“Sekarang meraunglah, sialan. Meraunglah!”
White Fang menjadi buku kedua yang saya baca dari Penulis legendaris Jack London setelah The Call of the Wild yang fenomenal itu. Ini semacam prekuel (atau sekuel ya, entah duluan mana terbitnya), kalau The Call dari anjing rumahan menjadi ganas di alam, White Fang malah dari makhluk liar dan keras menjadi takluk pada manusia, atau di sini disebut dewa. Ia mematuhi kehendak para dewa. Mereka pembuat api, mereka adalah para dewa!
Cerita sama gilanya. Karena entah kenapa peristiwa yang berkaitan dengan makhluk hidup selalu terjadi dengan cara berbeda. Hebat sekali Jack, bisa memasuki dunia binatang seolah ia adalah bagian dari makhluk itu. Merasakan bagaimana kengerian di alam liar, menerornya dalam banyak sergapan. Dan inilah epitaph dari seekor enjing yang mati di jalur Northland – lebih singkat dari epitaph anjing-anjing lainnya, dari epitaph seorang manusia. Pengalamannya di Klondike, Yakon yang dingin jelas adalah inspirasi dari trilogi ini, satu lagi buku Martin Eden jelas dalam pemburuanku. Melihat banyak pemburuan mangsa dan mulai ikut ambil bagian.
Kisahnya tentang anjing blesteran serigala. Ayahnya seekor serigala, memang, ibunya seekor anjing, tapi bukankah abang White Fang mengikatnya di hutan selama tiga malam pada musim kawin? Ya, ceritanya panjang berliku. Kita dirunut dari orang tua White Fang, masa kecilnya hingga akhirnya nanti berkeluarga. Runut, tenang, lalu mengganas tak terkendali. Bermula dari perjalanan dua manusia di tengah hutan bersalju dalam kereta yang ditarik enam anjing. Mereka ada perjalanan membawa mayat dalam peti Lord Alfred, perjalanan sulit itu berakhir bencana. “Pemakaman jarak jauh adalah sesuatu yang tak sanggup kita dapatkan.” Satu persatu anjing penariknya tewas diterkam, serigala liar. Pertama Fatty, lalu Frog, berikutnya Spanker, lalu Bill bersumpah. “Terkutuklah jika aku melakukannya. Aku sudah bilang tak akan minum kopi kalau ada satu ekor anjing yang menghilang lagi, dan aku tak akan melakukannya.” Apakah terhenti? Tidak, perjalanan ke Fort McGurry masih panjang. Anjing keempat dan pada akhirnya pada kedua manusia itu terhempas, tersudut menanti maut. “Aku pernah dengar para pelaut membicarakan ikan hiu yang mengitari sebuah kapal. Serigala adalah hiu darat. Mereka lebih memahami urusan mereka dan mereka bukan mengikuti kita demi alasan kesehatan. Mereka akan membunuh kita. Mereka pasti akan membunuh kita.”
Berikutnya kita fokus pada binatang penarik segala bencana ini, serigala betina penggoda. Kalau ini digambarkan manusia, pastinya sangat cantik sampai menjadikan pertarungan pertaruhan demi menjadi pasangannya. Serigala liar itu saling bunuh dan bantai demi cinta serigala jelita ini, dari kawanan ini pada akhirnya yang tersisa hanya empat ekor, serigala betina, pemimpin muda, si mata satu dan serigala berumur tiga tahun yang ambisius. Saya sempat meprediksi bakalan menjadi pasangan muda, tapi ternyata tidak. Jack dengan berani mematikan mereka yang ambisius dan kokoh, yang menjadi pemenang adalah One Eye yang tua dan terluka. Karena ini adalah pencitraan alam liar, tragedi seks dunia alami yang hanya menjadi tragedi bagi mereka yang mati. Bagi mereka yang tidak mati, ini bukan tragedi, melainkan kesadaran dna pencapaian. Mereka menjalin cinta di tepian Mackenzie River, memadu kasih dan memiliki lima bayi serigala yang dirawat di gua. Nah disinilah sisi hebat buku ini, filosofis dan sungguh hebat kata demi kata yang disaji. Bukan pertama kalinya hal semacam ini terjadi dalam hidupnya yang panjang dan sukses. Ini sudah sering kali terjadi, tapi setiap kali selalu terasa mengejutkan baginya.
Jack dengan jeli menanamkan diri dalam bayi abu-abu serigala, bagaimana ia membuka mata, kelaparan menanti ibunya untuk memberi susu atau gumpalan daging lembut. Sisi manusiawi yang tersentuh dalam kaca mata bayi binatang. Menghilang di balik dinding merupakan keistimewaan ayahnya, seperti susu dan daging setengah cerna yang menjadi keistimewaan ibunya. Cahaya menarik mereka seakan-akan mereka tanaman, reaksi kimia kehidupan yang membentuk mereka menuntut cahaya sebagai sebuah kebutuhan hidup, dan secara kimiawi tubuh kecil mereka merangkak tanpa melihat. Yang terkuatlah yang bisa bertahan di kerasnya hidup, empat saudara abu-abu meninggal. Ia mendapati populasi dunianya sudah berkurang. Hanya tersisa satu saudara perempuannya. Saudarinya terus tidur, jerangkong kurus berbalut kulit yang nyala apinya semakin lemah, lemah dan akhirnya padam. Dan bayi serigala ini mencoba mencari jawab terhadap ‘sebuah dinding putih’ yang di sini adalah pintu tempat tinggalnya. Ia tidak tahu apapun mengenai konsep pintu. Ia tidak mengenal tempat lain, apalagi cara mencapainya. Jadi baginya pintu masuk gua adalah sebuah dinding – dinding cahaya. Dinding melompat di depan matanya. Ia menduga dirinya dalam dinding.
Bayi abu-abu belajar di dunia luar sendirian setelah lapar menyergap dan orang tua mereka tak kunjung datang. Menyaksikan arti bertahan hidup di sekeliling. Lynx dan landak sama-sama menunggu, masing-masing bertekad untuk hidup. Dan itulah sisi menarik dari permainan ini, jalan hidup satu makhluk bergantung memakan makhluk lain, dan jalan hidup makhluk satunya bergantung dengan tidak dimakan. Rasa takut! Tahukah kau, mereka sudah yakin mengenai kita. Sementara itu, mereka bersedia memakan apa pun yang bisa mereka temukan dan makan. Warisan alam liar yang tidak bisa dihindari maupun ditukar dengan makanan oleh hewan mana pun. Ada adegan unik, saat sang serigala muda ketakutan akan serangan elang. Dan tahulah kalian secara harfiah, ini adalah derby Roma. Elang memang terlalu perkasa, mengintai di udara, menerkam segala yang bisa dimakan di darat, serigala terbirit-birit. Ia tidak pernah merasakan sakit terjatuh, ia tak tahu apa itu jatuh. “Hewan itu tahu lebih banyak dari yang seharusnya diketahui oleh seekor serigala penuh harga diri.”
Didikan alam liar menjadikan bayi abu-abu kuat, adaptifnya yang cepat juga menempanya menjadi serigala pemburu yang tak kenal ampun. Ia menjadi kuat karena pernah tahu dirinya terancam hewan lain sehingga tahu apa itu mangsa. Tubuhnya yang mengagumkan ini, kulit yang hidup ini tidak lebih dari seonggok daging, sebuah pemburuan hewan-hewan lapar, yang akan dicabik dan disayat oleh taring-taring lapar, dijadikan makanan bagaikan rusa dan kelinci yang sering kali menjadi makanan mereka. Ia memiliki kekuatan alam. Rasa takut luar biasa menderanya, ini dunia asing yang mengerikan. Karena sesuatu yang asing merupakan elemen utama yang menyebabkan rasa takut. Pertumbuhan adalah kehidupan, kehidupan selamanya ditakdirkan untuk cahaya. Cahaya ya cahaya itu adalah kehidupan di luar gua, di alam liar, di dunia ini. Ia juga dibuat pening oleh perluasan ruang yang mendadak dan luar biasa ini. Sehingga ia mengenal rasa sakit, dan yang paling penting, ia belajar cara menghindari rasa sakit, pertama-tama dengan tidak megambil risiko akan sesuatu yang sakit. Ia mendapati dirinya menjadi seorang petualang di sebuah dunia yang benar-benar baru.
Di dunia ini tidak semuanya bebas, bahwa di dalam hidup ada batasan dan kekangan. Seluruh batasan dan kekangan ini merupakan aturan, mematuhi aturan itu merupakan jalan untuk menghindari rasa sakit dan jalan untuk mendapat kebebasan.
Bayi abu-abu tahu rasanya sakit saat ayahnya tak terlihat lagi beberapa lagi, tak kembali memberinya makan. Di tepi sungai dan sekelilingnya menjadi tempat bermain dan mencari mangsa. Alam liar tetaplah alam liar, dan ibu adalah ibu, selalu sangat protektif, entah di alam liar atau bukan. Ibunya tetap menjaga, tapi sampai kapan? Karena musim berganti, masa sulit datang dan pergi. Maka bayi abu-abu belajar mandiri. Ia baru saja menghancurkan beberapa makhluk hidup kecil. Sekarang ia akan memusnahkan makhluk hidup besar. Waktu demi waktu menjadikan pengalaman berharga. Ia terlalu sibuk dan bahagia untuk menyadari ia bahagia. Tujuan kehidupan adalah daging, kehidupan itu sendiri adalah daging. Kehidupan hidup dari kehidupan. Ada pemangsa dan mangsa, aturan adalah makan atau dimakan. Baginya kematian adalah rasa sakit yang paling hebat. Kematian adalah inti dunia asing gabungan seluruh teror dunia asing, satu-satunya bencana tak terduga dan tertinggi yang terjadi padanya. Hantu penasaran dari kebaikan dan kekuasaan yang diimpikan, potongan jiwa ke alam arwah.
Benar-benar filosofis kehidupan. Apa bedanya dengan manusia? Mencoba bertahan hidup di tengah pencakar langit yang sombong menjulang. Nah, sehalanya berubah ketika si abu-abu beranjak dewasa dan menemukan manusia. Rombongan manusia, asing dan tampak sangat berbeda dengan makhluk lain. Kekuasaan mereka akan benda-benda mati, kemampuan mereka untuk mengubah wajah dunia. Abu-abu lalu takluk oleh mereka, mengikuti hidup dalam perkemahan, merelakan kebebasannya dengan mau diikat.
Dan disinilah akhirnya kita tahu asal judul buku ini. White Fang – taring putih, bos pertama mereka memberi nama. Perubahan besar ini membuatnya dilema. Rasa penasaran pertumbuhan yang menyemangatinya – kebutuhan untuk belajar, hidup, dan melakukan sesuatu yang menghasilkan pengalaman. Dan dalam perkumpulan perkemahan ini, ia mengenal anjing lain. Lip-lip yang sombong dan seolah pemimpin binatang warga. Ini adalah perkelahian pertama dari banyak perkelahian yang dilakukan dnegan Lip-Lip, karena mereka musuh sejak awal, terlahir seperti itu, dengan sifat-sifat yang ditakdirkan untuk saling selalu bertentangan. White Fang sempat ingin kabur. Ia rindu pada rumah. Berlari kencang, menyongsong gua tepi sungai tapi ternyata sifat alami tunduk pada dewa mengantarnya mengikuti jejak langkah perkemahan. Desakan insting-insting sama yang membuatnya melolong pada bulan dan bintang di malam hari, dan membuatnya takut pada kematian dan dunia asing.
Begitu banyak hewan-manusia, pria, wanita, dan anak-anak semuanya mengeluarkan suara dan mengesalkan. Tidak dibutuhkan keimanan besar untuk mempercayai dewa semacam itu, tidak ada tekad kuat yang sanggup menyebabkan keingkaran terhadap dewa semacam itu. Tidak ada cara menghindarinya. Saat mengetahui ibunya sudah berubah, saat itu juga White Fang harus kuat. Hidupnya kini di tangan para dewa, dari satu tangan ke tangan lain, dari perkelahian satu ke perkelahian lain. Seekor anjing lengah, yang pundaknya tercabik atau telinganya robek sebelum ia menyadari apa yang terjadi, adalah anjing yang sudah separuh terkalahkan. Sebelum mengenal para dewa, Kiche adalah pusat semesta baginya. Dan sifat-sifat manusia yang berbeda tipa individu menghasilkan cinta benci yang tarik ulur. Sebenarnya ini merupakan kompensasi, karena selalu lebih mudah untuk bergantung kepada orang lain daripada berdiri sendiri.
Lempung White Fang sudah dibentuk hingga ia menjadi dirinya yang sekarang, pemurung dan kesepian, tidak penyayang dan galak, musuh bagi semua kaumnya. Sekolah kehidupannya lebih tangguh dan ia sendiri lebih tangguh. Vitalitasnya terlalu besar, cengkramannya pada kehidupan terlalu kuat. Dan pada akhirnya White Fang menemukan cinta, seorang manusia memberinya perlindungan, memberikan pelukan sayang dan makanan yang mencipta timbal balik. Endingnya seolah adalah cerita awal The Call, terlalu manis dan sempurna. Apa yang kamu tanam ya kamu tuai. Hidup serigala yang keras dan liar kini tenang dalam peluk dekap para dewa yang mencintainya.
Dengan resiko apapun harus tetap bergerak, terus bergerak, karena gerakan adalah ekspresi dari keberatan. Ia berlari sepanjang hari. Ia tidak beristirahat seakan-akan ia diciptakan untuk berlari selamanya. “Aku menyerahkan diriku di tanganmu, ketahuilah aku di bawah kehendakmu.”
White Fang | By Jack London | Diterjemahkan dari The Project Ebook of White Fang, by Jack London | Release date: March 16, 2005 [ebook #910] | [Last update: March 2, 2011] | Penerjemah Harisa Permatasari | Penyunting Jia Effendie | Proofreader Bernard Batubara | Desain sampul Amanta Nathania | Penataletak Landi A. Handwiko | Penerbit GagasMedia | Cetakan pertama, 2014 | vi + 330 hlm.; 13 x 19 cm | ISBN 979-780-700-2 | Skor: 5/5
Karawang, 120319 – Nikita Willy – Ku Tetap Menanti
*) Dibaca dalam sekali waktu dari siang sampai malam minggu pada tanggal 23 Feb 19 di lantai satu Blok H-279 bersama dua cangkir kopi serta deretan Jazz, menikmati hidup. Hanya tersela ibadah dan panggilan pulang Hermione untuk bergegas keburu es krim di rumah meleleh.
Ping balik: Best Books of 2019 | Lazione Budy
Ping balik: 110 Buku Yang Kubaca 2019 | Lazione Budy