Buku kedua A.S. Laksana yang saya nikmati setelah Murjangkung yang aneh. Banyak kemiripan, teutama nama karakter yang menjadi favorit: Seto dan Alit. Beberapa memang bagus, beberapa biasa, memang beliau ini Penulis unik, cerita selalu mencoba beda, temanya tak lazim, beberapa lagi menawarkan keabsurdan. 12 cerita pendek yang memang khas A.S. Laksana, Penulis sastra majalah Tempo 2004 dan 2013.
#1. Menggambar Ayah
Tentang kisah anak yang dibenci ibunya. Sejak dalam kandungan, sang ibu mencoba menggugurkan, gagal. Ia dilindungan kekuatan putih, mengajaknya dialog dan memberi semangat. Ia tak pernah tahu siapa bapaknya, dan setelah lama berselang pun sang ibu tak berniat memberitahu dan memberinya ayah baru. Maka iapun mencipta karakter ideal sang ayah dengan menggambarnya. Aku adalah orang yang rindu kepada apa saja.
“Bila kalian melihat teman-temanku, suruh mereka datang ke rumah. Suruh mereka datang ke rumah. Masuk saja lewat atap rumah, jangan sampai ketahuan yang lain.”
#2. Bidadari Yang Mengembara
Sebagai judul yang dipilih, kisah tentang Alit. Tiga hari tiga malam ia mengikuti perjalanan kunang-kunang. Ia kecopetan di pasar, lalu diteriaki kriminal sehingga diburu massa, dan setelahnya kita tahu ini adalah penggalan cerita karang dari pihak ketiga antara Alit dan Nita. Pemburuan seribu kunang-kunang, tiga kunang-kunang menjelma malaikat berbentuk bangau. Ahh Tuhan pasti sudah mematahkan sedikit tulang rusuknya ketika pingsan. Lalu Ia ciptakan makhluk itu, perempuan – bidadari. Aku tanyakan kepadanya, sampai kapan ia mencari pahlawannya.
“Dari langit aku datang kepadamu, aku diutus untuk menyembuhkan luka memar di dadamu.”
#3. Seorang Ibu yang Menunggu atau Sangkuriang
Percakapan cerdas antara anak dan ibu, dari mana keluarnya bayi? Sama dari datangnya. Laiknya pesulap yang tiba-tiba bisa memunculkan uang, dari udara? Ya! Namun katanya manusia diciptakan dari tanah? Lalu kisah merentang dari awal, bagaimana perempuan mengandung harus menjalani seribu pantangan sampai bayi lahir. Banyak hal pamali, ora elok disampaikan.
“Ayolah ibu, kenapa kau sia-siakan waktu.”
#4. Burung di Langit dan Sekaleng Lem
Burung-burung yang terbang di langit punya rumah untuk pulang ketika matahari tenggelam. Dan sang gelandangan kemana pulangnya? Aku tak punya rumah, burung punya rumah. Maka ketika jam malam, ada polisi menginterogasinya, memintanya pulang, lha aku gelandangan. Dengan plastik hitam berisi sisa makanan. Aku merasa tansnku cukup kuat untuk melakukan apa saja.
“Kalau kau seorang gelandangan, berlakulah sebagai gelandangan, jangan ikut-ikutan turun ke jalan. Jangan ikut-ikutan berpolitik.”
#5. Seekor Ular di Dalam Kepala
Perempuan yang merasa ada seekor ular yang merayap masuk ke dalam kepalanya lewat telinga, mendekam di otak dan membuatnya geli, seolah sang ular menjulur-julurkan lidahnya menimbulkan rasa gatal. Diceritakannya pada suaminya Rob, tapi kau tak apa-apa tampak sehat. Debat keduanya menjalar ke mana-mana, Lin harus dibedah, harus dibawa ke psikiater. Namun kalau bisa melakukan sendiri ngapain ke dokter?
“Ular itu masih mendekam di kepalamu, Lin?”
#6. Telepon dari Ibu
Dua minggu lalu ibunya telepon, sweaternya ketinggalan apakah perlu dikirim? Enggak usah di sini masih ada dua, buat ibu saja. Sebenarnya ada juga surat-surat, mau dikirim? Enggak, ada juga rokok. Seperti ada seekor serangga yang merambat di jalan darahnya dan menyusup ke ulu hati, ia bertahan dari rasa gatal yang mencakar-cakar emosinya. Apa kabar ibu? Mangan ora mangan seng penting kumpul.
“Hidup adalah fait accompli. Lucu, ya? Tiba-tiba aku berpikiran seperti itu.”
#7. Buldoser
Berapa nilai ulanganmu, Alit? Sembila puluh. Wah kamu bisa jadi dokter. Kamu ingin jadi apa Alit? Dokter. Sampai usianya tiga belas, rumahnya kena gusur dan mengubah banyak hal, karena ia tak punya rumah, menanti ganti rugi, dan tinggal di tenda. Ayah terus-menerus mengingatkan aku agar jangan pernah mengumpat dan menyesali nasib, bahkan untuk nasib buruk sekalipun.
“Apa, ya? Tak ada yang bisa kuingat, padahal tadi begiru jelas kata-katanya, apa ya?”
#8. Seto Menjadi Kupu-Kupu
Seto yang jatu hati kepada anak penjual martabak, bagaiaman ritual bunga-bunga yang dibawa ke kamarnya demi keberuntungan, yah semacam fengsui. Ayahnya pengsiunan, menanyakan apakah ia masih seorang laki? Dan kisah cinta yang tak lazim. Bagaimana memikat biadadari pujaan hati.
“Saya pernah menangisseharian karena memaksa dibelikan martabak, dan ketika tetap tak dibelikan, saya minggat dari rumah beberapa hari.”
#9. Bangkai Anjing
Tentang pekerja kantor redaksi yang bergunjing. Mirna yang mengatakan semua lelaki sama saja, seperti anjing, tinggal kasih ekor di belakangnya. Sang aku yang mendengarkan pusing sampai menenggak dua butir aspirin, lalu iapun teringat masa lalu dengan ayahnya yang coba diberi jarak. Alit dan rasa cemas serta malu dengan bapaknya. Sebagai anak ragil yang akhirnya hanya tinggal berdua sama ayahm karena orang tuanya cerai, dan ketika selepas sekolah jelas Jakarta menjadi tujuan sekaligus menjauh. Bekerja di media yang suatu harus melakukan wawancara dengan banci. Oh aku ingin membungkam mulut siapa saja.
“Aku akan pulang setiap merasa kangen padamu.”
#10. Rumah Unggas
Seto dan janjinya sebelum meninggal, memberi seteguk air closet kepada seorang tua. Tak disangka, sebulanan kemudian ia meninggal. Selalu ada jalan bagi hati yang kocar-kacir, selalu ada jalan. Tentang Jono yang menjadi mata-mata kampus, mengakibat puluhan mahasiswa diciduk, ah aku mencium bau bangkai di sini. Di usia senja, ia kena karma. Keracunan dagung unggas, tapi selamat. Cukup? Tidak. Ia dah tua sakit-sakitan, ga perlu kutuk yang menggegar.
“Tak ada penghianat di rumah ini yang bisa lolos dariku.”
#11. Peristiwa Pagi Hari
Dua orang ngobrol pelan, dengan nada pelan karena ngomongin persenggamaan, sepuluh tahu lalu sampai ada buah mangga jatuh di atas. Teman Alit yang bercerita mengumpamakan bercinta seolah bermain bola, ketika ia berkelit menggiring bola sehingga bisa tahan lama. Bisa dua kali empat puluh lima menit? Alit selalu membayangkannya dengan bantuan tangan, ia membayangkan datangnya kematiansaat mendengar erangan.
“Aku hanya memenuhi panggila suara ketawamu.”
#12. Cerita tentang Ibu yang Dikerat
Alit kehilangan cara untuk mengetahui asal-usul segala sesuatu, ia tak bisa lagi bertanya apakah buaya, kalajengking, atau kadal orang yang durhaka berasal. Ia belum sempat bertanya pada capung, kelelawar, atau capung. Ia belum sempat bertanya banyak kepada ibunya yang meninggal. Ketika pembunuhan itu, ia hanya dengan ibunya, ayahnya sedang kerja borongan. Setelah puluhan tahun berselang ia kembali ke kampung halaman.
“Kau benar, semestinya bertobat. Tapi segalanya sudah terlanjur, dan ia mungkin terlalu angkuh.”
Banyak kiasa, masih bagusn Murjangkung. Cerita terbaik ada di akhir, ketika pembaca digiring melulu soal Alit, ternyata sang aku adalah pelaku utama yang tak terduga, kejutan. Karena pola sudah terdeteksi, walau disamarkan dalam kiasan, akhirnya terbiasa dan santai. Buku ini kubaca sekali duduk di malam kemerdekaan tahun lalu ketika mungmin jutaan umat Indonesia sedang melakukan malam tirakatan. Merdeka!
Bidadari Yang Mengembara | Oleh A.S. Laksana | Proofreader Jia Effendie | Desain dan ilustrasi cover Khalid Albakaziy | Tata letak Landi A. Handwiko & Gita Ramayudha | Penerbit Gagasmedia | Cetakan pertama, 2014 | iv + 160 hlm.; 13 x 19 cm | ISBN 979-780-699-5 | Skor: 3.5/5
Palur, 080619 – R. Kelly – Love Is
#Day4 #Juni2019 #30HariMenulis #ReviewBuku #Mudik2019