Sherina Munaf Dan Segala Kegilaan Yang Tercipta

Huaaa… Terima kasih ucapan ultahnya. Takut ketuker gak itu chat-chatnya.”

11 Juni 2019. Setelah menjadi Sherina Lover sejak 1999 akhirnya saya di-notif sama Sherina Munaf. Untung getar twit tanda itu sore hari, jadi gemetar tanganku, hilang konsentrasiku, lemes itu seusai jam kerja. Orgasme. Saya langsung tak bisa fokus. Sore ini sepulang kerja rencananya mau nulis blog review buku dalam event #30HariMenulis, saya sudah ketinggalan kereta, karena mudik kemarin, ini hari kesebelas, saya baru review buku enam. Buku ketujuh yang mau kuulas adalah ‘Matahari Dan Baja’ karya Yukio Mishima. Draf awal baru kuketik, sampai di bagian identitas buku. Lalu karena ruang HRGA di lantai dasar, dan beberapa teman kantor dari lantai satu mampir ke ruangan, salaman, say hay, sampai ngobrol bentar, saya sempatkan twit ucapan ulang tahun ke Sherina Munaf beberapa menit sebelum pulang. Tak butuh waktu lama, saya dapat notif langsung dari sang primadona. Dan buyarlah olah pikir segala-galanya. Lemas. Seneng banget ya Allah.

Ok, mari kita runut bagaimana saya bisa kesengsem Sherina Munaf. Kalau saya bilang cinta pertama, mungkin kalian ga akan percaya. Namun bisa saya pastikan, saya langsung jatuh hati di tahun 1999, saya ada di usia 16 tahun, masa remaja, masa darah muda yang meluap-luap. Kala itu sore hari, sepulang sekolah ba’da Asar saya biasanya memang nonton MTV, saat itu entah stasiun tv mana yang menayangkan. Lagu ‘Kembali Ke Sekolah’ sedang tayang, kala itu hujan gerimis, sesekali memang petir terdengar, tapi tak sampai menggelegar. Di luar memang riuh disertai angin sore yang sejuk, tapi sejatinya, cuaca memang adem. Saya sendirian, menyaksikan lagu itu hingga tuntas. Saya jatuh hati. Saya langsung mencintai Sherina Munaf. 16 tahun dan cinta yang membuncah. Jatuh hati sama lagu Kembali Ke Sekolah, dengan senyum sangaaaaaaat menawan di akhir video klip.

Di era itu memang informasi belum semelimpah sekarang. Segala upaya kukerahkan untuk mengetahui identitas dan kabar baru Sherina. Kabar artis sangat terbatas, dari koran yang hampir mustahil ada, saya pembaca Republika, walau koran bekas dari Paman. Dari tabloid, hanya Fantasi yang mungkin, tapi tetap sangat jarang, lagian di era itu lumayan mahal karena kertas hvs dan lapak media cetak ada di kota Palur yang merentah jauh. Dari Radio apalagi, belum tentu satu dari seribu berita Sherina muncul dalam sehari. Televisi bisa jadi media penghubung satu-satunya yang bisa kuandalkan. Masa berlari, abad melewat, tahun berganti, milenium tiba.

Tahun 2000, film ‘Petualangan Sherina’ rilis. Film ini meledak, menjadi pembuka kran kebangkitan film lokal, saya belum mengenal bioskop. Tahun 2000 adalah era emas Lazio Scudetto, dan saya memasuki bangku SMK. Tak banyak yang bisa kuperbuat, selain nempel poster, nempel artikel dari majalah tentang Sherina, dan menyelipkan gambarnya di dompet. Salah satu teman kecil yang menemani berburu Sherina adalah tetangga samping rumah, Nanang. Dia suka suka Bollywood, saya suka Sherina. Sempat saya foto copy banyak lalu kutempel di tembok. Saya pernah mengirim surat penggemar kepada Sherina tahun itu, tak ada kabar, tak ada balasan. Surat yang hanya bilang saya suka lagu-lagumu, menggunakan kartu pos dengan perangko di pojok. So classy. Saya kirimnya ke alamat di balik kover album ‘Andai aku Besar Nanti.’ Entah kertas itu terdampar di mana. Tahun 2000 juga ditandai saya pertama kalinya memiliki kaset pita Sherina. Beli? Enggak. Saya termasuk jelata, untuk uang sebesar 20 ribu saja ga kuat. Saya kopi dari kaset pita milik teman sekelas, Wisnu Suhoko. Pakai tape dek dual player, pinjam punya Pak Lik Maridi. Dua album langsung. Sejak itu saya leluasa mendengarkannya? Enggak juga, kan saya ga punya player. Maka sesekali pakai Walkman milik Masku Mury, pakai headset karena tak berspiker. Barulah tahun berselang saya memiliki sendiri.

Bersamaan dengan album berikutnya ‘My Life’ tahun 2002 berkover pink, saya sekolah jurusan elektronika, maka saya bisa merakit tape dek sendiri. Kegilaan tak terkendali, bisa mendengarkan lagu-lagunya. Setiap malam, setiap jelang tidur menjadi teman. Teman belajar, teman santai, teman berkhayal. Oiya setahun sebelumnya muncul album single duet dengan Westlife yang menyanyikan lagu ‘I Have A Dream’. Satu lagu diaransemen ulang dengan berbagai format, side A dan B sama. Lagu sama, aransemen beda, dalam satu kaset? Bosan? Nope! Tetap kunikmati, makin merasuki. Kabar duet ini pertama kudengar dari teman sekelas, kukira bercanda, eh ternyata benar. Betapa bahagianya! Empat album, hanya satu kaset yang asli, lainnya hasil rekam sendiri. Saya masih anak sekolah, saya masih prihantin. Belum lagi VCD ‘Sherina & Sherina’ yang dirilis di masa itu, baru empat tahun berselang saya punya. Veris asli dan karaoke dengan intro Sherina bersama boneka Power Puff Girl.

Tahun 2003 menjadi tahun kelulusan sekolah, tak butuh waktu lama saya mendapat kerja. Di sebuah toko elektronika, menjadi pelayan. Setiap dapat giliran kerja di sisi display kaset, saya tentu saja senang sekali, ada dua kaset Sherina Munaf original! Dan ketika gajian pertama, saya langsung beli kasetnya. Gaji pertama kubelikan novel Harry Potter dan Batu Bertuah, kaset M2M Best of dan kaset I Have A Dream yang ada posternya! Wow… langsung kulaminasi, kupajang di kamar. Oiya, semua kaset original Sherina akhirnya benar-benar kumiliki selepas kerja di sebuah pabrik makanan, menjadi kuli panggul. Semua kaset itu saya laminasi pakai selotip, bolak balik, takut rusak. Setelah itu apa? Yup, tragedy Aceh.

Februari 2004, saya mendapat kesempatan menjadi anak rantau. Saya terdampar di kota pinggiran Cikarang menjadi buruh pabrik otomotif. Sisi minusnya, saya jauh dari keluarga, saya menjadi pekerja yang dituntut mandiri. Sisi positifnya, finansialku membaik. Dengan mudahnya saya beli tape dek dual player yang sejak sekolah kuidamkan. Dan akhir tahun itu sebuah musibah besar terjadi di ujung Barat Indonesia. Saya masih ingat betul, Desember 2004 dengan bodohnya saya mengirim pesan ke kampung halaman, ‘bersyukur’ Sherina Munaf yang sempat vakum kembali dengan lagu ‘Indonesia Menangis’. Lagu ini tak terdapat di album Sherina manapun. Saya dapat justru dari sebuah kompilasi penggalangan dana. Dunia berduka.

Tahun 2005 bisa jadi adalah masa saya fokus kerja dan pendidikan, dan saya memikirkan masa depanku sendiri. Saya mulai kuliah. Saya perlu jelaskan kayaknya, saya tak pernah pacaran. Setiap ditanya siapa pasanganmu? Saya jawab Sherina Munaf. Siapa pacarmu? Sherina Munaf. Dikiranya saya bercanda, padahal saya menjawab dengan serius. Nah suatu hari nanti saya akan melamarnya, ah masa muda! Suatu hari nanti saya bisa mensejajarkan diri dengan Sherina, She is may everything. Ah impian anak muda. Namun di akhir tahun itu juga saya yang keukeh tak mau pacaran selain Sherina the one and only, akhirnya hatiku terbuka. Saya ingat sekali, seorang teman (maaf saya tak bisa menyebutkan namanya) mengatakan bahwa ada seorang gadis dari Cibitung yang memiliki wajab mirip Sherina. Mungkin antusiasme-ku yang berlebih, kalau tak bisa kumiliki yang asli setidaknya yang mirip. Saya langsung ke sana, sebuah kos di pinggir jalan Cibitung. Gadis itu bernama Miss X (saya samarkan saja). Baru ketemu langsung kuajak pacaran! Ternyata dia sudah punya pacar, saya tak peduli. Dia tetap bilang ga bisa, karena memang tak kenal. Ga papa, kita akan saling mengenal. Tetap ditolak, saya tak menyerah. Sepulang kerja, ketika tak ada jadwal kuliah saya ke sana. Cikarang Cibitung kutempuh perjalanan dengan SiKusi sekitar setengah jam, kalau ga macet. Lewat jalur kalimalang yang berlubang, dan menyisir padatnya pinggiran ibu kota. Setiap kudatang, disambut dingin. Teman yang mengenalkanku sesekali mau ikut, tapi lebih sering ga mau. ‘Ngapain? Jauh!’ Yo wes, saya pasang muka badak. Saya hanya duduk di kosnya, ikut nonton tv kalau dia mau buka pintu, ikut ngobrol sesekali, lebih sering dicuekin. Miss X akhirnya curhat ke temanku, jangan ganggu. Saya tak peduli, bahkan di ulang tahunnya saya nekad ke sana bawa boneka, hujan lebat, Miss X kerja shift dua, kos kosong, kutelpon dia, dia ga mau kutemui. Hadiah kutaruh di depan pintu, pulang menembus hujan. Selanjutnya apa? Bye bye bye. Dia pindah kos, nomor HP ganti, wassalam, dan selesai sudah kisah cinta tak sampai ini. Patah hatiku ini membuatku memiliki pacar asli. Terkandang memang untuk bangkit, kita harus terjatuh dulu. Untuk kuat, kita harus ditampar dulu. Pertama kalinya saya pacaran, saat itu usiaku 23 tahun.

Tahun 2007 menjadi tahun terbaik. Awal tahun itu Sherina Munaf untuk pertama kalinya merilis album, yang bukan anak-anak. Masa transisi. Album Primadona yang fenomenal. Saya putar setiap hari, sebelum berangkat kerja dan sebelum tidur. Teman satu kosku, Grandong sampai bosan, sampai marah-marah, terserah. Sering cekcok dia pengen lagu-lagu Rhoma Irama, saya pengen Sherina. Ketika alunan ‘Syahdu’, saya sering kali ganti. Ga peduli, ini era emas Sherina Munaf, jangan kau sia-siakan setiap menitnya. Ini adalah album musik terbaik sepanjang masa, berisi lagu-lagu hebat, menghentak di side A lagu paling hebat: ‘Primadona’, lagu dengan kata ‘berhenti’ ketika lagu berhenti. Semua temanku pasti tahu, mereka akan komentar ‘kok berhenti?’, lalu lagu ketiga adalah ‘Sendiri’ yang merupakan satu-satunya yang beat penuh, dipilih jadi single pertama. Rock abis, lagu ini pernah menjadi semacam masalah di tempat kerja yang pada saat di tv muncul saya pergi ke kantin dan menikmatinya, di jam kerja! Ada lagu ‘Ku Disini’ yang dibuat dua Bahasa, lagu 1000 Topeng yang mengenai sisi lain seorang yang bisa bersandiwara, pokoknya semua suka. Mungkin ‘Battle Dance’ yang biasa, sampai sekarang pun ini lagu minor karena jadi satu-satunya tak ada suara Sherina, hanya instrumen dengan hentakan ala tango. Album Primadona mencatat kejadian lucu, ketika di kampus seorang dosen Informatika pernah bertanya dalam kelas, fenomena apa yang terjadi terbesar tahun ini? Saya langsung mengacungkan jari, dan dengan lantang kujawab: “Album Primadona karya Sherina Munaf rilis. Dia yang produseri, dia yang nulis lagu, dia yang main alat musik pianonya, dia pula yang menyanyikan. Betapa hebat perempuan ini. Multi talent.” Kelas tergelak, dikiranya saya bercanda padahal saya menjawab dengan muka serius dan menyampaikan pendapat apa adanya. Kelas masih tergelak, tapi sang dosen sudah bilang, selanjutnya… tak ada respon, tak ada yang menanggapi. Kecewa? Enggak juga, setidaknya saya sudah menyampaikan pendapat, menyampaikan kebenaran.

Tahun 2009 album ‘Gemini’ muncul, saya beli di Mal Metropolitan, Bekasi. Naik angkutan umum, turun di bawah jembatan layang. Kenapa jauh, di Mal Lipo Cikarang belum ada, saya sudah tak sabar. Album ini lebih ngepop, lagu-lagunya komersial. Sherina jadi sangat sering tampil di tv, jadi bintang iklan, menjadi sering diundang acara talk show, menjadi orang kebanyakan. Dan entah kenapa teman-temanku juga ga sesering dulu memberi kabar kemunculan Sherina di media massa. Seakan ada sebuah klik kesepakatan. Ternyata responku tak segerlap Primadona, saya masih dengan setia mendengarkan lagu-lagu ‘Cinta Pertama dan Terakhir’, ‘Geregetan’ yang dinukil untuk iklan Simpati (saya sampai beli perdana Simpati yang mahal itu) dan lainnya. Tapi sedikitnya rasa itu agak luntur, idola yang keseringan muncul malah membuatnya biasa, selain usiaku yang seharusnya sudah matang, saya harus melangkah di dunia nyata. Saya juga sudah single lagi, saya tak mau jatuh hati kepada siapapun, saya hanya mau menikah, tak mau pacaran, saya menyendiri mencari arti setiap helaan napas. Mancari jati diri. Pindah kos ke The Adirfa Lamajd di Cikarang Utara yang sepi dari hingar bingar. Kosan dekat kuburan yang cocok untuk merenungi nasib. Kos yang sejatinya mau kujadikan titik tata hidup. Sempat mencoba melepas semua hal di rantau, pulang kampung mau usaha, mau dekat dengan orang tua, tapi saya terlanjur daftar kuliah lanjut S1. Maka saya di persimpang jalan. Kalau kalian sudah nonton film ‘A Lot Like Love’, adegan ketika Ashton Kutcher pulang kampung dengan tangan hampa, di kolam renang dalam pelukan orang tua, seperti itulah saya tahun 2009. Hampa. Kutcher melepas dengan gamang Amanda Peet. Gagal di rantau, gagal di kisah asmara.

Tahun 2011, tanpa pacaran, saya melamar seorang gadis pujaan. 11-11-11 menikah, dan kuucapkan selamat tinggal impian. Mungkin saya sedang ada di fase, hhhmmm… apa ya? Semacam mendarat di tanah, menginjak realita, mengalami fragmen hidup: impian tak selalu bisa diraih. Tersadar? Tertampar! Saya kembali menjadi apa adanya. Menjalani peran seorang suami di usia 28 tahun. Usia yang matang, setahun berselang saya kehilangan putri pertamaku: Najwa Saoirse. Obat hati kehilangan orang terkasih memang saya tenggelamkan dalam tumpukan buku. Ini juga masa krusial, mau ke arah mana saya melangkah. Buku di rakku mulai banyak sejak usia 29 tahun, beli rak pertama kalinya. Sementara Sherina Munaf memang sempat terlupakan. Sherina kini di usia ini, masa krusial untuk Sher melangkah ke depan mau ngapain?

Tahun 2013 Sherina Munaf mengeluarkan album ‘Tuna’, dengan single fantastis ‘Sebelum Selamanya’. Saya mengalami puber cinta lagi. Kini saya mendengarkan Sherina dengan pasangan hidup dan anak. Kini saya sudah menjadi seorang ayah, putri keduaku: Calista Yumna Hermione masa bayinya juga sering ditemani lagu-lagu album ini, selain ayat-ayat suci tentunya. Dan saya entah bagaimana, kembali jatuh hati dengan Sherina Munaf. Lagu-lagunya keren, ada Ada yang hening, lagu “sungguh aku beruntung, menemukan dirimu, tak perlu kau bandingkan kau dan dia”, dan seterusnya. Semua albumnya saya simpan dalam HP Blackberry: menjadi teman dalam segala perjalanan. Menjadi teman bekerja, teman semejaku sampai ikut suka: Rani Skom, Iyul, Intano, Pak Nasih, Putri, Pak Redy sampai Rayen, lalu menjadi teman nulis blog, menjadi teman belajar, menjadi teman baca, menjadi teman di banyak hal. Sehari bisa seribu lagu berkumandang, jadi kalau ada fan Sherina yang sudah mendengarkan lagunya tak akan pernah bisa mengalahkanku. Kalau ada orang yang mengaku sudah mendengarkan lagu Sherina seribu kali, maka pastinya saya sudah di angka seribu satu. Kalau ada seorang yang sudah mengaku mendengarkan Sherina sejuta kali, maka saya bisa pastikan sudah mendengarkan sejuta satu. Saya ada di puncak Sherina Lover. Saya nomor satu. Tak ada yang bisa mengalahkanku. Pernah ketika mudik tiga tahun lalu ke Solo, perjalanan yang memakan 23 jam karena terjebak macet, saya mendengarkan lagu seluruh album Sherina non stop! Dari Karawang ke Solo, saya putar semua lagunya bolak-balik bersama kedua orang tua, anak dan istri. Ada sih yang protes, tapi saya kan yang nyopir. Maka hak saya menyetel laguku. Apakah ada yang pernah mendengarkan semua lagu Sherina Munaf bolak-balik hampir sehari penuh? Kasih tahu saya…

Sampai sekarang saya masih sering mendengarkan Sherina Munaf, ketika putri ketigaku Caisha Lettie tiada awal tahun ini, saya sempat mengalihkan ke lagu-lagu jazz. Sempat pula ke musisi lain, tapi rasanya tak ada yang bisa mengalahkan Sherina Munaf. HP Bleckberry-ku sudah tewas. Pernah suatu masa, HP itu ketinggalan di teras rumah, dan ketika pulang kerja Sherina masih mengalun. Oh, pantas di kantor saya cari HPnya ga nemu, ternyata tertinggal di teras ketika memakai sepatu kuletakkan, lupa ga kumasukkan ke tas.

Di kamar Ruang_31 di Palur, keempat dinding kupenuhi poster, tentu saja poster Sherina ada. Salah satunya hadiah dari tetangga, dapat poster di tabloid ‘Fantasi’. Poster jumbo dengan pakaian skating. Di kamar kos Ruanglain_31 di Cikarang yang keempat dindingnya juga penuh poster, ga perlu ditanya ada Sherina enggaknya. Salah satunya poster dari majalah Girl. Kali ini Sherina remaja. Sebagian kegilaan Sherina pernah kubuat dalam tulisan ini. Pernah pula kubuat daftar lagu-lagu terbaik di sini. Bagaimana dulu, teman-teman selalu mengabariku ketika Sherina tampil di media.

Sherina menjadi orang Indonesia pertama yang mendapat pengikut satu juta di twitter. Saya tentu saja sering retweet. Ia sempat pindah ke Instagram, saya ikuti juga di sana. Saya mungkin orang paling sering yang mengambil gambarnya. Saya screenshot, saya jadikan status, lebih sering di WA Story. Setiap bulan Juni saya juga menjadikan program #30HariMenulis yang setiap tanggal 11 nya selalu saya bikin tagar #HBDSherinaMunaf kini memasuki tahun keempat. Dan tahukah kalian, hari ini 11 Juni 2019 setelah bertahun-tahun, setelah mencoba memberitahunya bahwa ada seorang pecinta yang memantaunya, memujanya, mencintainya, akhirnya untuk pertama kalinya saya dapat notif. Setelah kuucapkan selamat ulang tahun di twitter jam 16:46 berbunyi: “Semua grup WA memakai gambar @sherinasinna hari ini. Selamat ulang tahun Sherina Munaf. Semoga sukses segala-galanya. Semoga makinn keren. Semoga makin hebat. Semoga makin yang baik-baik ya. Ditunggu karya-karya terbaiknya. Love from Karawang ❤ ❤ ❤ ” Dengan kulampirkan ss grup Wa hari ini yang memang kuubah banyak profil picturenya dengan gambar-gambar Sherina. Tepat jam 17:07, jam pulang kerja HPku bergetar. Nada getar notif twit memang kubedakan, hanya twit Sherina Munaf yang kunyalakan lonceng, jadi setiap dia twit, saya mencoba menjadi orang nomor satu yang like dan retweet, baik langsung klik atau dengan komentar. Tahun ini juga ditandai ia kembali aktif di mikroblogging ini. Alhamdulillah… Saat itu, saya sedang menulis draf blog, dan ketika kubuka HPnya. Astaga, saya deg-degan. Saya lemes, saya gembira, teman semeja Intano dan Rani Skom menjadi saksi ketika kubaca twit istimewa itu. Teman-teman kantor yang pulang, karena mesin finger print ada di dekat ruang HRGA langsung kusalami, bukti twit langsung ss dan kusebar di platform sosmed manapun (kecuali fb) yang kupunya, Sherina Munaf dan Segala Kegilaan Yang Tercipta. Sampai sekarang (sudah jam 20:02) saya masih nulis catatan ini, yang seharusnya catatan ulasan buku, malah kubuat special buat Sherina. WA istri yang meminta pulang jangan larut rasanya mustahil terwujud, video call dari Hermione yang pamer tulisan sempat membuatku untuk segera pulang, tapi nyatanya selepas Isya masih bertahan di meja kerja. Dua ribu kata untuk catatan Sherina masih kurang. Saya masih ingin bercerita seribu kata lagi. Sejuta kata lagi.

Saya masih belum bercerita, bagaimana sejak balita hingga kini usia empat tahun Hermione kuracuni lagu-lagu Sherina sehingga ia hafal betul intro album Sherina & Sherina, terutama lagu Pelangiku yang unik, “Waktu video klip ini sedang dibuat kebetulan sedang musim hujan, aku senang bangat sama hujan…” Saya belum bercerita bagaimana punya sepatu cokelat, yang dibelikan ibu di Mal Luwes Palur, kala itu gara-gara video klip Kembali Ke Sekolah dengan adegan mengikat tali sepatunya. Saya belum bercerita, lirik lagu Bukan Kenangan: “Kawan datang dan berlalu, lawan datang dan berlalu aku diam di sini ditinggalkan kenangan.” Yang selalu kububuhkan di tiap lembar perpisahan teman kerja yang resign. Dengan tanda SH. Ada yang nanya kalau Sheina kenapa bukan SM (mengacu pada singakatbn Sherina Munaf)? SH kuambil sebagai logo tanda tanganku. Saya juga ingin bercerita asal usul tanda tanganku, itu berbentuk SH, lalu e lalu Rina. Dan kututup dengan garis lurus berdiri dan garis underline lalu titik. Yup, tanda tanganku berinisial Sherina! Saya juga belum bercerita bagaimana mula saya menamai anak kedua Pak Lik Maridi dengan usulan nama Sherina. Ya, saya kini punya saudara bernama Sherina. Tahun 2009 saya pulang kampung, membantu-bantu proses lahiran, walau sekadar naik motor ke Palur bolak-balik antar doang, usul kasih nama dan approved. Duh bahagianya. Saya juga belum bercerita, bagaimana bisa jaket pekerja pertama di tanah rantau kuberi nama Sherina Munaf, bos yang kebingungan karena tak ada timnya yang bernama itu, sehingga sempat mau ditukar sampai akhirnya ganti shift dan saya mengklaimnya. Jaket dengan nama dada Sherina Munaf di kiri. Adakah yang membuatnya juga di tahun 2005? Saya belum cerita Wiro Sableng yang membuatnya turun gunung dalam layar lebar menjadi Anggini, saya belum bercerita kisah Sherina yang selalu kubela saat kontraversi twit terkait LGBT. Saya belum cerita bagaimana semua produk Sherina sebagai ambassador kubeli: Panasonic, Advance, Curcuma Plus, Casio, dan setiap lewat tol sampai di Grand Wisata selalu kuteriak, ‘rumah Sherinaku’. Saya belum bercerita bagaimana lagu-lagu Sherina paling sering menjadi teman nulis blog sehingga saya cantumkan di akhir tulisan, betapa istimewanya. Saya belum bercerita betapa antusiasmenya saya akan film Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi gara-gara dia isi soundtrack. Dan seterusnya dan seterunya… saya ingin membuat catatan tiga ribu kata lagi dan sejuta lagi… tentang Sherina Munaf tentang segala obsesi ini.

Terima kasih telah menjadi inspirasi, menjadi teman tidur, menjadi penjagaku: dulu, kini dan selamanya. Selamat ulang tahun Sinna Sherina Munaf ke 29 tahun. Doaku selalu untukmu, yang terbaik. Penuh cinta dari Karawang. – LBP

Ruang kerja HRGA CIF jam 21:47, Karawang, 11 Juni 2019 – ditemani dengan semua lagu dari album terbaik dunia akhirat Primadona

Catatan: tulisan kubuat dari jam 17:31 sampai 21:18 di kantor sepulang kerja, tanpa rencana tanpa banyak mikir, ngalir saja dan saya tutup di 3,148 kata. #HBDSherinaMunaf wish you all the best

Metamorfosis #6

Ia bersuara seperti seekor hewan.

Buku yang berat sekali kakak. Mungkin juga karena kualitas terjemahannya yang aneh, typo yang berserakan, walaupun dialihbahasakan keroyokan berempat tapi tetap masih saja ditemukan kalimat-kalimat nyeleneh. Diterjemahkan dari Penguins yang pastinya English bukan dari karya asli dari Praha. Bandingkan dengan The Trial yang langsung dari aslinya. Namun kualitas memang tak bisa bohong, memang butuh beberapa kali baca, berulang di bagian yang sulit, nyaring di saat butuh konsentrasi lebih. Tak heran untuk menyelesaikan bacanya hampir dua minggu, fokus walau sesekali terganggu bacaan lain, tapi tetap harus selesai. Merupakan satu dari tiga buku baru bulan puasa lalu, kubaca di banyak tempat. Saat menjadi sopir keluarga dua kali di Mal Techno Karawang, di lantai satu Blok H Perumnas, menjadi teman tidur ketika menunggu jam sahur. Begadang saat esok libur, dan memang harus diakui, daya tahan bacaku melemah ketika bulan puasa.

Kisahnya variatif, Metamorfosis hanya satu cerita dari lainnya. Semua dituturkan dengan narasi sulit dipahami. Apakah ini khas Kafka yang merumit? Bisa jadi. Tuturannya berkelit-kelit, berkelok, mbulet sampai akhirnya nggeh maksudnya. Terdiri dari sembilan cerita, yang kemudian dipecah lagi. Kelihatnya begitu menakutkan untuk tetap melajang, menjadi tua dan harus meminta-minta dengan segala martabat yang dimilikinya untuk mendapatkan keramahan setiap kali berniat menghabiskan sore dalam lingkungan manusia.

Jangan lupa, ini ruanganku tempat kau menggoreskan jemarimu seperti orang gila. Ruanganku sendiri, dindingku sendiri. Watakmu yang memaksa? Benar-benar watak yang baik. Watakmu adalah watakku, dan jika memang watakku aku baik padamu maka kau tidak boleh menjadi sebaliknya.

#1. Pameran Udara di Brescia
Ini cerita kumulai baca di Taman Satwa Ragunan. Tentang sebuah pameran balon udara di Brescia, Italia yang menarik minat banyak pengunjung bukan hanya dari dalam negeri tapi juga luar. Dengan seeting tahun 1909 bahwa pameran balap balon udara ini terbesar di masanya. Bersisian dengan Wright bersaudara yang terkenal itu. Wright di Berlin, Bleriot di Wina. Bagaimana bisa orang-orang yang tak berarti berkumpul dengan bermacam-macam tangan saling berkait dan bersaling silang kaki dengan langkah kecil di antara mereka.

#2. Meditasi
Ini cerita dibagi dalam kisah-kisah panjang 18 cerita lagi. Meditasi di sini lebih ke cerita perjalanan hidup yang variatif. Mulai dari kisah di pedesaan, hal-hal yang menyepi di malam hari, proses pakaian yang detail, sampai pembatasan-pembatasan diri akan keadaan sekeliling. Maka untuk sepanjang malam itu kau telah meninggalkan lingkungan keluargamu dan membelot lepas memasuki suatu kehampaan, dirimu sendiri, tenang seperti semula, terselubung oleh tajamnya garis dan bentuk dan menepuk belakang pahamu dan terus berdiri pada sosok tubuhmu yang sebenarnya.

#3. Keputusan It. Sebuah Cerita
Kisah Georg Bendemann yang galau di tanah rantau, dengan surat-surat ia bercerita bagaimana kehidupan ini berjalan. Hari minggu pagi di puncak musim semi. Georg Bendemann, seorang pebisnis muda, sedang duduk di ruangannya di lantai satu salah satu rumah-rumah kecil yang melajur sepanjang sungai. Bertunangan dengan gadis dari keluarga baik-baik, Fraulein Frieda Brandenfeld. Sang juragan sedang sibuk sehingga kau menulisi surat-surat tipuanmu ke Rusia.

#4. Juru Api. Sebuah Fragmen
Karl Rossmann yang terusir ke Amerika di usia remaja. Tetapi itu tentunya membutuhkan kegigihan yang tidak tanggung-tanggung, bukan? Aku khawatir tak segigih itu. lika-liku pengalaman yang menghantam. Perjalanan yang tak bisa di atas kapal. Mengapa kata penting pertamayang terpikir olehnya ialah ‘ketidakjujuran’? meskikah tuduhan-tuduhan terhadapnya dimulai dari sana, bukankah dari prasangka-prasangka nasionalnya?

#5. Metamorfosis
Selamat pagi, Herr Samsa.
Inilah dia kisah legendaris tentang Gregor Samsa yang suatu hari terbangun menjadi seekor kecoa. Saya sudah lama sekali menanti ingin melahapnya. Akhirnya terwujud bulan Mei 2019 ini. Jadi seorang pekerja kantor, seorang sales keliling yang memiliki seorang adik dan kedua orang tua yang aneh, suatu pagi yang absurd menjadi seekor kecoa. Dunia dipenuhi oleh orang-orang yang benar-benar sehat tetapi malas kerja. Dia hanya alat bagi atasannya, ia lemah dan bodoh. Keluarga yang ditimpa musibah. Frau Samsa, Grete Samsa, Herr Samsa.
Proses berikunya sungguh mengerikan. Ia tak bisa keluar kamar, ditegur orang tuanya, didatangi bosnya, dan waktu menjadikannya seorang pengamat. Bagaimana orang-orang memperlakukannya dengan lemah.“Apa yang terjadi, kau di sini kau membentengi dirimu di kamarmu, hanya memberi jawabanya atau tidak, yang membuat orang tuamu cemas dan lagipula – aku hanya menyebutnya sambil lalu di sini – mengabaikan tugas-tugasmu terhadap perusahaandengan cara yang benar-benar memalukan. aku di sini berbicara atas nama orang tua dan atasanmu dan aku dengan tegas menyuruhmu secara serius member jawaban yang jelas dan segera.” Untuk berjaga-jaga kalau-kalau saja batuknya juga terdengar tidak seperti manusia.

Aku tidak keras kepala dan aku menyukai pekerjaanku; berkeliling adalah pekerjaan berat tapi aku tidak bisa hidup tanpanya. Gagasannya sendiri bahwa dia harus menghilang malahan lebih kuat daripada kakanya. Dalam perenuangan hampa dan damai ini dia berada sampai jam berdentang tiga kali di pagi hari.
Ayolah ayolah, biarkan masalah-masalah lama hilang pada akhirnya, dan pikirkan juga tentang aku.”

#6. Di Koloni
Tentang penjelasan bagaimana hukuman mati akan diterapkan kepada pelancong. Bagaimana alat bunuh dituturkan dengan santai seolah hanya mainan. Di depan sang korban! “Meskipun aku tak bisa membiarkanmu memegangnya, ini milikku yang paling berharga. Duduklah dan aku akan menunjukkan padamu dari sini agar kau bisa melihatnya dengan jelas.”
Dalam pidatomu kau jangan membatasi diri biarkan kebenaran bersuara keras, bersandarlah pada pagar itu dan berteriaklah ya, teriakan kesimpulan-kesimpulanmu yang tak tergoyahkan pada komandan.”

#7. Seorang Dokter Desa. Kisah-kisah Kecil
Ini cerita yang paling panjang, bahkan laik diulas lebih mendalam dalam dua artikel lagi. Kau takkan pernah tahu apa yang akan kautemukan di rumahmu sendiri. Mengarahkan tujuan baru di ujung lain ruangan dalam kedalaman cermin dinding, dan aku berteriak keras-keras hanya untuk mendengarkan teriakan yang tidak menemui jawaban dan tak sesuatu pun mampu mengurangi kerasnya.
Mengubah dunia bukanlah urusanku, jadi aku biarkan dia berbaring. Aku dipekerjakan distrik dan melakukan tugasku dengan batasan-batasan, malahan lebih dari itu. “Bergiatlah!” Segala sesuatu yang mati biasanya memiliki tujuan tertentu, aktivitas tertentu dan aktivitas tersebut mengauskan dirinya, hal ini tak berlaku pada Odradek.

#8. Penunggang Ember Arang
Dan sekarang apa?

Ini mungkin kisah yang paling biasa, penjual arang dan kegalauan manusia yang ditikam dingin. “Tapi aku duduk di sini, di atas ember arangku.

#9. Seniman Berpuasa. Empat Kisah
Cerita dalam empat babak. Dari Josepine manusia tikus sampai kesedihan pemain trapeze. Bila sudah berhubungan dengan disiplin maka kesopanan akan lenyap, dan aku yakin pamanku telah menyuarakan dengan tepat apa yang dirasakan kapten ini.

Metamorfosis | By Frank Kafka | Dterjemahkan dari The Transformation (Metamorphosis’) and Other Story | Penguin Books, 1992 | Penerbit Narasi bekerja sama dengan Pustaka Prometha | Penerjemah Ribut Wahyudi, Saut Pasaribu, Yudi S., T. Widiyantoro | Penyunting Hartono Hadikusumo | Desain kover Buldanul Khuri | Gambar kover Picasso | Desain ulang kover Sugeng | Cetakan 1, 2015 | 14.5 x 21 cm + 420 hlm. | ISBN (10) 979-168-430-8 | ISBN (13) 978-979-168-430-9 | Skor: 5/5

Karawang, 100619 – John Martin – Anywhere For You // 110619 – Rihana – Take A Bow

#Day6 #30HariMenulis #ReviewBuku
#HBDSherinaMunaf #11Juni2019