“Mungkin hidup yang kupikir kujalani ini adalah suatu delusi paranoid. Dalam kesaksian lebih baik mengarang sesuatu daripada bilang tidak punya apa pun untuk dibeberkan.”
Inilah buku yang paling kutunggu di tahun 2018. Isu novel akan diterjemahkan sudah muncul bulan Oktober 2017. Saat itu WAG Bank Buku langsung ramai mengantisipasi. Tahun 2018 awal dalam proses, kiranya akan terbit pertengahan tahun. Mulai hilang rasa sabar untuk rilis tahun itu saat November, karena semakin mundur prosesnya, pihak Penerbit memberi jawab: hati-hati menterjemahkannya agar bagus, dan tak mengecewakan. Saat harapan meredup, akhirnya pada tanggal 28 Desember 2018 akun twitter resmi Gramedia mengumumkan bahwa buku rilis tanggal 31 Desember 2018 bersama Exit West karya Mohsin Hamid dan The Mystery of Three Quarters, buku ketiga Sophie Hannah seri Poirot. Wew, benar-benar di ujung tahun. Saya langsung ke Gramedia Karawang sepulang kerja, saya telurusi rak new release ga nemu, saya search di komputer ga ada. Kecewa. Huhuhu… esoknya di tahun baru saya japri ke akun ig Gramedia Karawang menanyakan, dan ternyata sudah tersedia hari itu. Maka selepas liburan di Wonderland Waterpark Galuh Mas saya mampir untuk beli novel ini (dibanderol 109.000) dan biografi Pelukis Hendra karya Agus Darmawan T (dihargai 95.000). Angka yang cukup untuk mendapat cash back 40.000. Di bulan Januari pula, buku ini kuselesaikan baca di tengah duka dan perenungan. Kami sudah belajar melihat dunia melalui potongan celah-celah.
Kisahnya memang rumit, sedari awal. Setelah opening quote terdiri dari tiga hal, yang memang mewakili dengan pas isi cerita, saya kutip ulang di sini:
#1. Ketika dilihat Rahel, bahwa ia tidak melahirkan anak bagi Yakub, cemburulah ia kepada kakaknya itu, lalu berkata Yakub: “Berikanlah kepadaku anak; kalau tidak, aku akan mati.” Maka bangkitlah amarah Yakub terhadap Rahel dan berkata: “Akulah pengganti Allah, yang telah menghalangi engkau mengandung?” Kata Rahel: “Ini Bilha, budakku perempuan, hampirilah dia, supaya ia melahirkan anak di pengkuanku, dan supaya oleh dia aku pun mempunyai keturunan.” – Kejadian, 30:1-3
#2. Untuk diriku sendiri, setelah lelah selama bertahun-tahun menawarkan pikiran-pikiran kosong, hampa, sia-sia, dan setelah sekian lama putus asa untuk mencapai keberhasilan, untungnya aku mendadak punya proposal ini… – Jonathan Swift, A Modest Proposal
#3. Di padang pasir tak ada papan petunjuk yang bertuliskan, Kau tidak boleh makan batu. – Pepatah Sufi
Seperti judulnya, ini kisah tentang handmaid, para perempuan yang mengenakan gaun merah dan sayap putih. Dengan sudut pandang orang pertama bernama Offred, tapi itu nama baru. Ia punya nama lain yang sekarang tak dipakai oleh siapapun karena itu dilarang. Ia mengatakan pada dirinya sendiri itu tidak penting, namamu seperti nomor teleponmu, berguna bagi orang lain. Termasuk para handmaid lain: Alma, Janine, Dolores, Moira dan June. Sahabatnya. Mereka dikisahkan pasif, dan sangat berhati-hati. Aturan-aturan yang tak pernah diucapkan namun diketahui setiap perempuan: jangan membuka pintu untuk orang yang tak dikenal, bahkan kalau dia mengaku seorang polisi. Peluang mengetahui dunia luar salah satunya dengan belanja. Berbelanja adalah tempat kau mungkin bertemu seseorang yang kaukenal dari masa lalu atau Red Center. Berita sekecil apapun sangat berguna. Kadang-kadang mereka berharap dia menutup mulutnya dan membiarkanku berjalan dengan tenang. Tapi handmaid haus berita, berita apapun; bahkan kalau itu berita palsu, pasti ada maknanya.
Setelah kalimat-kalimat panjang yang membingungkan, akhirnya kita tahu bahwa ini adalah sebuah kisah masa depan yang runtuh. Sebuah Negara yang dikudeta, menata ulang segalanya dari awal. Keadilan dibenamkan ke lumpur terdalam, seolah masa kembali ke era kegelapan. Ketika kami memikirkan masa lalu, hal-hal indahlah yang kami munculkan. Kami ingin percaya bahwa begitulah adanya waktu itu.
Ada bagian yang berulang, seolah karakter bernama Bibi Lydia adalah malaikat pemberi petunjuk yang harus ditaati, dihormati dan pemberi safaat. Beberapa diantaranya: (1). Ada lebih dari satu macam kebebasan kata bibi Lydia, kebebasan untuk melakukan sesuatu dan kebebasan dari sesuatu. (2). Perempuan-perempuan ini bisa saja terbuka, atau tidak sepertinya bisa memilih waktu itu. Kita dulu adalah masyarakat yang sekarat, kata bibi Lydia, karena terlalu banyak pilihan. (3). Bersikap rendah hati berarti tidak menampakkan diri kata bibi Lydia, jangan lupakan itu. Menampakkan diri sama artinya disetubuhi. Kalian para gadis seharusnya suci, tak disetubuhi. (4). Kewajaran, kata bibi Lydia adalah hal-hal yang kau terbiasa. Ini mungkin tak terlihat wajar bagimu sekarang, tapi setelah sekian waktu akan begitu. Ini akan menjadi wajar. (5). Bukan para suami yang harus kalian waspadai, kata bibi Lydia tapi para istri, kalian harus selalu membayangkan perasan mereka. (6). Di dalam kamar mandi, di dalam bak mandi, kau sangat rentan kata bibi Lydia, ia tak bilang terhadap apa. (7). Rambut harus panjang, tanpa ditutupi kata bibi Lydia. (8). Kalau kalian punya banyak barang, kata bibi Lydia kalian terikat pada dunia fana dan melupakan nilai-nilai kerohanian. Kalian harus menghidupkan semangat kemiskinan. Berbahagialah orang yang lemah lembut. (9). Kata bibi Lydia, untuk apa menghantamkan kepala ke tembok? Kadang gambaran yang dia katakana begitu mengerikan. (10). Ini adalah jantung negeri, di sini aku memiliki hidup yang begitu berkecukupan, semoga Tuhan membuat kita bersyukur, kata bibi Lydia. (11). Mereka memberi kami kesempatan untuk membiasakan diri terhadap waktu kosong. Tidur-tidur ayam kata bibi Lydia, dengan gaya seperti malu-malu. Dan seterusnya… di buku ga dijelaskan runut seperti ini, terserak dan dituturkan bagian demi bagian, sungguh aneh, hal remeh temeh diatur, sabda-sabda tak bertuah. Nantinya di bagian akhir barulah terang, efek melawan aturan ini sungguh mengerikan. Ada hal-hal yang tidak boleh diberitahukan kepadaku, kau lebih baik tidak tahu, hanya itu yang dapat kukatakan.
Pace cerita sangat lambat, hari demi hari yang hampa dan bagaimana cerita mengalir secara tenang. Aku ingin percaya ini suatu kisah yang kuceritakan. Aku perlu percaya itu. Aku harus percaya. Kita adalah orang-orang yang tak masuk koran. Kita dulu tinggal di bagian putih kosong di pinggir koran. Tinggal di sana memberi kita kebebasan lebih. Kita dulu tinggal di jeda antara cerita-cerita. Memang era yang suram, mayat-mayat digantung sebagai wujud intimidasi penguasa terhadap rakyat. Kami memang seharusnya memandanginya: itu gunanya mayat-mayat itu di sini, tergantung di tembok. Mayat-mayat itu tergantung adalah para penjelajah waktu, manusia-manusia yang menyalahi zaman. Mereka datang kemari dari masa lalu. Karena aku menceritakan ini kepadamu, aku menciptakan keberadaanmu. Aku bercerita maka kau ada.
Sebagian disampaikan dengan puitis. Bulan adalah batu dan langit ini penuh dengan benda-benda yang mematikan, tapi demi Tuhan betapa indah pemandangannya. Pengetahuan adalah percobaan. Mungkin aku tidak benar-benar ingin tahu apa yang sedang terjadi. Mungkin sebaiknya aku tidak tahu. Mungkin aku tidak sanggup untuk tahu. Kajatuhan pertama manusia dalam dosa adalah kejatuhan dari kemurnian ke dalam pengetahuan. Cerita satu arah seperti ini memang lebih mendalam menggunakan ‘keakuan’, karena seolah sang pencerita mendongengkannya kepada pembaca. Kau tidak menceritakan suatu kisah hanya untuk dirimu. Selalu ada orang lain.
Setiap bab, kita ditunjukkan penutup malam. Malam hari adalah milikku sendiri untuk dipakai semauku asalkan kau tak bersuara. Asalkan kau tak bergerak. Asalkan aku tiduran diam. Namun ga setenang itu, karena sutau malam sang Komandan mengundang ke kamarnya, untuk bermain kartu. Kesenangan masa lalu yang exclusive. Sesuatu itu berharga hanya karena menjadi langka dan sulit didapatkan. Termasuk pamer, barang-barang yang di masa normal biasa saja, di era itu jadi begitu menawan. Alkitab itu alat yang berbahaya: siapa yang tahu apa yang akan kami lakukan dengannya kalau sampai jatuh di tangan kami? Kami boleh mendengarkan sang Komandan membacakannya pada kami, tapi kami tak boleh membacanya. Kita bukan di posisi untuk bertanya mengapa. Aku tetap bertanya demi ritual kesopanan.
‘Kesenangan’ itu jelas terlarang. Tuhan bukan satu-satunya pihak yang tahu, jadi mungkin ada cara untuk mencari tahu. Aku harus ingat, baginya aku hanya keinginan sesaat. Dan kesempatan membaca buku-buku lama yang dulu dimusnahkan. Setiap melihat peluang menikmati buku, ia berusaha sekuat tenaga mengingat. Siapa yang bisa mengingat rasa sakit begitu rasa itu telah hilang? Yang tersisa darinya hanyalah bayang-bayang, bahkan tidak di dalam pikiran tetapi di dalam daging. Rasa sakit menaruh tandanya padamu, tetapi tanda itu terlalu dalam untuk dilihat. Tak terlihat, tak terpikirkan. Ada kalimat yang menjadikan penasaran: Sum es est, sum us estis sunt. Nolite te bastardes carborundorum. Sang Komandan dengan enteng bilang artinya, “Jangan biarkan para bajingan itu menindasmu.” Ironis bukan? Dan dengan masam kita dipaksa senyum. Ia diam seribu bahasa, kesunyian melingkupi. Tapi kadang-kadang diam juga sama berbahayanya. “Ya, kami sangat bahagia.” Gumamku. Aku harus mengatakan sesuatu. Apa lagi yang bisa kukatakan? Bagaimana mungkin kami tahu kami bahagia, bahkan pada waktu itu. Sebab setidaknya kami punya itu, lengan-lengan untuk memeluk. Mencoba memasukkan informasi sebanyak mungkin ke dalam kepalaku sebelum menghadapi masa kelaparan berikutnya. Kalau ini makan, maka akan setara dengan kerakusan mereka yang kelaparan, kalau ini hubungan seksual, makan akan setara dengan hubungan seksual yang cepat dan diam-diam, dilakukan dengan berdiri di suatu gang.
Fakta berikutnya yang bikin trenyuh adalah bahwa para handmaid bertugas melahirkan. Fungsi kami adalah penghasil keturunan: kami bukan selir, geisha, wanita penghibur. Sebaliknya segala sesuatu telah dilakukan untuk mengeluarkan kami dari kategori itu. Kami adalah Rahim dua kaki, itu saja. Wadah-wadah suci, cawan-cawan suci berjalan. Kecemburuan bisa mencelakainya, sebelumnya ada kasus seperti itu, semua anak diinginkan sekarang ini, tapi tidak oleh semua orang. Melahirkan adalah kerja keras, kau seharusnya berkonsentrasi. Bagaimana mungkin aku iri terhadap seorang perempuan yang jelas-jelas mandul dan tidak bahagia? Kau hanya bisa iri terhadap seseorang yang memiliki sesuatu yang menurutmu seharusnya kau miliku juga.
Ini juga tentang kesepian-kesepian. Bicara dengan dinding. Aku akan pura-pura kau bisa mendengarkanku. Tapi percuma, sebab aku tahu kau tidak dapat mendengarkanku. Tidak ada orang yang mati karena kurang bercinta, kita mati karena kurang cinta. Sang Handmaid sering merenungkan masa lalunya menjanjikan bersama sang kekasih. Kini semua sirna. “Jangan sampai aku memergokimu berurusan dalam cinta, tidak ada cinta-cintaan di sini. Jarinya digoyang-goyangkan di hadapan kami, cinta tidak penting.” Apa yang berbahaya di tangan banyak orang, katanya dengan muatan ironi atau tidak, menjadi cukup aman bagi mereka yang motifnya tidak tercela. Kami tidak pernah mengucapkan kata cinta, tidak sekalipun. Itu namanya mencobai nasib; itu namanya asmara, nasib buruk.
Ketika kisah ditarik mundur, kita akhirnya tahu semua ini akibat perebutan kekuasaan. Kebahagiaan kami terbentuk sebagian dari ingatan. Memaafkan juga suatu kekuasaan. Memohon maaf juga suatu kekuasaan, dan tidak memberi atau memberi maaf adalah suatu kekuasaan, mungkin kekuasaan terhebat. Maka otomatis saya menyambungkannya dengan Negara kita yang saat ini jelang Pemilu, bukan hal mustahil bila puncak pimpiman dipegang orang yang salah, Negara bisa runtuh? Masa depan ada di tangan kalian. Di tangan kalian. Tangan-tangan kamilah yang seharusnya berisi, masa depan yang dapat digenggam tapi tak dapat dilihat.
Suka sama karakter Moira yang melawan. Moira selalu lebih logis daripada aku. Tentang kenyataan bahwa dia suami orang, dia bilang aku mencuri wilayah perempuan lain. Sepanjang kisah ia menjadi semacam anomasi para handmaid, nasibnya di akhir juga dijelaskan, yang ternyata tak lebih baik dari mereka. Tinggal aku dan kau yang terpojok, sayang. Dia mengutip ungkapan yang biasa dipakai ibuku, tetapi dia tak bermaksud melucu. Iman hanyalah satu kata yang dibordir.
Dia tidak melakukan apapun dari kemungkinan-kemungkinan itu kuanggap sebagai kemurahhatian serta keberuntungan yang paling menakjubkan. Jelang akhir, ada bagian yang indah terutama saat kisah diputar ulang-ulang dan ulang. Aku menginginkan apa pun yang mematahkan kebosanan ini, mendobrak tatanan yang dianggap pantas. Aku harus percaya dia tahu. Di dalam kondisi serba kekurangan ini kau harus percaya pada segala macam hal. Bukan seperti itu kejadiannya. Lalu bukan seperti itu juga kejadiannya…. Begini kejadiannya. Well, pintar sekali memainkan pola. Fiksi yang melingkupi ketegangan.
Jangan berpikir seperti itu, kalau kau berpikir seperti itu, kau akan membuatnya terjadi. Harapan selalu ada, di tengah ketidakpastian nasib. Mayday. Mayday. Mayday. Itu dari bahasa Prancis berbunyi M’aidez, artinya tolong aku. Kami juga bisa diselamatkan. Seakan kode itu bisa disampaikan menembus langit dan diterima di ujung samudra. Yang harus kuhasilkan adalah sesuatu yang dibuat bukan sesuatu yang dilahirkan.
The Handmaid’s Tale jadi agak personal bagiku, ketika sebuah kenyataan pahit disampaikan. Dari semua mimpi, ini yang terburuk. Saya yang baru kena musibah, sempat tak kuat untuk melanjutkan baca saat sampai di bagian ini. “Pengalaman keduanya, tidak termasuk anaknya sendiri, dulu. Dia pernah keguguran saat hamil delapan bulan...” Menangis dan larut dalam kesedihan. Berita ini terdengar palsu, tidak masuk akal, seperti sesuatu yang kaukatakan di televisi. Aku tidak ingin menceritakan bagian ini. Aku berkata dalam hati bahwa aku terlalu gelisah untuk minum kopi lagi.
Buku yang butuh konsentrasi berlebih untuk menikmatinya. Seperti Never Let Me Go karya Kazuo Ishiguro yang megah dan futuristic, Kisah Sang Handmaid juga rumit dan berliku. Endingnya luar biasa, hukuman mati jadi semacam penghakiman wajar. Ya bisa jadi, kalau aku, aku akan memilih diberi waktu sebelum mati. Dan Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahanku. Bagian epilog semestinya ga perlu, jangan menggamblangkan suatu akhir yang indah. Masa lalu adalah kegelapan yang luas dan penuh gema. Suara-suara menggapai kita dari sana, tapi apa yang mereka katakan kepada kita diwarnai oleh ketidakjelasan yang melingkupi tempat asal mereka, dan sekeras apa pun mencoba, kita tidak selalu berhasil mengartikan suara-suara itu dengan tepat menggunakan pemahaman atau cahaya dari masa ini.
Aku ingin melihat apa yang bisa dilihat, melihat dia, mengamati dia, menghafalkan dia, menyimpan dia sehingga aku bisa hidup dari imaji itu nantinya. Kami adu diam selama mungkin. Ya Tuhan, jangan buat aku memilih.
Kisah Sang Handmaid | By Margaret Atwood | copyright O. W. Toad Limited 1985 | Diterjemahkan dari The Handmaid’s Tale | 618186020 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Stafanny Irawan | Editor Hetih Rusli | Sampul Staven Andersen | Pertama terbit Desember 2018 | ISBN 9786020619583 | ISBN Digital 9786020619590 | 448 hlm; 20 cm | Skor: 5/5
Unruk Mary Webster dan Merry Miller
Karawang, 040219 – Linkin Park – Plc 4 Mie Head
Kak baca yg The Mistery of Three Quartersnya?
SukaSuka
Belum. Ini buku pertama Atwood yang kubaca
SukaSuka
Mau berniat baca kak?
SukaSuka
Siapa yang bisa menolak Atwood? Masuk antrian ingin tentunya.
SukaSuka
Ping balik: Best Books of 2019 | Lazione Budy
Ping balik: 110 Buku Yang Kubaca 2019 | Lazione Budy