“Macam kumbang bisa mencium bau maut yang tak diindahkan oleh orang banyak.”
Terbitan Marjin Kiri selalu memuaskan. Setelah Dawuk, Ratu Sekop dan Rumah Kertas, kali ini giliran karya Penulis kelahiran Chile yang kunikmati. Kisahnya mengingatkanku pada Harimau Harimau nya Mochtar Lubis, tapi tingkatannya lebih rendah karena memang ini diniatkan pemburuan, bukan dipaksa keadaan terperangkap. Yah, walaupun Pak Tua juga sejatinya agak kepaksa tapi dia masih punya pilihan lain sebelum tarung dengan sang buas. Harimau Harimau terbit terlebih dulu, situasi begitu pelik, temanya berat karena menyangkut pengakuan dosa dan kekuatan untuk memaafkan. Pak Tua lebih kepada nurani untuk sesama.
Ini adalah novelet, tipis sehingga bisa dibaca cepat sebagai selingan istirahat siang dan jeda pulang kerja menunggu Magrib. Masih mending novelet sih ketimbang fiksi mini, yang barusan selesai baca, yang juga terjemahan Ronny Agustinus, buku pinjaman Titus Pradita, teman kantor. Buku ini hanya berisi 133 halaman, dicetak tipis dan benar-benar ramping. Marjin Kiri cetakannya bagus, hal-hal non teknis juga diperhatikan kok sehingga nyaman dibaca, tak ada typo, tak ada cacat produksi. Maju terus Para Penerbit Indi, kalian selalu ada tempat bagi para kutu buku! “Kau akan menangis sampai hatimu terkuras.”
Ceritanya tentang seorang tua yang menyepi, Antonio Jose Bolivar Proano adalah seorang perenung, duda yang menikmati hari tuanya dengan membaca buku-buku roman. El Rosario karya Florence Barclay berisi cinta, cinta di mana-mana. Tokoh-tokohnya menderita dan bergelut dengan cinta dan kepedihan begitu indahnya sampai lupnya kuyup oleh air mata. Ia tak bisa baca lancar, jadi membaca pelan melahap kata demi kata dengan santai, sangat santai malah, toh sudah senja mau ngapain buru-buru. “Pada segitiga siku-siku, hipotenusa adalah sisi seberang sudut siku-sikunya.” Meminjam buku di perpus, ia terpana pemandangan ada begitu banyak buku dalam satu tempat. Membacanya di rumah pinggir sungai, masa tua yang sejatinya ideal. Hujan mengurungnya dari segenap penjuru, memberinya privasi tak tertandingi. Sayang istrinya meninggal karena adaptasi di hutan yang tak sesuai harap.
“Sepanjang musim hujan ia terus merenungi nasib malangnya sebagai pembaca yang frustasi dan untuk pertama kalinya seumur hidupnya ia tahu bagaimana dikejar-kejar monster sepi. Monster yang mengerikan, kalau ia bersantai barang sejenak saja, monster itu langsung mendampratnya dan mendudukkannya sebagai pidato-pidato panjang yang lapar pendengar.”
Tema utama sejatinya bukan cara hidup lelaki senja, adalah eksploitasi alam yang membabi buta. Di sebuah hutan terpencil di Ekuador, alam yang asri tempat tinggal suku pedalaman Shuar, diusik pendatang. Dan sebuah pemicu ditekan membuat macan kumbang marah membalas membunuh warga serta para penambang.
Kisahnya sangat runut, pengenalan tokoh, pengenalan tempat, susunan plot, taruh konflik lalu meledaklah dalam klimaks. Pembukanya adalah dokter gigi yang menjalankan prakter di tepi hutan Amazon, pasiennya beragam, salah satunya ya Pak Tua Antonio yang saat gigi palsunya ga dipakai akan dibungkus rapi dalam sapu tangan. Pak Tua menjadi warga situ karena keadaan, istrinya meninggal dunia tak dikaruniai anak. Di hari-hari sepinya ia membaca buku. Antonio Jose Bolivar Proano sedikit tidur. Paling banyak lima jam semalam dan dua jam saat istirahat siang. Cuma itu yang ia butuhkan. Ia habisnya sisanya untuk membaca novel, merenungkan rahasia cinta, dan membayangkan tempat-tempat di mana kisah-kisah itu berlatar.
Daerah itu dikenal dengan nama EL Idilio, dikepalai walikota gendut yang sok kuasa, dipanggil dengan sebutan la Babosa, si Siput Lendir karena memang geraknya yang lelet. Antonio belajar dari penduduk asli, mendirikan rumah yang kokoh, memburu hewan dengan siasat perangkap jitu, mengambil seperlunya, belajar berburu dan meramu dan menyatu dengan alam. “Seramah kawanan monyet, secerewet kakatua mabok, dan besar mulut persis iblis.” Suatu keadaan menjadi gempar saat ditemukan mayat penambang emas yang mengenaskan di hulu. Ia dimangsa macan betina yang marah. Analis Antonis benar, para pendatang yang rakus berburu kulit binatang membunuh anak macan, sehingga memicu kemarahan induk. Semakin mencekam saat mayat berikutnya dan berikutnya, orang orang yang dikenal menyusul. Maka disusunlah tim ekspedisi berburu.
Seorang pemburu harus senantiasa ada dalam keadaan agak lapar, sebab rasa lapar mempertajam indra. Tim ini pertama-tama ke tempat Miranda, Si Gendut paling rempong, saat yang lain bertelanjang kaki, ia memakai sepatu bot, riweh memperlambat perjalanan. Sehingga saat memasuki daerah rawa sepatunya terendam, ia marah-marah. Haha, aneh sekali si bos. Perjalanan itu tak sedramatis yang kuharap, karena debat pendapat, strateginya bagaimana, adu mulut serta saling menyalahkan bagaimana menangani macan berakhir dengan Antonio sendirian head-to-head. Siapa selamat?
“Tak ada yang bisa mengikat kilat dan tak ada yang bisa mengambil mengambil kebahagiaan orang lain pada saat ia dicampakkan.”
Di akhir buku ada lampiran wawancara Bernard Magnier, UNESCO Courier tahun 1998. Sangat bervitamin. Karena ini adalah karya pertama Luis yang saya baca sehingga cukup bagus pengenalan karya Amerika Latin ke Pambaca baru Indonesia. Beberapa jawaban yang jleb saya kutip di bawah ini.
Ia pikir penulisnya cukup jitu untuk membuat jelas dari mula siapa bajingan. Dengan demikian kau bisa menghindari salah paham dan salah menaruh simpati. Ia sering mendengar bahwa kearifan tiba bersama usia, dan ia sedang menunggunya, percaya bahwa kearifan itu akan memberinya apa yang paling ia dambakan: kemampuan menuntun ingatannya agar tidak jatuh ke dalam perangkap-perangkap yang mereka pasang buatnya. Saya kira dorongan untuk menulis datang dari bacaan Fransisco Coloana, penulis Chile. Saya menulis karena keadaan. Saya juga menulis untuk radio dan teater yang menurut saya merupakan ajang latihan hebat bagi seorang penulis karena perlunya memenuhi tenggat waktu.
Sastra itu satu dan manunggal. Penulis yang berbeda mengambil jalan yang berbeda pula namun semua mengarah pada nasib yang sama. Sastra adalah persaudaraan yang hebat. Saya menulis karena hanya saya suka menulis. Saya tak mau bekerja apapun lainnya. Saya tinggalkan jurnalisme sepenuhnya demi sastra. Menulis itu pekerjaan. Saya tertawa kalau penulis mengklaim mengalami banyak penderitaan ketika menulis, kalau menderita begitu rupa, lalu buat apa mereka menulis – mereka toh tak perlu menjadi masokis. Saya menghargai kebebasan pembaca dan saya sama sekali tidak berharap memaksakan apapun pada mereka.
Saya ingin perbedaan ini dipahami, sehingga pembaca bisa berucap, “Saya suka buku-buku Sepulveda tapi yidak sependapat dengan pandangannya.” Atau “aku suka apa yang ia tulis, jadi aku ingin tahu pandangan-pandangannya.” Sastra adalah cara untuk mencapai tujuan.
Apakah Marjin Kiri sudah menterjemahkan karya Orlando Van Bredam? Kalau sudah bukunya yang mana? Kalau belum, saya menanti salah satu Penulis besar Argentina ini. Atau sekalian alih bahasakan karya Florence Barclay yang dibaca Pak Tua, pasti seru. Ditunggu.
Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta | By Luis Sepulveda | Copyright 1989 | Diterjemahkan dari Un Viejo que lela historias de amor, oleh Tusquets Editores, Barcelona | Penerjemah Ronny Agustinus, Desember 2005 | Cetakan kedua, Agustus 2017 | Desain sampul Tinta Creative Production| X + 133 hlm.; 12 x 19 cm | ISBN 978-979-1260-71-8 | Penerbit DV Marjin Kiri | Skor: 4/5
Karawang, 1091218 – Sherina Munaf – Akan Kutunggu
Thx to Titus Pradita.
Wah, rasanya udah lama banget ga blogwalking ke sini.. review bukunya banyak juga kaaak *,*
SukaSuka