Kita hanya akan membicarakan prosa, sayang. Bahkan karya pertama atau kedua hanya bisa bertahan dua tahun.
Sebelumnya, kita refresh sejenak ke tahun lalu. Secara gemilang Penerbit Banana menempatkan dua bukunya di daftar pendek. Sesuai prediksi Kura-Kura Berjanggut menyabet Prosa Terbaik. Terlihat relatif tertebak karena memang sulit sekali mencipta novel setebal hampir seribu halaman. Dengan gegap gempita menyajikan cerita detail perseteruan kerajaan di ujung Indonesia Barat. Salut.
Bagaimana tahun ini? Pada tanggal 4 September, kita dapat daftarnya. Sepuluh buku saya beli di lima tempat berbeda. Beberapa saat setelah Bung Richard Oh memposting para kandidat, saya langsung pesan daring ke toko buku langganan. Dema Buku di Jakarta, bisa mensuplai Tango & Sadimin, Cara Berbahagia Tanpa Kepala, Dekat & Nyaring dan Bertarung Dalam Sarung. Agak sulit mencari buku terbitan indie, yang akhirnya setelah tanya kanan-kiri kupesan langsung ke Penerbit Pustaka Jaya di Bandung untuk Bugiali, dan Penerbit Aura di Lampung untuk Seekor Capung Merah, keduanya via penulis langsung yang diarahkan ke marketingnya. Buku ketujuh kuterima dari Surabaya, Jamaloke dikirim dari toko daring TB Buruh Membaca, agak terlambat responnya tapi akhirnya tiba sebelum meletupkan kecewa. Buku ke delapan Teh dan Penghianat kubeli di Gramedia World Karawang, inipun saya tanya di inbox Instagram guna memastikan, sudah muter ke Togamas Solo kosong. Dan akhirnya melengkapi daftar, Paperbook Plane dari Yogyakarta menyediakan Republik Rakyat Lucu dan Atraksi Lumba-Lumba, keduanya ketika kupesan sudah tahu rontok dari 5 Besar, tak mengapa karena memang tujuannya menikmati segalanya…
Mari kita telusur satu per satu, disusun berdasarkan selesai baca.
#1. Cara Bahagia Tanpa Kepala – Triskaidekaman
Tentang Sentani yang dirudung kesulitan hidup dan memutuskan memenggal kepalanya sendiri agar bahagia. Dan bagaimana bisa manusia masih tetap hidup, tetap bergelut dalam rutinitas padahal empat dari panca indera itu sudah dilenyapkan. “Memang begitu ya cara membereskan masalah?”
#2. Dekat & Nyaring – Sabda Armandio
Tentang suatu masa di gang Patos di pinggir kali yang terkena desak laju perekonomian kota. Edi yang jenius bak Einstein mengolah berbagai cara guna bertahan hidup, Nisbi yang memiliki masa lalu pelik, sampai anak kecil, Anak Baik yang imut dalam imaji laba-laba tempurung. Bagaimana cara mengusir warga dengan kekerasan terselubung. “Kalau tidak ada Jackie Chan, dunia bisa kacau.”
#3. Bertarung Dalam Sarung – Alfian Dippahatang
Tentang adat Bugis dan segala istiadatnya. Tarung dalam sarung yang mematikan, dua laki-laki bersenjata Kawali dalam satu sarung, duel lelaki Bugis atas nama kesetiaan, atas nama harga diri keluarga. Bagaimana harga diri itu mahal. “Yang namanya manusia, tidak pernah puas memiliki satu barang, Nak.”
#4. Tango & Sadimin – Ramayda Akmal
Tentang lingkaran keluarga pelacur, pengemis, buruh tani, juragan dan pak haji pemilik pesantren dengan tiga istrinya. Semua coba dijelaskan serunut dan senyaman mungkin, banyak sisi abu-abu dalam diri manusia. “Belajarlah dari kesalahan orang lain. Di situlah letak kecerdikan.”
#5. Bugiali – Arianto Adipurwanto
Tentang hikayat manusia super nan kere dengan tuak dan kehebatannya. Saling silang dengan karakter lain cerita pendek, saling isi dan sapa. Bagaimana kenikmatan minum arak adalah setara surga. “…kita membaik-baiki orang berharap kita dibaiki. Betapa hinanya kita.”
#6. Seekor Capung Merah – Rilda A. Oe. Taneko
Tentang teror militer terhadap warga dengan sudut Rumi, anak imut yang dihinggapi capung. Bagaimana kehidupan mengalir di tanah rantau, di negeri jauh dan segala kesibukan sehari-hari. “Bukankah kematian juga yang menungguku di ujung lain? Di penghujung senja?”
#7. Jamaloke – Zoya Herawati
Tentang perjuangan Indonesia Merdeka, dari sudut jelata di Jawa Timur. Perang yang tersaji sepanjang 1940-an sampai masa transisi Indonesia Orde Baru. Bagaimana nasib manusia disajikan dengan pilu, walau tetap syukur padaNya. “Kalau kesalahan itu terletak pada seni mengukir nasib, apa gunanya manusia punya pikiran.”
#8. Teh dan Penghianat – Iksaka Banu
Tentang Indonesia pra merdeka dengan segala perjuangannya. Terbagi dalam banyak tema dan perseteruan. Tentang Indonesia setelah merdeka, mencoba mempertahankan kedaulatan. Bagaimana penghianat tersisip dalam gejolak. “Awalnya semua baik-baik saja, sampai si wanita merasa diperlakukan tidak adil. Itu motif yang selalu berulang…”
#9. Republik Rakyat Lucu – Eko Triono
Tentang komedi yang dicipta masa remaja, masa kuliah sampai dewasa. Tak akan pernah habis mengupas kelucuan politikus, tak akan pernah lekang membahas ironi hidup para pengajar. Bagaimana Republik ini bisa bertahan dari gempuran kritik? Maka kita ciptakan Wakil Rakyat Garis Lucu. “Ketidakpastian adalah ruh kreativitas.”
#10. Atraksi Lumba-Lumba – Pratiwi Juliani
Tentang impian kecil masa kanak menyaksikan atraksi lumba yang kandas, dan kenangan-kenangan yang melingkari kehidupan yang memberi efek, lalu mencipta takdir. Bagaimana menghadapi kenyataan, setelah beberapa kenang menggores tajam. “Hidup tidak pernah mudah sejak aku meninggalkanmu…”
Tahun ini kumulai dengan kabar duka, sempat down beberapa hari dan mengalami masa antara. Merenungkan hidup, mau ngapain ke depan, kerinduan membuncah untuk pulang ke Solo, dalam kebosanan rutinitas kerja, menyumpatnya dengan keraguan, menghadangnya dengan alasan bertahan. Bagaimana keluarga memang segalanya, senyum Hermione seolah memaku diri bertahan guna mengorbankan seribu satu impian muda, memaksa menenggelamkan banyak skenario, andai ini itu. Selalu; sabar, tawakal, iqtiar.
Menenggelamkan diri dalam bacaan, menikmati huruf demi huruf memang bagiku semacam obat melarikan diri dari kepenatan waktu, menenggelamkan diri seolah menghentikan gerak luar dari tekanan yang muncul. Februari, lalu Maret datang, rutinitas menikmati Oscar nyaris ku-skip, April lalu Mei, ulang tahun May yang otomatis mengajak menginjak bumi lagi. Juni dalam #30HariMenulis #ReviewBuku dan akhirnya saya kembali terjebak rutinitas tahunan, lagi.
Ketika kandidat Kusala Sastra Khatulistiwa diumumkan, belum satupun baca. Rasanya sayang melewatkan moment ini, dengan semangat lahap yang kembali, kukejar jua akhirnya. Semua rampung baca pada 12 Oktober, rampung ulas 14 Oktober. Dibuka dengan buruk oleh Cara Berbahagia, yang anehnya malah mencari kepala yang dengan sukarela dilepasnya, merupakan skor terendah. Lalu Banana, lagi-lagi menyajikan novel bagus yang sayangnya terlampau tipis, coba dikembangbiakan lagi, banyak hal di Gang Patos bisa digali. Bertarung sekadar hobi. Tango memberikan kembali kepercayaan diri dengan skor sempurna. Bugiali dan Seekor Capung, duo indie ini dengan tepuk tangan membahana bisa melejit dalam daftar pendek ketika kubaca. Jamaloke kembali mengajak santai dalam narasi berbelit tanpa daya kejut, Teh sesuai ekspektasi yang memang Bung Iksaka jago di cerita pendek. Dua terakhir yang sudah tersingkir, ngalir saja. Setelah senyam senyum di Republik, daftar prosa ditutup dengan sangat bagus oleh Atraksi. Aneh, kumpulan kisah sebagus ini tercoret.
“… aku mendengar suara tepuk tangan. Semakin lama semakin keras.” Merupakan kalimat penutup buku Teh dan Penghianat. Seolah menjadi pertanda, Bung Iksaka Banu menang lagi? “… berusaha menggapai-gapai Tuhan.” Adalah kalimat akhir yang bombastis dalam Tango & Sadimin, seolah tangan Tuhan akan membantu Mbak Ramayda Akmal memenangkan piala prosa terbaik. Siapapun itu, besok kita tahu salah satu dari mereka yang berada di puncak acara, yang pasti Penerbit Major Gramedia Grup kembali mendudukinya setelah vakum tiga tahun.
Prediksiku, jelas menyesuaikan skor. Cara Berbahagia coret pertama, Bugiali adalah kuda hitam dengan tuaknya sulit di puncak, Seekor Capung akan senasib Gentayangan, gagal terbang tinggi. Final match: Teh dan Sadimin, keduanya skor lima bintang. Teh memang sangat menawan, mencipta cerita sejarah dalam penggalan-penggalan cerpen, yang sulit sekali untuk tak bilang wow ketika punch-line disaji di tiap akhir naskah. Tango sangat tangguh. Tak kusangka, para karakter diungkap hati abu-abunya dengan gemilang. Lalu siapa yang akan menang? Apakah ending tepuk tangan, atau gapaian tangan Tuhan? Saya lebih percaya sang Pencipta akan selalu bersama para pemenang, bersama Nini Randa dan Haji Misbah. Or is just me?
Karawang, 151019 – Train – If It’s Love