Alice Through The Looking Glass – Lewis Carroll

Boleh saja kau mengatakannya ‘tak masuk akal’, tetapi aku telah mendengar banyak hal tak masuk akal yang kalau dibandingkan dengan ‘tak masuk akal’-mu lebih masuk akal seperti kamus.” – Ratu Merah

Buku yang aneh sekali. Masih bagusan yang seri pertama, Alice In Wonderland karena terasa original, seri kedua ini menawarkan kebingungan yang sama, hanya dengan pola lebih rumit, lebih acak, dan jauh diluar nalar. Setelah membaca Alice Through The Looking Glass, rasanya film adaptasi tiga tahun lalu terasa terjemahan sangat bebas karena tak ada misi menyelamatkan Mad Hatter, di sini bahkan tak disebut. Adegan ikonik saat ini jatuh dari langit yang sangat lamaaaaaa itu penyesuaian, di noevl ga ada sama sekali. Misi di Alice Through lebih ke personal yang menjelajah dunia antah, antara mimpi dan selipan khayal, antara dunia terbalik dengan imajinasi terlampau tinggi. Semenit lalu balap lari, semenit lalu, ngerumpi dengan bunga mekar, semenit lalu, terhempas dalam laju kereta, semenit lalu menyaksikan adu kuda, semenit lalu menatap tembok dengan telur raksasa di atapnya dalam renunagn, semenit kemudian menjelma Ratu. Cerita acak yang menantang nalar. Alice In Wonderland masih sangat bisa diikuti, Alice Through sudah benar-benar melampaui kegilaan. “Tahukah kamu, hari ini banyak sekali puisi dibacakan padaku. Anehnya – sangat aneh menurutku – semua puisi sedikit banyak menyinggung tentang ikan. Kanapa di sini semua senang pada ikan?

Kisahnya Alice (kini berusia tujuh tahun enam bulan) dan Dinah, kucing kesayangannya sedang di kamar bermain dengan benang dan bola menghabiskan waktu, Dinah kini punya anak kucing Kitty. Lalu dalam keisengan Alicer bertanya, “Kitty, dapatkah kau bermain catur? Ayolah, jangan tersenyum sayang. Aku bertanya serius…” dan karena kesal Alice sampai mengancam, “… dan kalau kau tidak mengubah perilakumu segera, akan kumasukkan kau ke Rumah Kaca Cermin.” Dari omong kosong tentang cermin yang bisa ditembus itu malah menjadi nyata, mula-mula ada asap tipis menyelingkupi. Pura-pura kacanya melembut hingga bisa menembus masuk.

Di dunia cermin segalanya berbanding balik. Apa yang dialami Alice tentu saja dialami Pembaca. “Aku tak mengerti. Begitu membingungkan.” Dan Sang Ratu menjawab. “Itu akibat dari hidup dengan mundur. Awalnya selalu membuat bingung.” Semua makhluk di sini bisa bicara, dan kebun beralaskan seolah papan catur terbentang. Imaji saat ia mengajak Kitty main catur kini mewujud. Alice di dunia cermin untuk beradu strategi main catur!

Tak apa menjadi bidak, asal boleh ikut main – walau tentu saja aku ingin menjadi ratu.” Begitulah, para prajurit saling adu tangkas. Kuda yang diajak bertukar pikir, benteng menjulang dalam nuansa istana. Alice dalam misi menjadi ratu. Mula-mula ia adalah pion, menjelajah hutan. Bertemu banyak kenalan, monster Jabberwocky. Lalu kebun bunga daisy dan mawar yang berisik, bunga Lili Macan yang suka celoteh. Lalu adegan lari, lari yang seolah tiada henti sampai kelelahan karena semakin cepat Alice maju jarak yang dicipta malah makin melebar. Well, ingat alice ini dunia cermin!

Yang membuat aneh sekali tentu saja saat Alice tiba-tiba ada dalam laju kereta api, kepada sang masinis ia memberitahu tak punya tiket. Teman duduknya yang aneh, dengan serangga Agas yang memberi klu demi klu. Mungkin inilah hutan di mana semunya tak punya nama. Tiba-tia seolah dihempaskan ke hutan bertemu anak rusa yang terkejut bertemu anak manusia, saat di percabangan jalan di mana keduanya mengarah ke rumah Tweedledee dan rumah Tweedledum. Kalau yang ini sudah kita temui di seri pertama. Memang begitulah yang terjadi, mungkin terjadi, dan kalaupun terjadi, mestinya terjadi seperti itu. tetapi karena tidak terjadi, maka tidak terjadi. Itulah logikanya.

Di dunia cermin puisi adalah sebuah kebiasaan. Banyak sekali sajak dibacakan, baik sekadar untuk pemanis, untuk teka-teki, atau untuk teman ngelantur, pengantar tanya-jawab, yang semestinya malah jauh lebih membingungkan karena bermain diksi. Seperti penafsiran mimpi. “Kalau dia tidak bermimpi tentang kamu, kamu berada di mana? Kau akan tidak ada di mana-mana. Kau hanya bagian dari mimpinya.

Setibanya di sebuah toko, Alice disapa Domba penjaga toko. Alice tak tahu kenapa ia di sana, maka ia menjawab tak tahu, mungkin melihat-lihat dulu. Sang Domba yang pusing, malah berujar Alice seorang anak atau gasing, dan ia bisa mengambil barang seolah dari udara. “Yang terindah selalu paling jauh.”

Dan setiba di sebuah tembok menjulang, Alice melihat telur di atasnya. Telur itu ternyata adalah Humpty Dumpty! Ia duduk bersila di puncak tembok tinggi. Berdiam diri seolah patung. Ia semacam filsuf. “Persoalannya adalah apakah kau bisa membuat kata-kata dengan banyak arti yang berbeda-beda.” Alice dengan enteng dijawab Humpty Dumpty, “Persoalannya adalah kata-kata mana yang akan menjadi pemimpinnya – hanya itu.” dan hadiah yang kita tunggu tiap tahun dalam ulang tahun membuat si Humpty ketawa, kenapa menunggu hadiah satu dalam setahun kenapa ga dibalik saja, hadiah di 365 dalam 366 hari? Hanya di hari lahir kita tak memerlukan hadiah. Wow.

Dalam hutan, Alice bertemu pasukan. Mula-mula tiga, empat lalu bersepuluh, dua puluh, banyak sekali. Pasukannya ribuan, kacau. Bersama Raja dan sang pembawa pesan, mereka berteka-teki. Mereka lalu menyaksikan pertarungan Singa versus Unicorn. Bersama Hatta melaporkan perkembangan terkini perang. saat dalam diplomasi, terdengar suara genderang bertupi, membuat Alice menutup telinga dan memecjamkan mata. “Kalau suara genderang ini tidak bisa mengusir mereka tak akan ada lagi yang bisa.

Semua cepat sama saja, tetapi sungguh ceroboh memakai helm orang lain dengan pemiliknya masih ada di dalamnya.” Saat kembali tersadar, Alice sendirian di hutan melanjutkan perjalanan dan bertemu dua Kesatria hitam dan merah memperebutkan Alice untuk dijadikan tawanan. “Aku tak tahu. Aku tak ingin menjadi tawanan siapapun, aku ingin menjadi ratu.” Keduanya adu tangkas untuk menjadi pengantar Alice menuju istana. Bagian narasi indah tersaji di halaman 130. “… Bertahun-tahun berselang ia bisa menceritakan kejadian ini dengan sangat jelas, seolah baru terjadi kemarin – mata biru lembut dan senyum ramah si Kesatria, sinar matahari terbenam membuat rambutnya gemilang, dan terpantul menyilaukan dari baju logamnya, kudanya bergerak tanpa tujuan, dengan tali kekang menggantung di leher, merengguti rumput di dekat kaki Alice, dan hutan membayang gelap di kejauhan – semua itu bagaikan lukisan indah bagi Alice yang melidnungi matanya dengan telapak tangan sambil bersandar pada pohon, memperhatikan pasangan kuda dan penunggangnya serta mendengarkan setengah bermimpi lagu berirama sedih itu.” Seni naik kuda adalah menjaga agar tak ada tulang yang patah. Kurasa tidak, seni naik kuda adalah menjaga keseimbangan dengan baik.

Kotak kedelapan, akhirnya.” Dan saat langkah Alice menuju final di papan kotak kedelapan, berhasilkan Alice menjadi ratu?

Otakku akan tetap bekerja. Bahkan makin sering kepalaku di bawah, makin sering aku membuat penemuan baru.” Banyak hal merumitkan diri, membuat dahi berkerut. Semakin tipis halaman, semakin ngelantur. Puisi berserakan. Pengandaian ada di mana-mana, lha judulnya saja sudah aneh kan. Nasihat sang Kesatria patut dituangkan. “Selalulah berkata jujur – berpikir sebelum bicara – dan catatlah sesudah itu.”

Penampilan dua ratu selalu menarik perhatian, mereka berdebat dan saling oceh seolah dunia memah tempat keluh kesah. “Pikirannya agaknya sedang dalam tahap ingin membantah sesuatu, hanya saja dia tak tahu apa yang harus dibantahnya.” – Ratu Putih / “Sifat jahat dan pemarah.” – Ratu Merah. / “Mungkin kesabarannya juga pergi. Sungguh ini percakapan yang konyol.” – Alice

Realitas hidup adalah hidup hari ini. Berlama-lama bermain di cahaya berseri, Hidup ini bukankah hanya mimpi? Alice di Negeri Cermin, tak ubahnya sebuah dunia maya yang ideal untuk lari dari realita yang keras ini. “Dia mungkin demam karena terlalu banyak berpikir.”

Alice Di Negeri Cermin | By Lewis Carroll | Diterjemahkan dari Alice Through The Looking Glass | GM 616189002 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Penerjemah Djokolelono | Desain sampul dan ilustrasi sampul Ratu Lakhsmita Indira | ISBN 978-602-03-2505-7 | 176 hlm; 20 cm | Skor: 4/5

Karawang, 210719 – Gloria Estefan – Don’t Wanna Lose You