“Kalau kau tidak berperang, kau tidak membutuhkan senjata. Kalau kau ikut berperang, kau harus tahu siapa musuhmu. Kau harus bersungguh-sungguh membunuh. Perang dilakukan memang untuk membunuh.”
Apakah seluruh ilmu Batak ini akan terkubur nanti bersama kematianku?
Bagaimana pengaruh sebuah ulasan terhadap keputusan menikmati atau tidaknya sebuah karya? Kalau yang ulas adalah seorang teman terpercaya, maka sangat kuat. Saya mengambil keputusan membeli buku ini gara-gara ulasan teman di facebook, review-nya di sebuah Koran Nasional menambah keyakinan itu. Kunikmati awal tahun ini dalam kepiluan, Menolak Ayah adalah jenis novel yang sangat hebat di awal sampai pertengahan, lalu menukik tak terkendali sampai akhir. Awalnya sungguh bagus. Kita diajak menelusuri kehidupan warga Batak, seluk beluk era pasca kemerdekaan Republik Indonesia, hingga efek panjang yang merentang. Dibumbui kisah mistis dan kepercayaan leluhur, Menolak Ayah sungguh menjanjikan. Sayangnya tak bisa konsisten, novel ini langsung terjun bebas ketika sang protagonist merantau di ibu kota, dan segalanya tampak happy ending, seolah tangan midas yang mujarap. Kesendirian pada masa tua ternyata adalah masa depan yang pahit dan kelam.
Dalam keterbatasan dan kemiskinan, terasa sungguh menyenangkan. Tapi siapa yang dapat kembali ke masa lalu? Kisahnya panjang sekali, melibatkan era tua akar budaya Batak. Tondi artinya roh, semangat, jiwa kehidupan. Huta bukan hanya berarti kampung, tapi pemukinan yang menjadi sumber kehidupan. Jadi nama itu berati roh negeri sekaum. Saya jadi tahu asal usul marga yang banyak dan alirannya. “Bah, memutus rantai dengan nenek moyang, perbuatan yang sangat terkutuk bagi orang Batak.” Semua orang Batak yang ada di muka bumi, berasal dari pusat ini. Semua. Mereka adalah keturunan manusia yang diturunkan dari langit, seorang yang disebut si Raja Batak. Manusia pertama ini kemudian punya dua orang anak laki-laki yaitu Guru Tateabulan dan Raja Isuboan, dari keduanya lahir sejumlah keturunan, dan cucu dari si Raja inilah lahir marga-marga orang Batak.
Buku dipilah dalam lima bagian: Marga, Begu, Inang, Perang, Amang. Ini adalah novel riwayat Tondi yang bernama asli Immanuel Tondinihuta artinya Tuhan beserta kita. Pemuda Batak yang tumbuh dari era Indonesia merdeka hingga millennium. Sumatra setelah Proklamasi masih dalam gejolak. Di Medan dinyatakan sebagai Dewan Gajah, di Padang sebagai Dewan Banteng, Dewan Garuda di Palembang, dan Permesta di Manado. Ia masuk dalam pasukan pemberontak (tergantung sudut mana melihatnya). Pada dasarnya memang tak ingin ada perang. “Tidak. Aku tidak mau berperang. Aku cuma mau meninggalkan Siantar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, sejak aku tidak sekolah lagi.” Sampai sekarang dia masih menganut agama Batak, agama purba yang menyembah Debata Mulajadi na Balon, dan menghormati alam dan roh-roh baik. Agama Batak atau biasa disebut Parmalim dianut orang Batak sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke daerah itu.
Kakek Tondi adalah orang sakti. Keturunan raja. Kita harus menjaga keselamatan raja kita. Mengapa harus mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan raja kita? Sebenarnya bukan raja itu yang kita kawal. Kita mengawal agama kita. Atau dia sudah berdamai dengan zaman, sudah pasrah andai pengetahuan dari nenek-moyang ini akan lenyap. Jika manusia berperang, seharusnya adat mendampingnya. Hukum Mulajadi na Bolon harus diikuti. Adat hanya dipakai untuk pesta, bukan untuk kehidupan.
Seperti ditulis sejarah. Banyak perang semasa kolonial. Dalam setiap peperangan, hanya satu pihak yang menang. Atau kedua-duanya hancur. Perang Aceh berlangsung selama 31 tahun dari taun 1873–1904, Perang Batak selama 29 tahun dari 1879–1907. Perang Padri tahun 1821-1837. Dan Perang Jawa 1825-1830. Faktanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menaklukkan Aceh dan Batak. Maka pasca kemerdekaan, masih ada perang di antara penduduk sendiri. Hanya kehancuran yang ditinggalkan dari peperangan. Sekarang kau berperang, apa yang kau bela? Sejatinya sebagian orang ingin berperang, ingin kedaulatan. Ingin merdeka. Dia hanya ingin berperang. Perang adalah jalan. Banyak jalan untuk mencapai tujuan. Jalan adalah garis yang dibuat dari satu titik ke titik lain. Dari satu tempat menuju suatu tempat berikutnya. Tetapi bisa juga tidak ke mana-mana, sebab suatu jalan yang panjang bisa jadi hanya berputar-putar di satu tempat.
Maka Tondi bergabung dengan pasukan. Maka gerakan ini dinamakan Perjuangan Daerah. Dan ketika Sukarno dan Hatta ditawan Belanda, pusat pemerintahan republik dipindahkan ke Bukittinggi. Dan sekarang dia harus ke Bukittinggi, membawa surat yang harus disampaiakn ke markas pemberontakan di daerah itu. Masih tanda tanya apakah ia berhasil sampai ke kota itu.
Bagian ketika Tondi melakukan perjalanan di hutan adalah bagian terbaik. Begu penunggu harajoan sombaon, hutan terlarang, pun memilih laki-laki itu sebagai perantaranya. Mistis, penuh perenungan, perjalanan reliji seorang pemuda demi menemukan jati diri, menemukan pengalaman dalam maya. Telapak tangannya terkelupas kemudian kapalan. Keringat yang membanjir setiap mengayunkan kapak yang berat, pengganti olahraga baginya, menjadikan tubuhnya kekar. Mungkin semacam bakat alam, atau mungkin karena penderitaan hidup yang tidak terelakkan dari masa kecil, seorang anak yang diabaikan ayahnya. Dia punya ayah, tapi tidak pernah mengenalnya. Karenanya tanah, batu, pokok pohon, angin, ya, alam mengasuhnya. Maka menembangi hutan hanya demi kekayaan dunia adalah perampokan.
Danau Toba seluas laut, namun airnya mustahil menjadi garam. Tondi mendapat jamuan di sebuah rumah gadang di tengah hutan. Kopi dihidangkan dalam cangkir tembikar. Kopi yang sangat harum, melebihi kopi Sidikalang. Ini adalah pengalaman gaib, sungguh keren sekali adegan saat di rumah tengah hutan ini. Semacam dalam perkampungan jin? Ataukah jiwa-jiwa yang menjamunya adalah lingkup mistis tak terkata? Mungkinkah perjalanan ini dapat menjadi ziarah bagi Tondi dari tanah Batak hingga Bonjol di selatan sana? Saya tak mau cerita detail bagian hebat ini, biar kalian penasaran. “Bulan Juli tahun Sembilan belas lima tujuh. Sekarang ini sudah tahun lima Sembilan.” Kehiduapn di tengah belantara dataran Toba itu hanya singkat tetapi telah mengambil rentang waktu yang panjang bagi manusia.
Pengalaman di kebun yang ada di pinggir hutan juga hebat. Ada semacam kebetulan di sana, tapi siapa yang tahu? Dijamu sebuah keluarga yang aneh dengan wanita langka, menikah tapi masih tetap suci. Nasibnya sebagai perempuan, diapit tidak bersanggit, ditambat tidak bertali. Dia selalu ingat ibunya setiap kali berhadapan dengan perempuan, terutama yang lebih tua. Salah satu hikayat yang unik adalah untuk menghindari korban yang sia-sia dalam peperangan, putri memilih moksa, melenyapkan tubuhnya. Dia menjelma menjadi pohon enau. Dengan menjadi pohon enau, dia bisa berguna bagi manusia.
Sebelumnya Tondi sudah pernah mengalaminya di sebuah bis saat usianya jelang enam belas tahun. Naluri perempuan mungkin selalu mendahului masa. Melampaui ruang. Bergerak dalam kepastian akan datangnya kehidupan. Habibah dan cerita gelap dalam kelabu angin malam. Bersama samsu adalah anggur cinta, arak buatan Medan. Deritan roda bis menjadi irama nafsu. Nasib baik atau jalan yang membawanya ke dunia gelap? Si bontar mata belum bisa kupadamkan.
Nah, setelah panjang lebar kucerita tentang tanah Batak, di mana letak arti judul buku? Ada di dalam pertentangan keluarga pastinya. Ayah Tondi menjadi orang berada, pergi ke tanah Jawa, tanah yang dijanjikan untuk menikah lagi. Tanpa menceraikan ibunya. Parsirangan atau perceraian. Satu kata yang sangat buruk dalam khazanah adat Batak karenanya tidak pernah terlintas dalam benak Halia. Ibunya tetap setia, memilih mengalah dengan hidup dalam keterbatasan. Sang ibu berusaha kuat. Tetapi usaha hanyalah jalan, bukanlah kenyataan tujuan yang diharapkan. Bekerja serabutan, sempat mendapat kehidupan yang lumayan Ok saat menjadi koki di sebuah rumah sakit. Begitulah kiranya dengan semakin teraturnya roda pemerintahan, ketentuan-ketentuan administrasi semakin ketat, pegawai yang buta huruf sudah lebih dulu diberhentikan. Ia tersingkir. Bagian saat ia dekat dengan orang Belanda itu sungguh keren sekali dituturkan, ia bisa jadi melayang dalam kemewahan, bisa saja menjadi kaya nan hebat, tapi darah Bataknya yang setia menolak. Biarpun bisa sekolah di Belanda, apa artinya jika seperti layang-layang putus? Meskipun berada di tanah yang indah, apa artinya jika tak dapat kembali ke asalnya? Tugas seorang ibu adalah memelihara benih, melahirkan dan menunaikan tugasnya. Lalu, apakah kenikmatan yang pernah digumulinya bersama laki-laki yang bukan suaminya adalah dosa?
Tondi hidup bersama ibunya dan kakeknya yang hebat. Orang yang dihormati, punya ilmu kanuragan. Mungkin bagian ia menjelajah hutan dalam pengalaman gaib itu adalah kemampuan turunan dari sang kakek. Seorang anak memang seharusnya meninggalkan rumah orangtuanya. Anak boru atau anak perempuan diantar ayahnya ke rumah keluarga suaminya dengan perpisahan penuh kasih. Anak laki-laki pergi sejauh mungkin, tetapi apakah dengan kepergiaan ini saling benci? Silangit pergi, bersama pande mas itu yang kembali ke pesisir timur. Tondi bangga bila disandingkan dengan kakek. Jika selama ini orang-orang di kampung mengaitkan kemiripan mukanya dengan Ompu Silangit, dia bangga. Tapi dengan laki-laki yang harus disebutnya ayah itu, dadanya serasa terimpit.
Menitipkan istri dan anak pada orangtua, biasanya bagi laki-laki yang akan berperang. Seorang laki-laki yang meninggalkan ayahnya dan anaknya, generasi di atas dan di bawahnya, tanpa duka. Ah, perpisahan yang pahit. Menolak ayah, Tondi akhirnya memang tak mengakui ayahnya yang pergi meninggalkan keluarga, pergi untuk Negara dan kehidupan lain. Apakah karena telah menganut agama baru tidak mau dekat dengan ayahnya yang masih beragam nenek moyang? Apakah agama harus memisahkan ayah dan anak, memisahkan juga tidak dapat mengartikan syair ujaran-ujaran yang diandung-kan oleh para ibu.
Ya, bagian pertengahan di hutan itu sungguh bagus. Dituturkan dengan indah, dalam gejolak. Apa pun yang dirasakan, ternyata maya. Sedang kenyataan yang berlangsung, siapa yang dapat menjelaskan? Sayangnya novel ini menjelma buruk saat Tondi di tanah rantau, lalu di masa tuanya, semua hal yang diharapkan seolah terkabul. Di mana pun adanya, bayi yang sehat akan menangis dengan lengkingan kuat. Berapa anak Tondi tanpa pernikahan? Semudah itu ‘memprogram keturunan’? Hidup ini pahit Nak, banyak harapan tak terkabul, buku dengan sweet happy ending macam gini sungguh justru malah tak bikin pembaca bahagia. Kita suka tragedi, beri kami kisah pilu, Mbah.
Pada dasarnya sama saja, masa kecilku tentu saja tak bisa membedakan Medan, Palembang, atau Padang kalau ga lihat peta. Di sana, orang di kampung itu tak bisa membedakan Solo atau Yogya. Ini adalah sebuah fakta setiap daerah yang kita tinggali. Saya punya banyak teman Batak dengan berbagai nama. Salah duanya: nama pardomu yang artinya pertemu, sahala: tuah kesaktian. Nah, yang terakhir ini adalah teman FOC – Football on Chat yang suka salaman aka judi. Ternyata artinya ‘tuah kesaktian’ pantas saja sering menang, lha sakti cuy. Ada sahala tersimpan di piso ini.
“Di mana pun, kami akan tetap jadi orang Batak.” / “Tapi Pardomutua sudah bukan orang Batak selama di onderneming.” Ah pertentangan jiwa manusia, jiwa saudara sedarah dalam menentukan pilihan hidup. Menolak Ayah adalah novel Batak dengan kerumitan tersendiri. Bagaimana dengan suku lainnya? Apakah ikatan yang kuat akan terberai jika pilihan hidup tak sama, pilihan hidup bertentangan dnegan adat? Jawabnya Ya. Apapun suku Anda, prinsipnya kalau kau tidak bisa mengangkat martabat, paling tidak jangan bikin jatuh. Selalu ingat asal usulmu.
Menolak Ayah | Oleh Ashadi Siregar | KPG 59 18 01526 | Penerbit KPG | Penyunting Christina M. Udiani | Pertama terbit, Juli 2018 | Cetakan kedua, November 2018 | Perancang sampul & Penataletak Leopold Adi Surya | vi + 434 hlm.; 13.5 x 20 cm | ISBN 978-602-424-864-2 | Skor: 3.5/5
Karawang, 180219 – 250219 – Bob Brookmeyer – Jive Hoot || 230619 – Christina Aguilera – Genie In A Bottle
#30HariMenulis #ReviewBuku #Day20 #HBDSherinaMunaf #11Juni2019 #23Juni2019 #HBDSahalaSimanjutak