Kawitan #12

Sebatang pohon ara, empat pina, tiga pohon abu / Inilah kuil taman puingmu

Segala yang silam, dirimu yang lalu / terperangkap dalam liang gua / pada sebuah buku yang terbuka di perpustakaan / Dulu pernah ada semak buah beri / di mana seekor musang menyelinap / bersembunyi dari tangan mungil sang waktu / tubuhnya ringan menyelusup / jauh hingga ke pucuk bayang sehelai daun / Dan pada pukul enam sore / semuanya lingkap bagai kata-katamu / bagai cahaya di belantara raya / tersamar pekik liar burung-burung malam

Sebelum dini hari di bawah mimpi pohon kastanye / siapa dari kalian yang menyamar bajak laut Arabia / menghunus belati kayu, membuka semua pintu / mencari jalan rahasia menuju dongeng yang lain:
Kisah tentang sebuah kota di mana benda-benda / selalu bercerita dari mana muasal mereka / sebelum agama melenakan mereka / bahkan sebelum tuhan ada

Atau tentang benua yang perlahan tenggelam / dan orang-orang terlambat menuliskan namanya di sana / Tapi seekor kucing yang lelap di teras rumah / sekilas tampak terjaga, memandang kalian / mengeong seakan tengah mengigau / Cakarnya yang tumpul / tadinya membias cahaya bulan yang entah
Kini tak ada ayunan di kuil taman puingmu / tak ada sarang burung yang terjatuh / menyimpan telur-telur yang sebentar akan menetas
Dan pada buku ini, di perpustakaan ini / gambar-gambar masa lalu / telah kabur warnanya

Saya nukilkan judul terbaik dalam buku ini, berjudul ‘Kuil Taman
Menikmati puisi masih menjadi hal yang sulit bagiku. Masih kurasakan hal yang sama dari satu bait ke bait lain, kumpulan puisi yang kupilihpun tak sembarangan, rata-rata menjadi pemenang atau kandidat dalam Kusala Sastra Khatulistiwa pun Dewan Kesenian Jakarta. Kawitan dan rangkaian panjang yang kucoba hirup tiap katanya.

Seperti janjiku, tahun ini saya akan menikmati 12 buku kumpualn puisi. Buku kedua, buku bulan Februari. Buku ini kubeli Selasa lalu (12/2/19) di Gramedia Karawang bersama May dan Hermione sembari beli sampul buku dan pop toy dan refreshing, kubaca kilat Kamis (14/2/19) pulang kerja. Ga sampai satu jam selesai. Dibaca nyaring, lirih, dan beberap berulang sekalipun di ruang meeting Priority kantor.

Ada dua bagian: pertama Muhibah Tanah Jauh, kedua Kampung Halaman. Buku ini dihimpun dari berbagai sumber media massa dari tahun 2007 dalam ‘Naga Banda’ di Bali Post sampai tahun 2016 dalam ‘Doa Puisi’ di Harian Indo Post, yang membuktikan sang penyair sudah sangat berpengalaman, bahkan di sampul ada stempel ‘Pemenang II Sayembaya Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015’.

Saya selalu kesulitan mengulas puisi euy, narasinya tak runut sehingga saya tak tahu mana awal mana ujung, cerita yang dituturkan acak, random seolah ngasal, maka saya mending nukil yang menurutku menarik ya lalu sedikit berkomentar. Saya ketik dalam dua kali kesempatan duduk, pada 16 Februari sempat mengendap di folder, saya selesaikan 16 Juni hari ini, sore hari bersama serangkaian musik jazz. Sekalian saya masukkan dalam event tahunan saja.

Dalam puisi ‘Tanah Baru Di Adiwena’ ada bait yang bagus: Seekor laba-laba merambati bebatuan / Kumbang bercinta di sela wangi hujan dini hari / Dan kadal tak jemu memanggil-manggil / Kadal-kadal kecil yang lain. | Sebab adanya waktu, bagaimana dirayakan / Adanya yang tiada, bagaimana lagi mesti dilupakan?

Bagian yang kuanggap bagus adalah bait bercinta di sela wangi hujan dini hari. Laba-laba, kumbang, kadal, para binatang itu merayakan pagi dengan meriah!

Dalam judul ‘Perpustakaan Kampus’ kutemukan: Di dalam tidur diam-diam jiwaku meminta. Berdoa / Mengikat janji pada maut / agar abadi dalam dunia fana ini / Aku berjalan dari rumah ke rumah / Di sana tak ada ibu yang menunggu menyambutku / Bagai anak hilang abai tak pulang / aku berharap bisa mengembara | Mendayung sampan di hutan-hutan.

Bagian mendayung sampan di hutan-hutan menurutku unik, kita tahu maksudnya adalah mendayung di sungai yang mengalir membelah hutan, tapi dalam baitnya kita malah disodori langsung tanpa detail. Ibarat bilang mengusap air di pipi, tanpa keterangan itukah air mata?

Dalam judul ‘Aku dan Jiwaku’ menawarkan absurditas di mana fisik dan jiwa adalah dua entitas yang saling bersapa: Aku dan jiwaku berbaring berdampingan / kami telanjang | bagai dua kanak remaja / Kami saling menatap / seolah lama tak jumpa.

Di judul ‘Rumah Jean’ mari kita kutip: Apa yang dipikirkan pohon-pohon ketika tiba musim gugur; / Maut yang pias di wajah ibu atau nujuman masa depan yang tersamar kabu? | Apa yang dibayangkan pohon-pohon ketika melihat dahannya yang hijau / sarang kecil seekor pelatuk yang kuyup oleh hujan / atau lenguh kerbau di padang luas?

Menjadikan tumbuhan berpikir dan bisa membayangkan keadaan sekitar, menjadikan mereka makhluk hidup yang mengamati sekeliling, menjadikan hidup yang hidup dengan nalar dan perasaan.

Judul ‘Bunga Untuk Sitor’ ada bagian: Apakah bisa wangi dupa / mengantarkan doa-doa kepada para dewa? | Apakah bisa seorang ibu demam semalaman / terbaring di ranjang / seketika tersembuhkan / oleh sentuhan tangan tuhan?

Ga perlu diperdebatkan sih, wangi dupa sebagai sarana ibadah, sarana reliji tapi kurasa disini mereka seolah hidup sehingga bisa jadi tukang pos doa untuk para dewa. Walau sang penyair malah menambah tanda tanya(?). Mereka dicipta dengan api, melayangkan asap mistis dan menyentuh hati malaikat demi kesembuhan orang terkasih.

Sebatang pohon ara, empat pina / tiga pohon abu / Inilah kuil taman puingmu | segala yang silam, dirimu yang lalu / terperangkap dalam liang gua / pada sebuah buku yang terbuka / di perpustakaanmu.

Bait ini ada di pembuka judul ‘Kuil Taman’ yang menarik adalah menjadikan buku terbuka sebagai perangkap, menjadikan gua, puing yang berserak menyambut para makhluk. Lalu di judul yang sama terdapat bait bagus, mungkin malahan menurutku paling bagus: Kisah tentang sebuah kota di mana benda-benda / sellau bercerita dari mana muasal mereka / sebelum agama melenakan mereka / bahkan sebelum tuhan ada.

Nah, kota yang sangat tua yang mencipta segalanya, sebelum agama dan tuhan turut!

Satu lagi, dalam judul ‘Matoa’: Kubayangkan matoa yang ini / Terusir dari tanah leluhur / Cuma berkawan membagi hidup / Bersama segugusan pakis dan rumput | yang pelan-pelan melayu / melapuk jadi rabuk akar dahan / lalu tumbuh kembali / sebagai pakis dan rumput yang lain / yang tak dikenalinya.

Suka bagian dalam pelan-pelan melayu, melapuk jadi rabuk yang nantinya akan bangkit, seolah semua siklus ini, siklus hidup mati adalah tarikan napas, bukan takdir alam yang perlu dipikirkan.

Demikian ulasan singkat dariku, sangat menanti respon kalian para penyair, para pengunjung setia blog, para penyuka puisi untuk memberi masukan. Cara menikmatinya, cara mengulasnya, cara benar-benar merasuki keindahan rima dan bait.

Sungguh sajak adalah barang mewah yang sulit kujangkau, sulit kubenamkan dalam kepala sehingga menyatu sukma.

Kawitan | Oleh Ni Made Purnama Sari | GM 616202022 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Copyright 2016 | Ilustrasi sampul Natisa Jones | Setter Nur Wulan Dari | ISBN 978-602-03-2788-4 | Skor: 3.5/5

Karawang, 160219 – Sherina Munaf – Primadona || 160619 – Dave’s True Story – Ned’s Big Dutch Wife

#Day12 #30HariMenulis #ReviewBuku
#HBDSherinaMunaf #11Juni2019

Klop #11

Artiku tidak bergantung dari kehadiranku, tetapi pada cintaku dan cinta yang diberikan kepadaku yang tak akan pernah tak hadir. Karenanya, sekali menyalakan rumah ini, nyala itu akan tetap tak akan padam. Tak hadir pun aku tetap berarti. Aku ada, Ibu. Tak hanya kehadiran, ketidakhadiran juga membangkitan kehidupan, semuanya berguna apabila dilakukan dnegan tulus. Kini aku tahu, karena itulah kau tersenyum dan bahagia memandangku.”

Kumpulan cerita pendek yang kupinjam dari Bus Taka Taman Kota, Galuh Mas Karawang. Berisi 20 cerita dengan tema nyeneh.

#1. Mayat
Cerita absurd. Dibuka dengan baik, mengenai curhatan mayat yang jadi pergunjingan masyarakat. Mayat yang jadi bahan berita, menjadi cerita, menjadi sensai khalayak. Maka iapun protes, ke media ia mengetuk pintu menyampaikan keprihatinan. Di meja redaksi iapun berjam-jam mencurahkan tuntutan, komputer yang oenuh kata-kata kotor. Moral, asusila, tata krama, budi pekerti, kepatutan, hukum, bahkan tak urung agama, apalagi kemanusiaanyang dikibarkan selama ini, ternyata hanya sebuah koteka, untuk membungkus kebiadapan. “Semuanya busuk.” Lalu sang mayat berbincang dengan penjaga malam yang bergaji tiga puluh rupiah yang berarti hanya seperak sehari. Cukup? Itu juga dianggap sudah terlalu banyak. Wah!

Saya sudah terbiasa tidak dipercayai. Saya tidak tersinggung atau sakit hati. Dipercaya atau tidak, memang beginilah saya. Saya mayat yang harus hidup. Harus. Saya tidak boleh istirahat. Mati pun saya tetap harus bertugas.”

#2. Jenderal
Menjadi militer tidak berarti harus memakai seragam militer dan masuk Akademi Militer. Ini adalah nasehat seorang ayah kepada anaknya untuk menjadi bagian dalam militer, menjadi orang penting dalam ketentaraan. Sayangnya, sang anak menolak, ia malah mendirikan partai politik. Sang jenderal pengsiunan kecewa. Kaulah pemilik hidupmu, bukan aku. Aku hanya sebuah sejarah yang boleh kamu lupakan kalau kamu anggap tak berguna. Lalu konspirasi tercipta.

Putraku, maafkan aku, kau akan ditembak di atas podium, sesudah kamu selesai mengucapkan perintah partaimu untuk kompromi pada penguasa zalim…” dan twist!

Mungkin ini cerpen terbaik dalam daftar.

#3. Merdeka
Selamat datang di dunia. Selamat datang di Indonesia, anakku.” Seorang anak lelaki lahir tepat di HUT proklamasi kemerdekaan Indonesia. Maka iapun bernama Merdeka. Tumbuh menjadi anak pemberani, penuh tanya, pemberontak, sekaligus tukang kritik. Ia dikeluarkan dari sekolah. Ketika teman-temannya memegang ijazah, ia memegang pengetahuan. “Aku tidak hidup untuk mencari uang. Aku cari uang untuk hidup.” Mantab! Basmi korupsi, Nak. Banyak hal mengesalkan memang menjadi merdeka, maka atas saran dukun ia berniat ganti nama. Kamu tidak ingin menjadi merdeka?

Apa kamu kira Merdeka itu bebas dari kesialan? Apa kamu kira Merdeka berarti mendadak jadi kaya dan bahagia? Kamu memang goblok! Merdeka berarti beban. Selangit beban di atas pundakmu sendirian. Merdeka berarti penderitaan. Merdeka adalah sejuta kesengsaraan yang tak putus-putusnya. Merdeka berarti kamu jalan sendirian, kamu tidak punya tuan dan majikan yang akan menolongmu kalau celaka. Merdeka berarti kamu harus menghadapi keperihan, kesengsaraan, nasib busuk itu sendiri. Merdeka itu sakit. Sakit yang mahabesar. Tetapi kamu harus bangga kamu yang terpilih untuk memikulnya. Kamu dianggap mampu dan percaya. Kamu hidup.

#4. Kartini
Dalam kereta api yang salah jurusan saya bertemu dengan wanita (yang mirip sekali) Raden Ajeng Kartini, saya mulai bersapa. Berdiskusi fiktif panjang lebar mengenai kebaya dan kebiasaan dan beberapa hal yang ingin kita tahu. Maka saat Kartini mengelap bibirnya yang bergincu dengan tisu, maka sang aku meminta tisu itu, disimpan buat kenang-kenangan. Lalu saat sang Kartini ke toilet dan berganti pakaian ala wanita zaman now, sang aku terkejut. Betapa drastisnya penampilan seseorang hanya dnegan berganti pakaian. Ibu Kartini itu sebuah konsep perjuangan kebebasan dan kesetaraan perempuan, bukan kostum. Bukan kostum yang membuat perempuan menjadi Kartini, tapi cita-cita. Kartini itu konsep bukan aksesoris.

#5. Mawar
(buat Mbak Kun)

Apa yang sudah terjadi memang tak mudah, tetapi dengan hati yang terbuka, ternyata masih ada celah untuk mengubah. “Mungkin Tuhan telah mengunjungi rumah kita atau memandang kita dari kejauhan. Pandangan-Nya saja sudah membuat damai kembali menghangati rumah ini. Aku tak pernah merasa sehat seperti ini. Apa yang lebih indah dari damai?”

Bunga mawar yang dibawa ke dalam ruang rumah sakit bisa membuat ceria si sakit, bunag mawar yang sudah layu dibuang di tempat sampah dan mengeluh betapa ia kini tak guna. “Aku jadi takut berharap, aku jadi takut merasa senang, aku jadi tak berani mengalami perubahan. Karena kau tahu semuanya sudah ditetapkan…” Yah, inilah hidup selalu ada akhir, tak ada yang abadi.
Ia begitu mencintai kehidupan. Sementara kita yang masih memilikinya untuk sementara, telah begitu melalaikannya.

#6. Y2K
Perang sudah berakhir. Semua pulang. Seluruh keluarga menunggu di beranda. Kisah apa yang dibawakan dari medan tempur. “Di hati ibu kau selalu seorang pahlawan.”

Setiap perkiraan adalah rencana. Mereka menunggu snag putra tiba, tetapi tak kunjung datang. Malah, yang hadir adalah sahabat putra mereka yang membawa sebuah titipan. Kabar sedih yang dibawanya membuat remuk redam, tentunya.

#7. Konsep
Pohon yang ditaman Goen itu berusia 100 tahun. Mereka menua bersama, sang pohon sampai menegur, “Lho empat puluh tahun lalu pada ulang tahunmu ke 60 kamu bilang kamu tak akan bisa hadir hari ini, ternyata kamu masih di sini.”

Mereka bedialog banyak hal, tentang hidup, tentang masa lalu dan rencana-rencana hidup. Kamu hanya pohon, bukan gagasan. “Ya, aku hanya sebuah konsep.”

#8. Surat Kepada Setan
Di hari kemerdekaan yang meriah, di desa yang semarak, di kota pagi itu masih terlelap. “Apa kibaran bendera satu hari bisa mengubah kebrengsekan yang sudah berkerak puluhan tahun?” Di usia 60 tahun, manusia tentunya sudah dianggap tua. Bagaimana dengan sebuah negara? Ketika hal-hal buruk terjadi, setanlah yang disalahkan. Kok bisa? “Ya Tuhan, ini kenapa jadi begini, aku bukan setan, aku bukan setan, aku bukan setaaaannnn! Aku bukan setan…,” kata setan.

#9. Setan
Ada setan yang ingin berhenti jadi setan. Alasannya jelas, karena citra negatif. Protes setan itu berkelanjutan dan panjang, beberapa kesalahan manusia dibicarakan, banyak yang ditimpakan karena godaan setan. Namun setelah berapa lam, setan bertanya, ia berbicara dengan siapa? Tuhan? Bukan. Dirimu sendiri! Jadi setan mau jadi manusia? Hhmm… “Ya, sudah! Aku memang manusia, asal rezekiku tetap setan.”

#10. Siapa
Ada orang menuju gedung MPR, ia bukan siapa-siapa, hanya warga negara abu-abu. Ditanya petugas, ia gamang, ketemu mahasiswa malah diajak gabung, lumayan nambah satu suara, sebenarnya sedang Sidang Istimewa macam apa ini? Tuhan, siapakah aku sebenarnya, siapa sebetulnya mereka?

#11. Kroco
Ngomongin ekonomi, mengenai mata uang rupiah yang naik turun, mengenai politik, sungguh tak menyenangkan. Selalu muncul pro-kontra yang panas. Kroco yang hanya rakyat ngeri, panik, dan jadi bulan-bulanan berita kanan-kiri. “Mengapa para ahli itu tidka bicara dengan ahli yang lain saja? Mengapa mereka menakut-takuti kita yang tak berdaya…”

#12. Soempah Pemoeda
Benarkah soempah pemoeda sudah dilupakan? Tentu saja tidak. Ami yang jadi panitia acara sungguh bisa menghapal, mengucapkan dengan lantang. Pak Amat dan bu Amat bangga, tapi nanti dulu. Bisa mnegucapkan dengan jelas bukan berarti bisa mengaplikasikannyakan?!

#13. KTP
Kisah lucu nan aneh di dalam bus yang melaju, seorang bapak yang tak mau duduk memegang kopor, dipaksa duduk malah mengatakan bawa bom. Penumpang pada panik. Tentu saja kekacauanlah yang tercipta, entah siapa yang memulai, ia ditarik di tengah, disiram bensin dan dibakar. KTP yang tercecer diambil seseorang, waktu diantarkan ke alamatnya kau terkejut karena wajahnya mirip dan seluruh identitasnya adalah identitas yang juga tertera di KTP-mu.

#14. Raja
Sebuah kerajaan dengan segala hiruk pikuknya. Beras menjadi komoditi panas, menjadi penentu kestabilan sebuah negara. Berat laiknya nyawa yang harus dilindungi. Hanya pedagang beras yang menjadi begitu sibuk, dipuja kala bagus dicaci kala rendah. “Jadi jangan salahkan apa yang sudah aku lakukan selama ini...” baginda Raja merenggutkan kembali jubauhnya dari mayat pedagang beras, langsung memakainya kembali.

#15. Kursi
Kursi tua yang jadi rebutan. Ini adalah cerita pengumpamaan yang aneh. Kuris itu jadi sengketa, rebutan anggota keluarga, sampai-sampai ada tetangga yang mencurinya. Heran, kursi yang dibeli di pasar loak jadi rebutan. Kakek-nenek itupun heran kursi di gudang berbuah baru, dan kematian mereka beserta hilangnya kursi menjadi berita hangat, lalu kuris itupun berkelana.

#16. Damai
Barangkali ketentraman ini hanya sebuah lamunan. Walau hanya mimpi, kecantikan itu tetap saja terjamah. Padang penuh bunga, angin semilir, suasana hangat, air sungai yang mengalir tenang, bak surga. Damai. Demi mencapai hal semacam itu maka perang dikobarkan. Perang untuk damai, damai hanya mungkin lewat perang. ahh… idiom yang terus didengungkan umat.

#17. Kembali
Berita ramalan yang mengatakan Indonesia akan ditimpa bencana, apa ini yang disebut kiamat? Segala hal buruk didengungkan, hal-hal pahit diapungkan, kewaspadaan dicipta untuk rakyat. PHK di mana-mana, beberapa wilayah coba melepaskan diri. Itu adalah prediksi tahun baru, akankah terwujud? Tahun Baru heran, kan belum datang kenapa kalian panik semua?

#18. Indonesia
Apakah kamu bangga berbangsa Indonesia?” Pertanyaan ini patut disampaikan kepada kita semua. Ada yang menjawab tidak, dan si diapun dikejar wartawan, mengapa? Lalu konspirasi dicipta, karena ia tak bangga menjadi warga RI semua dipersulit. Semua memunggunginya, semua memusuhinya. Ratusan warga Indonesia melawannya. Benarkah mereka benar-benar bangga berbangsa Indonesia?

#19. Nyahok
Orang berpakaian putih-putih. Kontan mereka menuduhku menyebarkan agama baru. Ini cerita tentang dunia kerja yang slaing silang, kepercayaan jadi barang mahal dan etos kerja jadi tuhan yang harus ditaati. Kantor redaksi yang menyatroni berita. “Tunggu!”

#20. Kutu
Isu pemberantasan KKN sudah ada sejak reformasi dimunculkan. Politik jadi seru setelah banyak hal diungkap ke publik. Saling tuduh, saling sikat adalah hal bias adalam politik. Menyingkirkan kutu busuk lawan jadi lumrah. “Seorang pahlawan lagi telah gugur hari ini…” adalah kalimat retorika, karena dialah dalang pembunuhnya, menyingkirkan dari persaingan. “Kita selenggarakan upacara penbuburan besar dan khidmat hari ini, seperti ada seorang nabi yang sudah pergi…”

Semua tindakan dan segala macam akal untuk membuat kita bertambah dekat lagi pada kekuasaan adalah sah!

Klop | Oleh Putu Wijaya | Cetakan pertama, Mei 2010 | Penyunting Dhewiberta | Perancang sampul Windu | Pemeriksa aksara Titis | Penata aksara Gabriel | Foto penulis Prio | Penerbit Bentang | viii + 236 hlm.; 20,5 cm | ISBN 978-979-1227-93-3 | Skor: 4/5

Buat istriku Dewi Pramunawati, dan anakku Taksu Wijaya pada saat pernikahan perak 07-04-10 | Bahagia bila istri tersenyum, anak tertawa, tetangga menyapa, manusia bersaudara, kehidupan sejahtera, alam terpelihara

Karawang, 160619 – Glee – Call Me Maybe

#Day11 #30HariMenulis #ReviewBuku
#HBDSherinaMunaf #11Juni2019

Di Bawah Lindungan Ka’bah #10

Akan aku pikul rahasia itu jika engkau percaya padaku, setelah itu saya kunci pintunya erat-erat, kunci itu akan saya lemparkan jauh-jauh, sehingga seorang pun tidak dapat mengambilnya ke dalam hatiku.

Buku sangat tipis. Kubaca sekali duduk semalam (15/06/19), malam minggu sendirian tak butuh waktu sejam juga selesai. Kalau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck konfliknya lebih rumit dan variasi, Di Bawah hanya satu permasalahan utamanya. Roman kasih tak sampai. Mirip sih, tapi ga serumit Tenggelamnya. Dengan setting tahun 1920an, di mana transpotasi masih begitu minim, komunikasi jarak jauh hanya mengandalkan surat dan telegram, dan adat istiadat timur yang masih sangat dijunjung, hal-hal semacam ini sudah punah saat ini.

Kita ada di era millenium, era digital. Kita hanya butuh beberapa detik untuk tahu kabar di Arab, kita hanya butuh ketik di gawai untuk mengirim kabar di ujung dunia Barat, kita hanya perlu teknologi mahir guna bersapa dengan orang-orang yang berjauhan, niscaya kisah cinta tragis Di Bawah tak perlu terjadi. Ini roman di era Indonesia belum merdeka, dengan segala kesederhanaannya.

Tata bahasanya halus, sastra klasik Indonesia yang sangat indah. Kosakata dipilih dan dipilah dengan ketelitian yang bagi generasi milenial mungkin agak janggal, plotnya mungkin ketebak, mengingat setting tempat dan alurnya mirip sekali dengan Tenggelamnya. Saya sih salut cara berceritanya, mengingatkanku pada buku-buku sains H.G. Wells di mana kisah dalam kisah, lalu diceritakan dengan cara seolah menukil kisah orang, padahal kita tahu ini cerita berdasarkan kehidupan sang Penulis dengan bumbu fantasi.

Dibuka dengan surat dari Mesir, surat dari sahabat yang mengabarkan keadaan, menyampaikan kondisi terkini dan keinginan untuk mengirim naskah sebuah kisah yang dulu pernah dilewati bersama kala di Arab Saudi, di bawah lindungan Ka’bah. “… orang yang tiada berhati-hati mengayuh perahu, memegang kemudi dan menjaga layar, karamlah ia digulung oleh ombak dan gelombang, hilang di tengah-tengah samudera yang luas itu…”

Settingnya berlapis. Pertama dari Mesir, kedua dari Mekkah, ketiga di sebuah kampung di Sumatra dan keempat di tanah rantau di Padang Panjang. Maka setelah prolog, bab pertama waktu ditarik ke era tahun 1927 di Mekkah. Indonesia di bawah kolonial mengirim jamaah haji dengan rekor tertinggi, dengan kapal Karimata sang aku menjadi salah satu umat yang beruntung itu, mereka bertolak dari pelabuhan Belawan, empat belas hari terkatung di lautan, sampailah di pelabuhan Jeddah di tepi laut Merah, dua hari kemudian mereka sampai di tanah suci Mekkah.

Selama di Mekkah sang aku bermukim di seorang syekh yang memang menampung jamaah haji. Di sanalah sang aku berkenalan dengan pemuda Indonesia yang pendiam, tampak muram, khusuk dalam berdzikir, wajahnya lebih sering sedih ketimbang ceria. Prasangka aku bahwa di tanah suci semua orang bahagia jelas salah, maka mereka saling bertukar cerita. Di atas sutuh (atap) rumah Arab yang berbentuk kubah itulah kita lagi-lagi diajak kembali ke masa lalu. Masa sang pemuda bernama Hamid itu menjalani masa kecil.

Di usia empat tahun Hamid menjadi yatim, ia terlahir miskin, maka untuk membantu ekonomi ibunya, ia membantu jualan keliling panganan, gorengan. Rumah di sampingnya adalah rumah kosong milik orang Belanda yang dijual karena pulang ke negerinya, suatu hari rumah yang dijaga tukang kebun (di sini ditulis jongos tua) Pak Paiman itu ada pembeli, direnov lalu ditempati orang lokal kaya bernama Engku Haji Ja’far, istrinya Mak Asiah suatu hari membeli gorengan Hamid, berkenalan dan meminta ibunya berkunjung sore itu. Singkatnya, Hamid kini ikut sekolah, biaya ditanggung Pak haji, bareng sama anak tunggal mereka Zainab yang usianya terpaut sedikit. Mereka mengarungi waktu bersama, sekolah di HIS (Hollands Inlandsche School) lanjut ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Wajar sekali, mereka saling mencinta, walau sudah dianggap saudara sendiri, kakak-adik era kolonial tak beda dengan sekarang. Ada benih asmara di dalamnya.

Bedanya, setelah lulus MULO, anak perempuan tak melanjutkan pendidikan, ia akan dikurung di rumah, dipingit, didatangkan guru guna mendapat ketrampilan dan budi pekerti, statusnya hanya menanti calon suami, ia dikurung, hanya mendekam dalam rumah. Sementara Hamid lanjut sekolah ke Pandang Panjang, mengambil ilmu agama. Dan sejauh manapun ia pergi, hatinya terpaut ke hati Zainab. Kunjungan pakansi, liburan ke rumah selalu istimewa saat ketemu pujaan hati.

Konflik pertama dimunculkan kala pak haji Ja’far meninggal dunia, tak lama berselang ibunya sakit keras dan dalam keadaan sekarat ia berpesan untuk menjaga hati, tahu diri, mereka dari keluarga miskin, ibunya tahu Hamid jatuh cinta pada Zainab tapi memintanya untuk memendam, derajat mereka beda, mereka adalah kaum jelata yang hanya beruntung bisa sekolah. Dan ketika ibunya meninggal, sebatang karalah ia sekarang.

Sampai di sini sejatinya pembaca bisa menebak cinta Hamid tak bertepuk sebelah tangan, hanya ia tak punya nyali, terbentur kondisi, terkena tradisi, tak berani melawan adat. Maka dipendam terus, tak berani diungkap. Waktu berjalan, ia coba melupakan, ia coba mengikhlaskan. Maka suatu hari saat Hamid bertemu bu Asiah, ia diminta ke rumahnya. Saat berkunjung disambut Zainab dengan berbunga, bagian inilah yang terbaik. Sempat terbetik asa, mereka akan saling mengucap cinta, saling terbuka mengutarkan hati, naas, ibunya pulang, ibunya keburu sampai rumah. Zainab diminta buat tiga gelas kopi, nah selama di dapur itulah maksud meminta kedatangannya dituturkan. Remuk redam hati pemuda itu, ia diminta meyakinkan Zainab untuk menikahi saudara ayahnya, karena ia yatim maka Hamid diminta mewakili keluarga. Duuuh… kamvret banget bagian ini. Bayangkan, diminta menjadi wakil orang lain mengungkap maksud lamaran kepada gadis pujaan! Gilax. Dan Hamid dengan hati yang perih dan pedih bisa, walau sakit, sakit sekali kawan. Pemuda gagah dengan nyali ciut ini lalu pergi jauh. Merantau tak terkendali, menjadi petualang karena cintanya yang kandas sebelum disampaikan.

Ia menulis surat cinta, surat perpisahan kepada Zainab bahwa ia cinta, ia sayang, ia akan merindu, maka ia pergi jauh. Ingat ya sampai di sini, Zainab tak diberi kesempatan menjawab, sejatinya agak konyol juga kenapa ga menyampaikan langsung saat bisa, kenapa ga dinanti dulu repsonnya. Ah cinta dekade pasca Perang Dunia Pertama, siapa yang tahu hati manusia? Hamid lalu melalangbuana ke berbagai negara, menelusur peta dan sampaikan ia di Arab, menjadi penghuni rumah syekh yang kita kenal di awal. Dan sampailllah kita di masa kini.

Bertemu Saleh, rekan belajar di Padanag Panjang yang akan melanjutkan studi ke Mesir, ia menyampaikan kabar dari kampung yang muram, istrinya yang sahabat Zainab itu lalu membuka fakta-demi-fakta. Duh sungguh gila, cinta mereka. Murni tanpa cela, akankah mereka bisa bersatu?

Cerita cinta di era lalu yang tanpa teknologi digital, sungguh menggugah. Saya jadi ingat pula Romeo + Juliet, bagaimana mereka mengakhiri cerita dengan tragis karena terjadi salah komunikasi. Begitu pula cerita pilu cinta dalam Bumi Manusia yang menampar pembaca di akhir. Dunia memang seperti ini, cerita cinta akan selalu dibuat dengan latar sesuai budaya dan era masing-masing. Di era sekarang-pun masih banyak kasih tak sampai, sekalipun sudah mudah dalam komunikasi, tetap saja hati orang siapa yang tahu?

Wahai anak, dari susunan katamu itu telah dapat ibu membuktikan bahwa engkau diserang penyakit cinta. Takut akan kena cinta, itulah dua sifat dari cinta…

Di Bawah Lindungan Ka’bah | Oleh HAMKA | Penerbit Bulang Bintang | Cetakan ke-32 | Rabi’ul Akhir 1433 H / Maret 2012 | 72 hlm.; 21 cm | ISBN 979-418-063-7 | Skor: 4/5

Karawang, 160619 – The Adams – Lega

#Day10 #30HariMenulis #ReviewBuku
#HBDSherinaMunaf #11Juni2019