Perempuan Pala – Azhari

Kalian lihat sepuluh awan yang menyerupai tudung saji itu, di dalamnya terpendam jutaan serbuk hujan. Berpusing persis jentera menuju laut. Dan hiruplah bau angin yang seharus kulit sagu yang mengantar awan itu…”

Dari penulis fenomenal Kura-Kura Berjanggut yang berisi hampir seribu halaman yang tahun lalu menyabet Kusala Sastra Khatulistiwa kategori prosa, inilah kumpulan cerita pendek produksi Buku Mojok. Kubaca singkat malam minggu kemarin (23-3-19) saat menjadi sopir keluarga, saat mereka ke mal memanjakan mata dengan sepatu dan pakaian, saya tak masuk ke mal. Justru menepi di sebuah ruko terdapat mini market di Galuh Mas, untuk sebotol teh dingin untuk nebeng baca. Lalu kutuntaskan saat sampai rumah. Baca kilat, karena memang tipis dan tak butuh banyak telaah.

Setelah dua pengantar dari Penerbit dan Prof. James T. Siegel kita mengarungi cerita rakyat Aceh. Berisi 18 cerita, sebagian besar pendek-pendek, bahkan seakan dibuat tergesa. Seperti di cerita pembuka berisi sehalaman, itupun tak penuh yang didedikasikan untuk sang professor. Beliau sendiri memilah pendapatnya bahwa Aceh dalam keadaan ‘Kami’ dan ‘Mereka’. Aceh dalam dilema ratusan tahun, lepas cengkraman kompeni, masuk ke republik ini dengan gejolak tak henti. Teori penjajahan metode, ‘mereka dan kita’ kebetulan baru kubaca pekan lalu dalam buku Sapiens (Yuval Noah Harari), lebih halus menyebutnya sebagai imperium. Tak ada yang salah, tak ada yang baik-jahat, segalanya adalah dialektika sejarah.

Titah langit dianugerahkan kepada kaisar bukan untuk mengeksploitasi dunia, melainkan untuk mendidik umat manusia. Orang Romawi juga menjustifikasi kekuasaan dengan berargumen bahwa mereka mempersembahkan perdamaian, keadilan, perbaikan bagi orang-orang bar-bar. Orang-orang Jerman yang liar dan orang-orang Galia yang bercorat-coret cat tadinya hidup dalam kebejatan dan kejahilan sampai orang-orang Romawi menjinakkan mereka dengan hukum, membersihkan mereka dalam pemandian umum, dan memperbaiki mereka dengan filosofi. Kemaharajaan Maurya pada abad ke-3 SM menjadikan penyebaran ajaran Budha ke dunia yang jahil sebagai misinya. Para khilafah muslim menerima titah ilahi untuk menyebarkan wahyu yang dibawa sang Nabi, secara damai bila mungkin namun menggunakan pedang bila perlu. Imperium Spanyol dan Portugis menyatakan bahwa bukan kekayaan yang mereka cari di Hindia dan Amerika, melainkan agar orang-orang berpindah agama yang benar. Matahari tak pernah berhenti menyinari misi Britania untuk menyebarkan ajaran kembar liberalism dan perdagangan bebas. Uni Soviet merasa terikat kewajiban untuk menggerakan derap sejarah yang tak terhentikan dari kapitalisme menuju kediktatoran utopia kaum proletar. Banyak orang Amerika Serikat kini percaya bahwa pemerintah AS memiliki kewajiban moral menyebarkan manfaat-manfaat demokrasi dan hak asasi manusia ke Negara-negara dunia ketiga, bahkan hal-hal itu diantarkan dengan rudal dan F-16. (hal. 235)

Jadi lihatlah hubungan Belanda-Hindia, dan kini Indonesia-Aceh atau apalah segala hubungan yang umum disebut penjajahan.

#1. Demi Kegembiraan Para Diplomat
Cerita sangat singkat tentang kembali dibukanya pintu Indonesia ketika peralihan Orde Lama ke Baru, para diplomat Amerika dengan gembira kembali berpesta di negeri tropis yang megah ini. Jamuan istimewa pada perundingan-perundingan baru yang ramah dan bersahabat diterjunkan di bandara Polonia, Medan.

#2. Air Raya
Nuh itu seorang yang sunyi, sahabatnya binatang belaka. Hikayat Nabi Nuh yang dinukil dalam hubungan anak-ibu dan kesetiaan. Nabi Nuh yang meninggalkan anak-istri karena tak percaya bahwa air akan menjulang hingga menenggelamkan gunung sekalipun. Hikayat itu, menjadi benang merah bahwa sang lelaki berlayar meninggalkan anak-istri, dengan hujan mendera tak henti. Ibu sudah menunggu di rumah. Dia meski mengajarkan Nuh mengenai kerinduan – karena dia tahu orang seperti Nuh tak paham arti kerinduan.

#3. Di Dua Mata
Rumah adalah yang paling aman dan yang paling mudah ditemukan. Tentang mata yang setia mengawasi kegiatan di luar rumah dari balik gorden. Sungguh mata itu berbahagia. Tak jemu menikmati momen bahkan sampai beratus-ratus sore.

#4. Hikayat Asam Pedas
Nek Sani dengan segala kehebatannya meracik masakan dari berbagai bumbu yang ada. Awalnya bertutur bagiamana bumbu-bumbu itu berhasil didapat. Dari oleh-oleh para pembesar sepulang Haji, belimbing wuluh dari tetangga yang terjatuh dari pohon, cabe rawit dari kebun belakang hingga krimer dari Pawang Lemplok dari Tanjung. Saat kuah kuah asam pedas mendidih, sesuatu yang tak dinyana terjadi. Tentu, sepadan dengan rasa ikan itu: manis tak termaknai.

#5. Hujan Pertama
Riwayat ramalan hujan dan berkah dari malaikat mikail. Kemahiran ibu dalam melihat tanda-tanda langit, seperti memperkirakan musim atau meruwat kapan kepastian puasa pertama atau hari raya, sangat membantu penduduk kampung yang masih memegang kuat tanda-tanda alam sebagai petunjuk. Bukan hanya hujan, koak burung malam, kupu-kupu masuk rumah dst. Tanda-tanda alam itu menjadi cerita pertanda. “Sebentar lagi akan terdengar kulik elang, menyiratkan kematian Pang Kadi kepada seluruh kampung…

#6. Ikan dari Langit
Tukang syair yang ngoceh di jalan-jalan kampung. Menjelang pemilihan umum, ia datang membawa rapa’i dan suara diparau-paraukan. Akan jatuh ikan dari langit, ikan yang dibuang Tuhan. Ikan-ikan perliharaan Abu Lahab. “Dia datang dikirim angin.” Masih belum nggeh nama ikan yang lafalnya akronim sebuah partai. Ikan apa ya?

#7. Kenduri
Kenduri. Selamatan orang meninggal. 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Ah, hikayat larangan melakukan yaa siinan yang digunjing di Jawa itu ternyata juga diperdebat di ujung Barat Indonesia. Saya jadi ingat saat di kampung dulu, saya yang masih remaja disertakan dalam kenduri semacam itu dengan pede dan nyaring dan khidmatnya mendoakan mendiang. Hingga akhirnya pada suatu masa, para pemuda pembaruan tiba di kampungku dan melarang, mengancam, membubarkan kebiasaan itu. Di sini sang ibu yang kehilangan saudaranya, terus didatangi dalam mimpi. Pertanda untuk kembali mengadakan kenduri, tapi kan sudah dilarang dalam budaya? Beranikah? “Mimpi itu, Tinggo, mimpi itu…”

#8. Perempuan Pala
Cerita pilihan yang dijadikan judul. Riwayat kebun pala yang ditanam iseng itu malah menjadi komoditi. Sang kakek bercerita bagaimana hikayat dulu ada kebun di sana. Awalnya pohon pisang, sebagai penutup pembunuhan tiga orang, lalu diganti pohon pala. Cerita pembunuhan yang dicerita dengan tenang. Dulu ia mengira tongkat lelaki tua yang keluar dari mulut ibu tak cukup sakti untuk membuat naga kekal menjadi batu. “Kulit buah kuning bulat yang menggantung itu dapat dimakan, bukan?”

#9. Kupu-kupu Bermata Ibu
Kalau di Jawa, saat ada burung prenjak berkicau di pohon-pohon depan rumah itu artinya akan ada tamu. Di sini, saat ada kupu-kupu masuk ke rumah maka akan ada tamu. Karena cerpen ini cerpen kelam, maka kisahnya bukan tamu baik tentunya. Setelah kehilangan anak sulung dalam penculikan, sang ibu selalu was-was ketakutan. Siapa berikutnya? “Aku tak mungkin menolak dan menutup pimtu bagi siapapun yang datang ke rumah ini bukan? Aku diajarkan untuk memberikan apa yang kumakan bagi setiap orang lemah yang meminta. Itulah kemuliaan.”

#10. Menggambar Pembunuh Bapak
Menggambar di tanah sketsa seorang pembunuh bapak. Aneh sekali. Memberi simpul senyum dalam sketsa, kejam. Memberi codet di pipi. Diantara bunga-bunga yang jatuh di tanah, dilukis dengan kaki dengan penerawangan masam. Dan dia melakukan berhari-hari. Dia sudah tak bersekolah.

#11. Menunggu Ibu
Kesetiaan ibu tidaklah buta. Cerita sedih yang menyentuh sekali. Sang kakak yang buta, sang adik yang penasaran, sang ibu yang bertutur bagaimana suami/ayah mereka meninggal. Lalu taruhlah belalang dalam kamar tidur, di atas bantal. Ditafsir sebagai reinkarnasi almarhum, belalang itu ditaruh di tempat istimewa dan dijaga. Hingga seuatu ketika, sebuah tragedi dicipta. Harum daging yang memualkan.

#12. Orang Bernomor Punggung
Cerita sederhana ini bisa jadi adalah favoritku. Narasinya lurus menyenangkan. Seorang pelarian menempati sebuah kampung asing, dipersila tinggal di gubuk pinggir daerah perbatasan hutan. Ia kepergok pook. Kampung yang terpencil itu dibantu, dibentuk dan dipersebahkan teknologi bernama sumur. Sebagai tukang kayu yang kokoh dan murah senyum, di mana di pungguhnya ada nomor 81. Sambutan baik itu menjelma petaka saat wabah muncul. “Terang saja punggungnya berjimat.”

#13. Pengunjung
Kesalahannya cuma satu: memalingkan sekilas wajahnya ke arah timur. Pengantin baru yang dicelaka-celakain karena melakukan hal pamali. Bisa jadi itu muhasabahnya. Bahkan jangan berpikir untuk menyebut nama kampung celaka itu.

#14. Jubah
Seorang penjual obat keliling telah menyaru sebagai perwira polisi sebanyak tiga kali, enam kali sebagai kadi, puluhan kali sebagai pegawai kantor purba kala dan sebagai apoteker hampir seumur hidupnya. “Kita, tiba pada malam yang sama dengan setan.”

#15. Yang Dibalut Lumut
Ini cerita seram sejatinya. Entah kenapa ditutur dengan santai seolah melihat mayat, banyak mayat terapung di sungai adalah kelaziman. Sang kakek dan cucunya yang memancing menghentikan kegiatannya karena ada mayat hanyut. Setiap mayat dibalik untuk dilihat wajahnya, siapa tahu itu adalah bapaknya. Ada mayat yang baru tapi sudah dibalut lumut sehingga tak bau, mukjizat orang baik begitu jua sebaliknya. Sampai di sini saja, tampak mengerikan bukan? Ranie dan memori horor di bantaran sungai.

#16. Perihal Abdoel Gaffar dan Si Ujud
Cerita ini disebut sebagai cikal bakal Kura-Kura Berjanggut. Abdoel Gaffar yang seorang Belanda menjadi mualaf dan menelusuri Aceh, menuliskan laporannya, menggoreskan si Ujud yang seorang mata-mata itu mati atas eksekusi Raja Nurrudin. Dan itulah bakat dia yang sesungguhnya: menyusupkan kisah ke dalam kisah, yang membutuhkan keahlian tinggi untuk mengetahui mana riwayat yang shahih dan mana riwayat yang dhaif. Namun tunggu dulu, ada yang coba diluruskan dan kalian bisa tahu kisah panjang itu di bukunya langsung yang tebalnya melebihi al kitab. Hikayat Lamuri.

#17. Cermin Mao Tse-Tung I
Cerita pemimpin Front Pembebasan Nasional Acheh-Sumatra, Hasan Tiro yang mendapat hadiah sebuah cermin yang konon milik ketua Mao saat memimpin Tentara Merah dalam menghindari kepungan tentara Kuomintang. Cermin ajaib yang bisa membiaskan bayang masa depan, termasuk Perang Dunia I. namun sang pemimpin bosan dan meminta bayang itu menampakkan dirinya.

#18. Memoar
Letkol Sudjono yang bermimpi. Dia mendengar para senior yang bertugas di Timor Timur dan Irian Jaya berhasil membebaskan diri mereka dari mimpi-mimpi yang mereka tak inginkan dengan menulis memoar. Setelah mencoba berkali-kali gagal, sang Letkol ketakutan dan membenci tempat tidur. Pada tahun kesepuluh, dia merasa memoar itu menghianati dirinya. Memoar itu menolak memprcayai alasan pembunuhan Tengku Bantaqiah dan tiga puluh pengikutnya di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999.

Secara keseluruhan sekadar bagus, tak istimewa. Cerita kelam tentang pembunuhan-pembunuhan ditulis langsung oleh putra daerah, seharusnya bisa lebih detail dan merasuk. Saya membandingkan kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi Mata, yang saya sebut sebagai salah satu buku kumpulan cerita terbaik. Bung Seno tak langsung di Timor Timur saat menulisnya, hanya dari laporan. Motif dan alurnya banyak sama, tapi kenapa bung SGA yang melihat dari sudut jurnalistik malah lebih merasuk dan jleb? Perempuan Pala malah terasa berulang-ulang, kurang variatif. Bapak yang hilang/meninggal, Aceh yang gejolak selalu menyudutkan republik sampai cerita satu-dua halaman yang lebih sederhana lagi. Makanya saya suka cerita lelaki yang bertahan hidup dengan punggung bernomor, karena tampak paling tak lazim. Pasrah, kokoh dan abadi.

Masih bisa menikmati, masih sip karena sejatinya tak ada satupun drama cinta atau roman picisan yang terkandung di dalamnya, jadi OKlah. Ditunggu karya berikutnya.

Dan alangkah setianya pala-pala itu, Mala. Ia akan terus berbuah sampai bertahun-tahun lagi. Sampai sku tiada dank au menua. Di mana ada perang, pala-pala ini akan terus memberikan gunanya.”

Perempuan Pala & Rerumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi | Oleh Azhari | copyright 2015 | Penyunting Fahri Salam | Perancang sampul Narto Anjala | Ilustrator sampul dan isi Saiful Bachri | Penata letak Narto Anjala | Pemeriksa aksara Prima S. Wardhani | Penerbit Buku Mojok | ISBN 978-602-1318-12-6 | Skor: 3.5/5

Karawang, 240319 – Ari Lasso – Jalanku Tak Panjang