua pelatih, mantan atlit nasional yang pindah ke Tiongkok dipanggil; Tong (Chew) dan Chiu Sia (Jenny). Keduanya berpenampilan bagus, dilema dalam perjuangan. Kewarganegaraan yang didamba ga segera muncul, tapi dituntut atas nama bangsa. Kebijakan politik Orde Baru yang memberangus komunisme menjadi dilematis, sangat emosional. Dan juga peran ayah Susi (Iszur Muchtar) yang sukses mematik pikir.
Isu etnis ini langsung memicu imaji, terutama di ending yang menampilkan generasi berikut mereka menghasilkan Lin Dan. Coba bayangkan, seandainya olah raga terpopuler kita: Sepak Bola ditangani, dimainkan, diselami dan disepak oleh sebagian etnis Tionghoa. Simak timnas sepak bola kita. Saat ini tak ada. Nyaris tak ada keturunan Tionghoa bahkan sejak era Galatama, coba ditelusur lagi, seingatku generasi terakhir ada di sektor kiper, seorang Tionghoa bernama Hermansyah di era 1980-an. Bukannya mau diskriminasi, bukti-bukti prestasi di bulutangkis bisa terjaga sampai sekarang mayoritas ada di pundak keturunan Tionghoa. Bayangkan seandaikan bola sepak juga di-handle sebagian oleh mereka. PBSI sekalipun jatuh bangun menghasilkan piala secara kontinu. Lha PSSI, saling sikut dari dalam sampai lupa cara sepak yang benar. Olahraga dalam peluk militer dan politik sama dengan kekecewaan. Daya juang yang ditampilkan Laura Basuki, sejatinya cukup bukti untuk memajukan prestasi. Sepak bola Indonesia, ah entah sampai kapan bisa memberi gelar. Politik kewarganegaraan Indonesia setelah merdeka belum bisa mengintegrasikan status ‘non-pribumi’ ke dalam kesetaraan warga.
Susi Susanti kunikmati bersama anak-istri pada Selasa, 5 November 2019 di jam terakhir dan ternyata tayang di Karawang ga lama karena setelah itu turun layar. Sebenarnya saya pengen nonton film Love For Sale 2, tapi karena May suka banget sama bulutangkis, yah nemani saja. Dia tiap hari nonton bulutangkis di HP, kalau tayang di tv biasanya akhir pekan adalah sesi final dah ga mau diganggu. Tak heran ia menikmati filmnya. Bahkan pas segmen Barcelona ia berbisik, ‘Saya saksi sejarah. Saya nonton waktu itu.’ Fufufufu… yah, idep-idep nyenengkeh istri. Ajak Hermione nonton, ga bisa diam. Jalan-jalan naik turun tangga bioskop. Untung sepi jadi ga terlalu ganggu penonton lain. Walau kadang-kadang ikut nonton live lokal, saya baru tahu arti love all di awal pertandingan. Padahal pas awal kemunculan trailer dan judul resminya, banyak yang mempelintir jadi ‘Love All-an’ di mana akhirnya Alan menjadi pasangan hidup. Bagian duo ini jalan bareng dalam kasih sungguh menyennagkan. Wanita akan terpikat pada pria yang lihai mendekatinya, tapi pada waktu yang sama tetap menjaga jarak, kalau kau bisa menguasai trik ini. Buat mereka merasa tak berdaya, terutama kalau kau yakin bahwa mereka sangat percaya diri. Jangan pernah meragukan dirimu di hadapan mereka dan jangan terang-terangan mengatakan bahwa kau tidak memahami mereka.
Perjuangan Susi untuk mewujud mimpi dilalui dengan keringat bercucur, disiplin tinggi, dan menjaga ritmenya tetap di gigi tertinggi. Kalau kalian perhatikan, adegan awal saat di Pelatnas Susi bangun tidur paling akhir, berjalan waktu ia menjadi atlit muda dengan bangun tidur terlebih dulu untuk berlatih lebih keras. Ada tempaan di sana. Ada perjuangan mengubah kata ‘muak’ menjadi ‘bangga’. Kedekatan Susi dengan ayahnya memang menjadi salah satu bagian penting dalam membangun impian. Fantasi ini bisa menghanyutkan selama berjam-jam. “Apa yang ingin Anda nikmati?” Pertanyaan relevannya adalah, “Rasa sakit apa yang ingin Anda tahan?” Jalan setapak menuju puncak adalah jalan yang penuh dengan duri, tangisan, keringat berlebih, pengorbanan, daya juang tak terbendung.
Kata para motivator yang beberapa kuikuti, kunci menjadi sukses itu ada tiga, maka pilihlah perjuanganmu untuk: Jadilah yang pertama, jadilah yang berbeda, atau jadilah yang terbaik. Susi Susanti tak hanya memilih salah satu, ia memeluk ketiganya. Seperti RA Kartini dengan perjuangan emansipasi wanita, Susi Susanti akan dikenang seabad kemudian dengan rangkaian kehebatannya. Dia adalah titian ingat prestasi Indonesia. Mungkin suatu saat, film biopik Alan akan menyempurnakan Love All.
Susi Susanti: Love All | Year 2019 | Sutradara Sim F | Skenario Syarika Bralini, Daud Sumolang, Raditya Mangunsong, Sinar Ayu Massie | Pemeran Laura Basuki, Lukman Sardi, Dion Wiyoko, Moira Tabina Zyan, Iszur Muchtar, Chew Kin Wah, Farhan, Rafael Tan, Dayu Wijanto | Skor: 3/5
Karawang, 131119 – Savage Garden – I Knew I Loved You