Friend Zone: Kita Sudah Bisa Tahu Apa Akhirnya

Gink (dalam pelukan hangat Palm): “Saya tidak tahu di mana saya akan mendapatkan teman terbaik lain sepertimu.”

Sepuluh tahun berteman dekat, sangaaaat dekat. Melalui banyak momen bersama dalam suka duka. Senyum tawa, air mata kesedihan saling mengisi dalam peluk dan (nyaris) cium. Ahh… Kita sudah bisa tahu apa akhirnya.

Hanya gara-gara di WA ada yang sher bertulis ‘bngst moment’ yang mengambil salah satu adegan film Friend Zone, saya langsung unduh dan esoknya langsung kutonton kelar. Film romcom yang mewah, ga cocok buat jelata. Naik pesawat lintas negara seolah hanya naik grab, semudah ganti tukang ojek. Pekerjaan yang pacar yang mencipta rekaman lagu dengan berbagai penyanyi dan bahasa membuatnya melalangbuana dari negara satu ke negara lain, Asia Tenggara dan sekitar, termasuk Indonesia. Ketika ada indikasi sang pacar selingkuh, dengan menemukan sekotak kondom yang berisi tiga menyisa dua, penyelidikan dilakukan. Terbang ke sana kemari, mengintai, mengawasi bak detektif. Dibantu teman kentalnya yang sudah akrab lebih dari 10 tahun, yang menjadikan zona teman melampaui kegilaan, kisah ini menemui titik akhir yang terlampau manis. Zona teman adalah area yang nyaman, dengan sahabat karib kita bisa banyak melakukan hal-hal gila tanpa canggung, apalagi ini lawan jenis. Seperti kata Joseph Addison, “Kebahagiaan yang sebenarnya berasal dari… persahabatan dan percakapan dari beberapa teman pilihan.”

Kisah dibuka dengan Gink muda (Pimchanok Leuwisetpaiboon) di tahun 2009, anak sekolah yang imut diantar ayahnya sembari berangkat kerja. Setelah memasuki gerbang, senyum sapa Gink lenyap, ia memanjat tembok, bolos sekolah, di sana sudah menunggu sahabatnya Palm (Naphat Siangsomboon) dengan mobil menderu mereka mengkuti ke mana ayah pergi, yang seharunya ke kota Chonbury ternyata berbelok ke bandara Suvarnabhumi. Lalu melakukan penerbangan lokal dan berakhir di sebuah hotel. Gink dan Palm yang turut serta, menjadi saksi perselingkuhan, walaupun hanya dari kamar sebelah dengan gelas dan suara samar lubang stop kontak. Sedih, marah, kecewa. Selama dalam perjalanan balik, Gink yang bersedu sedan dihibur oleh Palm, rumitnya hubungan orang dewasa, air mata kesedihan yang tak terkira. Ini jadi pondasi kisah untuk menelusur sepuluh tahun kemudian.

2019, Gink dan Palm (seolah) masih menjalani persahabatan, awet pakai formalin. Menjadikan hubungan ini istimewa, sekalipun sudah sama-sama punya pacar mereka terus klik, saling support dan bantu. Kita tahu Palm mencintai Gink, tapi Gink mengganggap hubungan mereka sebatas teman. Dari sini saat durasi baru setengah jam, saya sudah bisa menebak endingnya, perjuangan, kesabaran, dan daya juang pada akhirnya menemukan titik sukses, dan sayangnya film ini mengikuti alur nasihat motivator tersebut.

Di pesta kebun dengan Gink sedang menyanyi di panggung, Palm bercerita kepada ketiga orang yang sama-sama menjalani masa friend zone. Dengan dua gelas penuh berisi minuman penuh di kedua tangan masing-masing kita lalu diajak menelusur masa. Satu tahun, tiga tahun, lima tahun, dan kisah Palm yang sepuluh tahunlah yang kita nikmati. Kisah kilas balik gini sejatinya bagus, asyik sekali menjadi pendengar dalam tutur kata sebuah perkara yang sudah terjadi. Sekalipun kita tak memperhatikan jari manis sang protagonis, kita sudah bisa tahu apa akhirnya.

Bagaimana kekasih Gink, Ted (Jason Young) seorang jetset, memproduksi lagu cinta berjudul Kid Mak dari berbagai bahasa menjadi dekat dengan banyak penyanyi cantik berbagai negara. Total sepuluh penyanyi, dari Indonesia diwakilkan Audrey Tapiheru dan Cantika Abigail. Kisah ini lalu banyak berkutat di sana, sang pacar diduga selingkuh, sehingga Gink ditemani Palm yang seorang pramugara menyelidiki. Melalangbuana dari satu bandara ke bandara lain, menikmati pantai dan mandi air bir, sampai akhirnya pada suatu momen mereka menjadi satu bak dalam posisi menggairahkan. Ingat ini adalah zona teman, tak boleh lebih. Apakah ada kekhilafan? Apakah sang pacar benar selingkuh? Bagaimana masa mencipta mereka berikutnya, masihkah berteman atau melangkah ke jenjang yang lebih intens? Film dengan mencerita hubungan timbul tenggelam gini sejatinya sangat potensial, sayangnya ini untuk kalangan atas dan kalian akan menemukan banyak sekali kejanggalan.

Film terromantisku adalah A Lot Like Love, kisah cinta yang rumit terentang jarak dan hubungan yang menggantung antara Amanda Peet dan Ashton Kutcher itu seolah menyampaikan pesan, selalu ada saya ketika kamu terpuruk dan ke manapun kamu pergi akhirnya akan di pelukanku. Ada kemiripan, tapi jelas A Lot jauh lebih cadas, lebih hidup dengan emosi meletup. Friend Zone malah mengumbar kesabaran akut. Dengan beberapa adegan konyol.

Bngst moment itu memang berengsek sih. Ketika dua ‘teman dua bir’ itu memperlihatkan bahwa mereka menemui teman ceweknya dengan pacar sembari senyum kecut, lha orang ketiga itu menemui lelaki! Wkwkwk… afu tenan. Tampang bloon, nyengir kuda yang enggak banget. Malahan mereka bertiga di ujung kredit title diberi durasi bernyanyi akustik, seolah peran mereka bukan sekadar tempelan, ada penggerak yang bisa menghidupkan garis. Sukses. Justru saya turut mengapresisi adanya penggalan adegan mereka. Adegan favorit saya bahkan di bagian yang ‘hanya’ ngobrol di saat mereka di tepi jurang, setelah mendaki bukit. Gink meminta HP Palm untuk ‘diperiksa’, emang kamu siapa? Gadis yang berani membuka ponselku? Kita tetap teman, ada berapa gadis yang singgah di hatimu? Lalu Gink bercanda pura-pura akan melempar ponsel Palm, dan mereka saling senyum tawa dan kamera menjauh, sangat jauh… seolah bilang kisah cinta yang kita khawatirkan nantinya juga akan menjauh dari ingatan ditelan zaman.

Ada bagian yang mengingatku pada masa muda. Punya teman dekat pas kuliah, ke manapun berdua. Jadi tukang ojeknya, jadi teman makan, teman ngerjain tugas, sampai tempat curhat pacarnya. Ya, kita sama-sama punya pacar tapi tetap nonton bioskop dengan bergenggam tangan. Saya sih menikmati momen itu, dia juga.Sampai akhirnya lulus dan mencoba merangkai masa depan mau ngapain, di titik yang rumit akhirnya kita saling menjauh, saya ke timur ia ke barat dan waktu membunuh hubungan ini karena pertemuan terakhir sembilan tahun lalu berakhir ga bagus. Sedih? Ya, tapi memang ga ada kemungkinan baik untuk terus berjalan bersisian. Biarkan kenang itu digerus udara, menguap dan hilang di awang-awang.

Friend Zone jelas bukan kisahku. Paragraf di atas jauh dari film ini, kita kesulitan bayar kos, makan mie instan jadi rutinitas, sampai cari pinjaman guna bertahan untuk berganti bulan. Jangankan terbang ke sana ke mari, untuk bayar servis Kharisma rutin saja saya pernah mengalami. Film ini terlampau tinggi, ga mungkin rasanya saya lempar jam tangan mahal ke pantai berbuih. Ga mungkin pula saya bergelantung di tiang rambu sekalipun sedang tinggi. Sekilas dan sepantas, Zona Teman menjadikan film Thailand yang biasa saja bagiku.

Friend Zone | Year 2019 | Country Thailand | Directed by Chayanop Boonprakob | Screenplay Pattaranad Bhiboonsawade, Chayanop Boonprakob | Cast Pimchanok Leuwisetpaiboon, Naphat Siangsomboon, Jason Young | Skor: 2.5/5

Karawang, 140919 – Fergie – Big Girl Don’t Cry