“Orang beriman ditakdirkan untuk menderita, Tuhan akan senantiasa mengujinya, bersabarlah.”
Wow, akhirnya. Setelah percobaan keenam ini, ada buku terbitan Circa yang kuberi skor sempurna. Novela tentang pematik Arab Spring ini ditampilkan dengan sangat apik. Padat, sederhana, langsung ke pokok masalah dan sungguh menggugah. Suka kisah yang ga bertele-tele gini, diniatkan jadi cerita pendek yang ga perlu meliuk-liuk sehingga nyaman diikuti. Ini cerita kepedihan, pemuda sulung yang frustasi menghadapi hari-hari yang mencemaskan tentang pasangan hidup, kebutuhan hidup dan tujuan hidup. Sungguh hebat, memainkan ironi dan nalar serta kehampaan. Kesenjangan sosial terjadi di banyak tempat, dan Dalam Kobaran Api disampaikan dengan berkelas. Begitulah takdir, kejam dan tak adil. Mengutip Spinoza, “Setiap makhluk hidup cenderung menetap dalam sifat aslinya.” Muram sekali.
Bercerita tentang sosok Mohamed, pemuda sederhana yang menjadi yatim setelah tak lama berulang tahun ketiga puluh. Menjadi tulang punggung keluarga karena ibunya yang sakit-sakitan, memiliki tiga adik laki-laki, dua perempuan. Lulusan Fakultas Sastra, melepas segalanya, sejatinya memiliki banyak potensi hebat. Kisah dibuka dengan api, semua surat pentingnya termasuk ijazah kelulusannya dibakar. “Apa gunanya bergantung pada sehelai kertas yang tak membawamu ke mana-mana.” Saking frustasinya, saking kecewanya terhadap persentase peluang kerja yang ada. Ia memilih dengan paksa menjadi penjual buah keliling, pekerjaan warisan ayah dengan gerobak reot dengan suplai buah dari penadah licik Bouchaib. Inilah pilihan hidup yang membuat banyak hal dalam hidupnya berubah. Demi adik-adiknya, demi ibunya, demi masa depan mereka yang tercinta. Seperti ayahnya, ia tak pernah mengeluh. Dia bukan pria fatalis, bukan pula seorang religius. Mohamed mencoba menyuntikkan harapan pada adiknya, tetapi memang sulit. Terlalu banyak ketidakadilan di negeri ini, kesenjangan terlalu besar.
Sebagai tukang buah keliling, ia selalu mendapat masalah dengan polisi yang seharusnya mengayomi rakyat. Ditanya surat izin, yang berarti kode minta jatah. Diinterogasi tentang Islam extrimis, karena masa lalunya sebagai mahasiswa aktif menentang rezim. Dibuat sulit dengan berbagai hal yang datang justru dari yang katanya penegak hukum. “Orang-orang ini dibayar untuk menciptakan masalah buat kita. Kemungkinan besar polisi itu juga berasal dari keluarga yang sama miskinnya dengan kita. Ibu tahu sendiri, sesama orang miskin tidak menyukai satu sama lain.”
Namun justru banyak hal sekeliling seolah membantunya. Berjualan di tempat-tempat seadanya malah membuat dagangnya laris, bahkan beberapa kali kehabisan. Rejeki dari arah tak terduga, diborong orang yang bersyukur karena anaknya lulus, contohnya itu memainkan takdir dengan gaya. “Kau orang baik, kau pantas mendapatkannya. Aku bisa melihatnya”. Sehingga ia bisa mengambil buah dari orang lain. Bisa buat modal bayar obat, mencoba menata hidup.
Mohamed memiliki kekasih bernama Zineb yang bekerja sebagai sekretaris dokter. Mereka merajut asa, saling cinta, saling menjaga. Zineb ingin segera menikah, tapi Mohamed menanti kemapanan yang entah datang kapan. “Suatu hari nanti, kita akan keluar dari lubang gelap ini. Aku janji padamu. Aku tahu itu. aku bisa merasakannya. Kau akan punya pekerjaan yang mapan, aku tidak akan lagi bekerja untuk dokter hina itu, dan kita bisa memulai kehidupan kita bersama. Lihat saja.” Mau sampai kapan? Sampai akhirnya saat muncul momen marah di bulan Desember 2010. Satu pagi ia mendapat fitasat buruk. “Kalau kau berbicara terus menentang pemerintah, kau akan mendapatkan masalah tentang kita.” Benar saja, hari itu segalanya berjalan menyesakkan. Gerobaknya disita polisi, lalu ia memutuskan menentang, melawan, menuntut ke balai kota. Kau akan menuntut polisi? Kau gila, kau pikir sedang di mana? Swedia? Segalanya lalu mencipta gelombang, dan seperti yang kita tahu. Negeri Timur Tengah bergolak, beberapa rezim yang sudah puluhan tahun berkuasa akhirnya tumbang, beberapa revolusi akhirnya terjadi. Sebagian itu bermula dari sini, dari tukang buah keliling lulusan Sastra yang melawan dengan api. Seperti pembukanya yang menyala, kisah ini ditutup dalam kobaran api.
Kesenjangan yang ditampilkan tampak nyata. Dengan setting Tunisia, negeri Arab yang tampak makmur itu sungguh nyata ditampilkan dengan berbedaan jauh kelas atas dan bawah. Yang kaya makin kaya, yang miskin sungguh menderita. Tuhan jelas tidak menyukai orang miskin, dan bumi ini luas hanya buat orang berpunya. “Di mana kau melihat keadilan di negeri ini?”
Setelah cerita ditutup, kita disuguhi dua wawancara Tahar atas keberhasilan Dalam Kobaran Api. Pertama dari Deborah Triesman dengan judul: ‘Fiksi Minggu Ini: Tahar Ben Jelloun’ berkutat tentang efek yang ditimbulkan, menulis kisah ini di rumah sakit pada Maret 2011, yang terpikir olehnya tentang film ‘The Bicycle Thief’ karya Vittorio De Sica. Memutarnya berulang-ulang di kepala dan keinginan menulis kekersangan yang sama, mengupas persoalan dengan cara yang sama, dan yang terpenting menulis dengan kejujuran yang sama, apa adanya. Ide memang bisa datang dari mana saja, inspirasi yang timbul dalam gejolak. Duka manusia adalah sumber inspirasi yang utama. Sastra tidak akan tertarik pada dunia yang semuanya berjalan baik-baik saja. “Kita bisa menulis segala hal, mengadu tentang apa saja, tetapi tidak mengubah apa-apa.”
Kedua dari wawancara dari Ruth Schneider dengan judul ‘Demokrasi Tidak Seperti Aspirin yang Bisa Kau Larutkan Dalam Air’ tentang proses dan kreativitas. Bagaimana bisa pemuda ini mencipta gelombang dan pandangan sang Penulis akan gayanya bertutur. Mengagumi kutipan dari Henri Bergson, “Kecerdasan ditandai oleh ketidakpahaman natural tentang kehidupan.” Proses mencipta karya yang indah. Novel yang berangkat dari keinginan untuk menjelaskan sesuatu akan berakhir seperti sebuah buku panduan untuk merakit perabot Ikea.
“Demi rasa keadilan.” Tahar dengan cerdas memainkan ironi. Harapan dari kekasih yang membayang selalu, Zineb yang tersenyum, Zineb yang marah, Zineb yang memohonnya untuk tidak melakukan apapun. “Kau harus menunggu, aku baru saja mulai bekerja. Aku harus melakukan sesuatu yang besar terlebih dulu.” Impian ke Kanada, tanah yang dijanjikan. Mohamed bisa saja menjadi seperti orang kebanyakan, cuek dan melarikan diri dari fakta. Hidup dalam kemunafikan, seolah segalanya baik-baik saja. Membiarkan ketidakadilan merajalela dan negerinya berjalan seadanya. Tidak, ia mencipta tragedi demi masa depan saudara dan orang terkasih. “Bumi Tuhan sangat luas.”
Hebat. Penulis kelahiran Maroko, tinggal di Prancis bercerita tentang Tunisia dan efeknya. “Aku tidak menjelaskan apapun, ini adalah karya sastra.”
“Tak ada orang yang bisa berubah, tapi setiap orang bisa mencoba untuk beradaptasi, sedikit berbohong meski jauh di dalam dirinya dia tahu persis bahwa ia adalah orang yang sama…”
Dalam Kobaran Api | By Tahar Ben Jelloun | Diterjemahkan dari bahasa Prancis Par le feu, oleh Rita S. Nezami menjadi The Fire. The New Yorker. 6 September 2013 | Penerbit Circa | Penerjemah Nanda Akbar Ariefianto | Penyunting Anis Mashlihatin | Penata isi Shohifur Ridho’i | Penata sampul Alfin Rizal | Lukisan sampul Enggar Rhomadioni | 68 hlm.; 11 x 17 cm | Cetakan pertama, Juni 2019 | ISBN 978- 623-90721-0-0 | Skor: 5/5
Karawang, 260819 – Nikita Willy – Lebih Dari Indah
Bagus banget ulasannya!! bikin penasaran sama buku ini .Btw hei salam kenal :’)
SukaSuka
Ping balik: 36 Buku Baru | Lazione Budy
Ping balik: Best Books of 2019 | Lazione Budy
Ping balik: 110 Buku Yang Kubaca 2019 | Lazione Budy