“Yang paling bisa membuatku merasa lebih baik adalah melompat ke taksi dan pergi ke Tiffany’s. Tempat itu langsung menenangkanku, keheningan dan kemewahan; hal yang benar-benar buruk tidak akan mungkin menimpamu di sana, dengan pria-pria bersetelan indah itu, semerbak aroma perak dan dompet kulit buaya.”
Ini adalah jenis novel yang renyah di setiap lapisannya. Tampak seperti kisah nyata sang Penulis kala masih kere, menjalani kehidupan sebagai seorang penyendiri dalam sebuah apartemen sebagai Penulis lokal yang tak bernama, sunyi dalam perenungan mencari jati diri. Mencoba mencipta karya dengan banyak percobaan, hingga suatu ketika ada tetangga apartemen yang ternyata seorang gadis borjois, penyuka pesta yang mengubah kehidupannya. Memberinya warna, jatuh hati. Bertetangga dengan seorang artis akan membuatmu tampak layak jadi artis, maka Penulis ini berhasil mencipta cerita berdasar pengalamannya. Hingga latar belakang sang gadis pujaan diungkap. Selamat, jelas ini adalah sebuah anugerah buat Truman Capote, Breakfast At Tiffany’s adalah martir menuju ketenaran. Maka saat perpisahan, jelas ia kehilangan. “Kurasa tidak ada yang akan merindukanku. Aku tidak punya teman.” / “Aku, aku akan merindukanmu.”
Tahun 2007 atau 2008 saya pernah membacanya di kos Ruanglain_31, pinjam teman dari Jakarta. Apa kabar Uni Dien? Ga sempat mengulasnya, sehingga akhir tahun lalu ada teman yang mendonasikan buku-bukunya, saya ambil saja buku ini. Kubaca cepat, karena selain tipis, novel ini tak terlalu butuh banyak telaah. Nyaman, lezat di tiap halaman, enak sekali dinikmati.
Kisahnya seperti yang kuringkas di atas, tentang seorang penyendiri yang beruntung bisa bertetangga dengan artis. Dengan alur mundur, sebuah fakta keberadaan sang artis terkini, di Afrika? Patung, foto dan beberapa bukti mengarah ke sana. Diskusi dengan Joe Bell yang hampir tak percaya. Lalu kita diajak ke masa lalu, dengan sudut pandang orang pertama, sang aku (karakter tanpa nama) menyadari tetangga apartemennya seorang artis bernama Holly Golightly. Tengah malam itu, dia terkunci di luar karena kuncinya hilang, maka sang aku mengintip, menyaksikan Mr Yunioshi membukakan pintu komplek. Dan suatu malam, setelah beberapa kali kekesalan Mr Yunioshi, maka Holly gantian memencet bel apartemenku, meminta tolong. Dan mulailah kita saling mengenal. Awalnya hanya meminta tolong membukakan pintu, lalu menitip kucing, lalu mengajak keluar dan semakin hari semakin dekat.
Miss Holly adalah seorang penyuka pesta, tamunya ga main-main, kalangan Hollywood, para pria terkemuka, orang-orang terkenal. Sang aku otomatis keseret terkenal. Aku merasa tersanjung: bangga karena ada orang yang mengira Holly adalah kekasihku. Pesta pora, kebisingan tetangga, kegaduhan orang-orang dalam melayani malam, sungguh bertolak dengan sang aku yang pendiam. Mereka saling mengisi, Holly bercerita kehidupan artis, sang aku bercerita dunia literasi. Kegemarannya di tempat-tempat elit, salah satunya tentu makan pagi di Tiffany’s. Maka saat karyanya terbit betapa bahagianya. Langsung memberitahukan padanya. Pusing karena senang ternyata bukan sekadar ungkapan. Aku harus memberitahu seseorang; dan, melompati dua anak tangga sekaligus.
Siapa pun yang bisa memberimu kepercayaan diri, kau berutang banyak kepada mereka. Ada momen menyentuh hati, saat Holly kabur ke apartemennya dini hari, menginap dan cahaya pagi menyinari masuk jendela. Saat menyaksikan jalinan warna rambut Holly berkilauan di tengah-tengah sirat merah-kekuningan dari dedaunan, aku merasakan cinta kepadanya yang cukup untuk membuatku melupakan diriku dan keibaanku terhadap diri sendiri yang memicu rasa putus asa.
Namun fakta mengejutkan diungkap. Masa lalu Holly yang suram, suatu hari apartemen mereka didatangi seorang pria tua yang mengaku sebagai dokter, yang mengaku sebagai suaminya. Namanya bukan Holly. Dia adalah Lulamae Barnes. Dahulu. Dan kisah itupun memberi pukulan dlaam hati. “Ya ampun, Honey. Apa mereka tidak memberimu makan di sini? Kau kurus sekali. Seperti saat aku pertama kali melihatmu. Matamu cekung sekali.” Adegan ini sempat membuatku senyum kecut, gadis kan memang sengaja diet, bukan karena kurang makan. Ah orang tua. Aku memercayainya. Cerita itu terlalu masuk akal untuk dijadikan tipuan. Tapi, sungguh, aku sudah menghitung semalam dan aku hanya punya sebelas pacar – tidak termasuk apa pun yang terjadi sebelum aku berumur tiga belas tahun karena, yah, itu tidak layak dihitung. Sebelas. Apa itu menjadikanku pelacur? Tapi jujur kepada dirimu sendiri. Jadilah apa pun kecuali pengecut, seorang munafik, seorang penipu emosi, seorang pelacur: aku lebih memilih penyakit kanker daripada hati penipu.
“Jangan pernah jatuh cinta kepada makhluk liar Mr. Bell.” Kau tak boleh memberikan hatimu pada makhluk liar: semakin banyak yang kauberikan kepada mereka, semakin kuat pulalah mereka. Jika kau membiarkan dirimu jatuh cinta pada makhluk liar, kau akan berakhir dengan mendongak menatap langit. Jika Holly bisa menikahi ‘fetus absurd’ itu, maka pasukan militer mana pun dari seluruh dunia ini sangat mungkin menyeretku.
Aku senang. Aku ingin punya paling tidak Sembilan anak. Beberapa bagian memang tampak melankolis, seperti cita-cita Holly yang sederhana. Masa mengubahnya. Kekesalan masa remajanya. “Aku sudah bilang, pernikahan itu tidak sah. Tidak mungkin sah.” Ceritanya tentang keagungan perhiasan. Mengenai berlian sebelum berumur empat puluh tahun adalah sesuatu yang kampungan, bahkan beresiko. Curhatannya tentang rencana pernikahannya dengan artis. Seandainya aku diberi kebebasan untuk memilih di antara semua orang yang hidup di dunia ini, hanya perlu menjentikkan jari dan berkata datanglah kamu, aku tak akan memilih Jose. Sampai topeng keglamoran kalangan jetset. Sebagian dari mereka mungkin berlidah jujur, tapi mereka semua berhati penipu.
Ada pertemuan, ada perpisahan. Holly sudah memutuskan. Aku duduk di ranjang Holly, memeluk kucing Holly, dan merasa sedih untuk Holly, hingga seluruh partikel terkecilnya, seperti yang dapat dirasakannya sendiri. Kami bertemu di pinggir sungai suatu hari; begitu saja. Bebas merdeka, kami berdua. Kami tidak pernah menjanjikan apapun. Kami tidak pernah. Hari-hari bersama Holly yang riuh akhirnya menjadi masa lalu juga. Bagaimana bisa mereka mengira telah menghancurkan hati kami jika sepanjang waktu, kami menginginkan mereka pergi. Kutegaskan kepadamu, kami sedang menertawakan hal ini saat kesedihan itu datang.
Pada akhirnya sang aku harus ‘mengakui’, kisah ini disamarkan. Aku harus melindungi keluargaku dan namaku, dan jika menyangkut kedua hal itu, aku menjadi seorang pengecut. Rumah adalah tempat kau merasa di rumah, dan aku masih mencari tempat itu.
Novel ini mengangkat nama sang Penulis. Diangkat ke layar lebar dengan bintang besar di masanya: Audrey Hepburn, menjadikannya nominasi Best Actress Oscar tahun 1961. Awalnya Capote ingin Marilyn Moonroe tapi justru Hepburn yang dapat peran Holly. Beberapa adegan jadi ikonik, seperti Hepburn memegang pipa rokok panjang dengan gaun pesta. Luar biasa memang, kita tak pernah tahu karya mana yang akhirnya bisa melambungkan nama seorang Penulis.
Tak seperti In Cold Blood yang kontroversial karena pembunuhan satu keluarga berdasar kisah nyata itu tampak mengerikan, Breakfast At Tiffany’s dibuat dengan warna-warni ceria. Novel ini menginspirasi banyak hal karena pengaruh pop culture, salah satu yang terkenal adalah musisi asal Texas bernama Deep Blue Something yang merilis lagu berjudul Breakfast At Tiffany’s dalam album Home tahun 1996.
Wuthering Heights. Aku mengucap “Oh” dengan kelegaan yang terdengar jelas, “oh” dengan peningkatan intonasi yang memalukan, “filmnya.”
Breakfast At Tiffany’s | By Truman Capote | copyright 1958 | Pengiun Books, Middlesex, 1961 | Diterjemahkan dari Breakfast At Tiffany’s | Penerbit Serambi | Penerjemah Berliani M. Nugrahani | Penyunting Anton Kurnia | Pemeriksa aksara Daniel Sahuleka | Pewajah isi Siti Qomariyah | Cetakan kedua, Maret 2009 | ISGBN 978-979-024-107-7 | Skor: 5/5
Karawang, 230619 – Roxette – Wish I Could Fly
#30HariMenulis #ReviewBuku #Day19 #HBDSherinaMunaf #11Juni2019
Thank’s to Anne Hyde atas tiga bukunya.
Ping balik: 110 Buku Yang Kubaca 2019 | Lazione Budy
Ping balik: In Cold Blood – Truman Capote | Lazione Budy