“Angin dari bukit yang masuk lewat jendela matamu / sebahis mengemas warna dan aroma bunga / di terjal perbukitan sana.”
“Kamu ini cengeng Sar, jualan gombal.” Buku kedua beliau yang kubaca, kubaca dalam sehari ini di libur Nyepi. Sayang sekali, buku ini seperti sinetron kejar tayang. Selain tipis, ceritanya juga buru-buru, seolah memang dipaksakan jadi. Melihat histori judul, sejatinya hebat. Dari puisi menjadi lagu, kemudian komik, dan sudah ada filmnya. Saya belum menikmati semuanya, baru novel ini. Kurang berkesan. Beda medium, beda eksekusi dan cerita dalam novel terlalu mendrama, memang kurang menarik kisah-kisah orang berduit, pintar, tampan sekalipun dari kelas menengah, jelas Hujan Bulan Juni minim konflik. Itu gila Ping! Aku mau contek puisi itu, hihi..
Ceritanya tentang Sarwono, seorang Jawa tulen yang pintar dari keluarga biasa. Menjelma penting ketika memiliki otak cerdas. Lulus di Univertas Negeri adalah gengsi, seorang penyair yang jatuh hati dengan perempuan Menado-Jawa. Ayah Menado keluarga Pelenkahu, Ibu Jawa, ketemu di Makassar. Pinkan adalah gadis ideal, pintar, cantik, memiliki harmoni keluarga. Mereka berdua adalah orang pendidikan UI. Kisah ini dibuka di Yogyakarta. Sarwono mencipta puisi, dedikasi untuk Pingkan yang ada di Kyoto, Jepang. Gerimis itu, Sarwono kurang enak badan. Badannya yang kerempeng, punya rimawat penyakit paru, dan saat puisi itu dimuat di Koran lokal. Ia pun mengabari sang kekasih. Lalu lini kisah mundur ke masa-masa sangat awal, bagaimana mereka bertemu untuk saling kasih.
Pingkan adalah adiknya Benny, teman sekolah Sarwono. Tanpa aku kirim pun, karena puisi itu shaman tentu pesannya sampai ke Kyoto. Kalau kawin sama orang Jepang, mana mau suaminya ikut ke Indonesia.
Sarwono, bisa saja bermula dari sarwo ono –serba ada. Tapi bisa juga menjadi sar wono – kesasar di hutan. Hal kecil ini jadi agak meribut lucu untuk didiskusikan dengan pasangan, yang pasti namanya sangat Jawa. Pingkan menyebutnya Jawa zadul. Lalu bagaimana dengan Pinkan? Well, nama ini yang memberikan adalah ibunya. Sarwono yang Jawa adalah muslim, Pinkan yang Menado adalah non muslim. Kisah cinta beda agama ini sebenarnya bukan hal baru, ayah Pingkan noni, Hartini, ibunya muslim toh bisa bersatu. Hanya harus ada yang mengalah. Justru bagus sekali kisah cinta orang tua Pingkan. Menikah OK, ikut beralih keyakinan diam. Tapi di Jawa kalau gadis ditanya diam itu artinya mau lho.
Kisahnya menyinetron sekali, cocok untuk cerita remaja ketika Sarwono dikirim ke Menado ke kampus Universitas Sam Ratulangi untuk observasi kemungkinan menambah jurusan di sana, lalu mereka melanjutkan perjalan ke Gorontalo. Dan kalian bisa dengan mudah menaruh romantikanya dengan trik, Sarwono mengajak Pingkan dalam perjalanan ini. Yah, tugas kampus sebagaimana seharusnya tersirat cinta. Perjalanan darat 10-12 jam Menado-Gorontalo inilah cerita kasih potensial dicipta. Tenang, tak banyak akan kalian temui istilah akademi karena memang mayoritas ya cerita roman bagaimana dua sejoli ini tarik-ulur meminta kepastian akankah mereka mau bersatu.
Pingkan yang mendapat beasiswa pendidikan master ke Jepang, jadwal keberangkatan dimajukan. Dan ketika kedua keluarga sejatinya sudah merestui untuk pernikahan mereka, Pingkan terbang ke Negeri Sakura dalam keceriaan menyambut masa depan pendidikan. Sementara Sarwono makin sibuk dengan tugas kampusnya, mereka selalu berhubungan via WA, saling kabar, tukar foto, sampai cerita-cerita terbaru. Sarwono selalu cemburu sama sensei-nya yang lajang bernama Katsuo aka Sontoloyo. Dan sebagai bumbu tambahan, Pingkan juga menaruh alarm terhadap Dewi, rekan kampus asli Sunda yang suka menggoda lakinya. Aku rindu kamu Ping! Sedaaap…
Saya yang sudah kepala tiga, menikmati roman murahan gini ga terlalu masuk. Padahal mereka juga sudah bukan remaja, sudah pada dewasa, sudah berniat akan menikah, masak hal-hal kayak gini masih disodorkan Sapardi? Apalagi saat kita tahu kondisi Sarwono yang melemah, sebagai penyair seharusnya open minded bukan cemburu dan waspada takut Pingkan tak pulang karena digondol pemuda Jepang.
Saat bab mendekati akhir, akhirnya kita tahu ada sesuatu yang salah. Akankah kisah cinta ala remaja yang bukan remaja ini berakhir bahagia? Ataukah ada pihak ketiga? Ataukah jadi takdir mereka bersatu atau ada nasib buruk menimpa. Endingnya ketebak, tapi ya lumayan OK sih, agak menyelamatkan. Cocok sekali puisi dua halaman yang ditulis di Yogyakarta di awal itu termaktub dalam bab lima sebagai penutup. “Sake kok disamakan ciu, sake modern, ciu primitif.”
Hebat juga, buku yang kubaca ini adalah cetakan keduabelas. Laris manis hanya dalam dua tahun setelah rilis. Buku-buku Sapardi memang selalu menghiasi rak best seller di toko buku daring atau toko buku konvesional. Kebanyakan puisi, saya sih belum sempat menikmati kumpulan puisi beliau, tipis mahal. Trilogi Soekram yang kunikmati dua tahun lalu pun pinjaman, kurang terkesan jua. Buku ini juga pinjaman, seusai baca ulas akan kukembalikan. Setelah dua buku yang kurang gereget apakah masih ada minat menikmati berikutnya? Ya, asal gratislah. Kesan pertama dan kedua itu sungguh berharga.
Kamu ga akan otomatis hebat saat sebut orang-orang hebat. Hepburn style. Jazz klasik menjadi teman Sarwono, apakah membuat terkesan? Enggak. Saya juga menikmati jazz, album Legacy of Jazz nada-nadanya sudah saya hafal, tapi ya ga membuatku terlihat hebat kok. Biasa saja. Kamu bisa saja mencipta karakter sempurna. Cerdas level Einstein, romantis sekelas Romeo, sampai terkekeh-kekeh lucu bak Punakawan, tapi cerita tetap yang utama. Apa menariknya mencipta karakter baik, justru cerita baik itu berisi karakter ga baik. Sarwono terlalu mencoba menjelma Pujangga, yang secara otomatis mengarah ke sang Penulis sendiri. Dan begitu terasa ini adalah penggalan pengalaman pribadi karena Sapardi lahir di Solo, runutan di Keraton Solo itu pas sekali. Memoir tersirat. Pingkan terlalu indah untuk dipalingkan, gadis keturunan Menado-Jawa yang eksotik. Di Menado Pingkan disebut Jawa, di Jawa ia dikenal sebagai Menado. Nah lo. Sayang sekali sih, ga sampai bacok-bacokan atau memunculkan teriakan histeris bombastis, kisah cinta yang ditawarkan klise. Sungguh klise. Romantisme cengeng. Mungkin agak rasis, bagaimana suku dan agama dibahas, diulas sebagai penghalang penyatu dua cinta. Sudah banyak juga, dari zaman Hamka, HB Yasin sampai Eka Kurniawan. Banyak tema untuk digubah terkait cinta dua warna. Makanya bagiku ga masalah sih, kita di era digital sekarang ini toh, sudah lintas SARA, open minded. Yang saya keluhkan cuma ceritanya. Klise sekali. Semaju apapun Menado, mereka tak punya kereta api. Makanya banyak orang ke Jawa untuk naik mereta api Jakarta-Surabaya terus ke Menado.
Di atas pohon yang tinggi / dekat sebuah lading sunyi / terdengar burung bernyayi / memanggil-manggil pacarnya kembali / aduh sepi / malam memilih hati
Double sip! Kasih sayang adalah Kitab Suci yang tersirat.
Hujan Bulan Juni | Oleh Sapardi Djoko Damono | GM 615202005 | Copyright 2015 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan keduabelas, Agustus 2017 | Editor Mirna Yulistiani | Copy editor Rabiatul Adawiyah | Desainer cover Iwan Gunawan | Setter Fitri Yuniar | ISBN 978-602-03-1843-1 | Skor: 3/5
Karawang, 070319 – Duke Ellington & His Cotton Club Orchestra – The Moocher (1999 Remastered)
Nyepi Day – Thx to Bus Taka Taman Kota Galuh Mas
Ping balik: 110 Buku Yang Kubaca 2019 | Lazione Budy