“Kebudayaan adalah parasit mental yang muncul secara tidak sengaja, dan sesudahnya memanfaatkan semua orang yang terinfeksi olehnya.” – Karl Marx
===catatan ini mungkin mengandung spoiler===
Catat, saya ga kenal semua cast and crew film ini. Saya sangat awam film Asia, termasuk dari Negeri Gingseng. Hanya sesekali lihat, salah satu yang menancap di kepala adalah megahit: Oldboy yang ternyata bagiku biasa saja. Kalian harus mencium banyak kodok sebelum menemukan seorang pangeran. Saya belum banyak mencium kodok Korea, jadi rasanya wajar saya tak menemukan pangeran di sini. Selamat datang di dunia Bong, di mana sedetik setelah tertawa kalian bisa mengeluarkan air mata kesedihan.
Nah, Parasite ini hype-nya lebih gila. Era sosmed membantu mempromosikan segala puja puji. Daun-daun ditempel di banyak sisi poster film seakan jaminan film bermutu. Kisahnya tentang keluarga miskin yang mendamba kehidupan mewah. Kemiskinan orang pinggiran yang lazim kita temui di bantaran kali Ciliwung di Jakarta itu kita dapati juga di Korea Selatan. Satu keluarga terdiri sepasang suami istri dan dua anak. Mereka pengangguran semua. Kerja serabutan untuk bertahan hidup. Cerita dibuka betapa kere-nya. Wifi gratis hilang, ada kecoa ketika ada semprot asap jendela tetap dibuka agar dapat asap gratis, kerja melipat bok pizza malah sebagian besar rusak, ada gelandangan yang hobinya pipis di depan rumah mereka. Ah gambaran jelata yang sempurna. Gambaran orang susah yang pantas untuk diangkat dalam komedi satir.
Catat lagi ya, ekspektasi saya sangat tinggi setelah film ini memenangkan Cannes Film Festival tahun ini, gempitanya luar biasa. Palme d’Or tayang bisokop lokal woy! Saya sampai bilang ke May sebelum mulai, “Kamu bisa berharap banyak ke film ini.” Harga dianggap sebagai tanda kualitas. Siapa yang meragukan Cannes? Di semua lini media menyerang kita, bilangnya penuh pujian kudus, sebagus itu, wow, brilian, film of the year dan masih sangat banyak lagi. Hampir-hampir menyatukan kaum snob dan fan film ledakan. Nyaris semua kalangan bilang keren, sekali lagi nyaris. Dari sineas kenamaan Joko Anwar, rekan sejawat twitter, Grup WA Bank Movie sampai direkap dan semua satu suara, sekali lagi nyaris satu suara. “Twitter dan Facebook membantu saya untuk memutuskan apa yang dipedulikan orang.” Kata Winstead, dan ini mencipta gelombang optimis. Gelembung pecah dalam antusiasme membuncah. Setelah (tidak) ditunggu tiga hari, akhirnya muncul di bioskop Karawang. Awalnya mau nanti-nanti saja, nunggu sabda Lee, lha istri malah confirm ikut. Jadinya kita titipkan Hermione ke rumah nenek, berduaan kita bermalam Jumat (27/06/19) di bioskop. Hiks, ga niat nonton di hari pertama. Malah mendadak duduk dalam sekap di malam pertama tayang di kota tercintah.
Suatu hari seorang kawan yang mapan dan tamvan (diperankan exclusive oleh bintang Seo-Joon Park – yang katanya terkenal dan bikin histeris seisi studio), teman Ki-woo (Woo-sik Choi) ini datang. Memberi hadiah sebuah batu bertuah yang disebut bernilai seni. Batu itu katanya, adalah batu keberuntungan. Ada aura positif yang dipancarkan. Dan ternyata kedatangan si tamvan selain kasih hadiah juga menawarkan pekerjaan. Ia akan kuliah keluar negeri. Ketika menghadapi ketidakpastian, biasanya muncul naluri pertamanya menolak sesuatu yang baru, dan mencari-cari alasan mengapa konsep yang tak biasa itu bisa gagal. Ki-woo walaupun tampak meragukan, ia malah mengambil kesempatan itu. Menjadi guru les pengganti. Ijazah yang dipalsukan lewat photoshop yang jadi keahlian sang adik. Ki-jung (So-dam Park). Ketika satu orang sukses masuk istana tertutup itulah, ia membawa gerbong lainnya. Tak sekadar satu tipuan tertentu yang mencari paparan seni. Seni menipu kemudian menjadi sumber penghasilan yang dahsyat. Sang adik menjelma guru seni buat si bungsu. Lalu berikutnya ayahnya, Ki-taek (Kang-ho Song) menjelma sopir Mr Park (Sun-kyun Lee) yang nantinya menjadikan sang istri (Hye-jin Jang) pembantu sang nyonya rumah Yeon-kyo (Yeo-jeong Jo). Lengkap sudah, kolaborasi jahat orang-orang miskin. Saat keluarga Park liburan keluar kota, berencana menginap, maka secara otomatis keluarga miskin ini menjadi tuan rumah semalam, pesta pora siap digelar hingga sebuah bel rumah berbunyi di malam badai tersebut. Membuyarkan segala halu yang sudah disusun. Sumber daya ekonomi paling penting adalah kepercayaan akan masa depan, dan sumber daya ini terus-menerus terancam oleh para penipu.
Sutradara Rusia Contantin Stanislavski bilang bahwa dalam akting permukaan, aktor tak pernah larut dalam perannya. Mereka menyadari keberadaan penonton dan penampilannya tak bisa otetik. Akting permukaan, “tak pernah menghangatkan jiwamu dan merasuk ke dalam perasaan manusia yang sensitif dan dalam tak bisa diperlakukan dengan teknik semacam itu.” Rasa percaya diri berlebih mungkin cenderung sulit diatasi di wilayah kreatif. Tips menonton film sederhana. Kalian menyadari kondisi bahwa kalian datang untuk menilai acara itu, tidak untuk merasakannya. Akibatnya sejak kalian duduk kalian sudah menghakiminya. Jangan, kalian akan tetap menemukan kejanggalan sekalipun dari pemenang Cannes. Duduk, nikmatilah. Tak pernah ada masalah dengan ide aneh.
Pesulap senang mengelabuhi penonton, tetapi yang terpenting baginya adalah membuat sesama pesulap bingung. Ending Parasite jelas menimbulkan interpretasi beragam. Sebagian membuat bingung, dan muncul kata ‘mengapa si A membunuh si B’, ‘mengapa si itu malah kabur ke sana?’, ‘mengapa dia ketawa adiknya tewas’, dan seterusnya. Ya, mengapa? Mengambil resiko menjadi lebih menarik saat dihadapkan pada kerugian pasti jika diambil. Bayangan kerugian pasti mengaktifkan ‘system go’. Hal ini saya rasakan saat ‘Jessica’ tercinta berdarah. Lihatlah tatapan marah seorang ayah yang menganalisis cepat segala tragedi ini.
Saat mendapatkan pengetahuan di suatu bidang, kita terpenjara oleh prototipe kita sendiri. Memperkuat kesimpulan mereka bahwa situasi ini harus dirubah. Secara bersamaan berkepala panas dan dingin. Kepala panas, menghasilkan tindakan dan perubahan; kepala dingin membentuk tindakan dan perubahan dalam bentuk yang bisa diterima dan dilaksanakan. Ini situasi genting. Dan seperti kata sang ayah dalam kamp pengungsi bencana: rencana terbaik ya tanpa rencana.
Bergaul dengan orang berada di rumah mereka laiknya tinggal di kamp fantasi bola. Kamu merasa diri hebat hingga tiba giliran untuk memukul bola, kamu tak hanya gagal memukul, bahkan melihat bolanya pun tidak bisa. Keluarga miskin ini sadar bahwa mereka bukan kalangan jetset, mereka hanya memainkan kamuflase, ya yang paling menyedihkan bagiku adalah saat Ki-woo dalam adegan ciuman di lantai atas menyaksikan orang-orang kaya ini berpesta ulang tahun di kebun yang sejatinya mendadak saja tampak anggun. Tidak, kamu tidak bisa bicara dengan bahasa yang sama. Barangkali kemiskinan sosial tidak akan pernah bisa dihapus, tapi banyak di Negara maju kemiskinan biologis jadi masa lalu. Benarkah?
Dalam Budha asas pertama adalah “Kesengsaraan ada, bagaimana meloloskan diri darinya?” Dalam Parasite jelas sekali, mempertontonkan menjadi penipu ga papa, asal kita bisa lolos dari jerat kemiskinan, yang ternyata menghuni nyaman di tubuh inang memberi konsekuensi tragis. Siapa sangka ada parasite lain yang bisa saling tikam? Kalian terkejutkan? Saya juga. Film menjelma hebat saat bel malam hujan deras itu berbunyi, mengacaukan segalanya. Membunuh tawa penonton, mencipta banyak kerut di dahi, lalu mencoba filosofis dengan menampar kepahitan hidup dalam teori sebab-akibat. Kemiskinan, penyakit, tua, pengangguran, sampai kematian bukanlah takdir tak terhindarkan manusia. Mereka adalah buah ketidaktahuan kita. Sebab-akibat. Tirai kesenyapan sedemikian tebal sehingga kita bahkan tidak bisa merasa yakin bahwa hal-hal semacam ini terjadi – apalagi menjabarkan secara rinci.
Perbedaan nyata antara kita dan keluarga milyuder adalah mitos pelekat yang menyatukan individu, keluarga, dan zonasi masyarakat. Pelekat itu telah menjadikan keluarga Park tampak elok dipandang. Kalian pasti ikut melongo ketika pertama kali sang guru les matematika masuk ke dalam rumah istana calon bos guna hanya menjadi pengisi waktu tambah belajar. Ekspresi spontan katro itu mencipta ide jahat, kesenjangan, dan rasa ingin, harapan karena ada peluang. Lebih baik berbisnis dengan orang-orang ‘rekomendasi’ ketimbang berjudi dengan alam. Padahal kita tak tahu rantai rekomendasi sendiri ternyata memutar lalu melilit leher, semua terlambat. Referensi tak ubahnya koalisi jahat, di mana kita menyerahkan pisau dengan ujung tajam menghadap diri sendiri.
Jadi sangat wajar selepas keluar biskop May complain. Filmnya sudah bagus di awal dan memberi akhir yang mengecewakan. Kita maklumi karena dia memang penikmat sinetron Cinta Buta-nya Nikita Willy jadi akhir kisah yang menyedihkan rasanya belum bisa diterima. Saya, justru sebaliknya. Saya kecewa di awal sampai terdengar bunyi bel rumah itu, komedinya terlihat konyol. Sekeluarga ditipu sekeluarga, orang-orang kaya dan berpendidikan dengan mudahnya terpedaya, tunggu dulu karena kita sudah sepakat tak banyak cari plot hole, bisa kita lewati sahaja. Film menjadi thrilling ketika palu kejutan pertama ditabuh bahwa ada parasite lain yang menghuni inang, dan sampai ending, inilah bagian terbaik film. Sebuah replacement, sebuah ironi, sebuah tragedi.
Namun bukan produk yang menciptakan nilai. Konsumenlah yang menciptakannya. Konsumen Parasite sedang sakaw. Film drama? Komedi? Horror? Thriller? Saya lebih suka menyebutnya ironi-komedi! Kita terlalu gembira akibat momen eureka atau kemenangan karena berhasil mengatasi hambatan. Parasite jelas bukan film biasa, tapi belum bisa disebut menjadi yang terhebat tahun ini. Dia kaya sehingga dia baik. Atau dia baik karena dia kaya. Karena kalau kita kaya kita juga akan seperti mereka.
Ada arogansi yang menemani kesuksesan.
Parasite | Year 2019 | Directed By Joon-ho Bong | Screenplay Joon-ho Bong, Jin Won Han | Cast Kang-ho Song, Sun-kyun Lee, Yeo-jeong Jo, Woo-sik Choi, So-dam Park, Hye-jin Jang, Seo-Joon Park | Skor: 4/5
Karawang, 280619 – Sherina Munaf – Lihatlh Lebih Dekat // 060719 – Boyzone – No Matter What