Pulang – Leila S. Chudori

Pulang – Leila S. Chudori

Aku ingin ketika aku mati, pipiku tak ada jejak air mata. Aku ingin mati dalam keadaan tenang dan bahagia.”

Novel dengan plot tertebak gini harusnya menawarkan suatu alur yang mengecoh, bukan datar sesuai perkiraan pembaca. Pulang benar-benar cerita yang mengikuti garis aturan baku cerita standar. Dari A, B, C hingga Z semua runut tanpa ada banyak gejolak. Karakternya ga ada yang benar-benar asyik, semua sudah dipisahkan garis mana jahat mana baik. Protagonis semua tampan, cerdas dan memiliki pengetahuan luas terkait seni, budaya, literasi. Yang antagonis semua benar-benar buruk, hitam dengan tato dan beringas. Ini bukan sinetron, ini novel sastra yang menyabet peringkat satu tahun 2013!

Sebagai novel pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013, Pulang karya Leila S Chudori ga bagus-bagus amat. Kisahnya terlalu lempeng, lurus bak jalan tol. Konflik yang ditawarkan biasa, narasi lebih biasa lagi. Plot juga standar, walau bergerak tapi jelas tak banyak tanya, tak banyak hal baru yang diberikan, sungguh mengejutkan buku semacam ini menang penghargaan tertinggi Sastra tanah air. Ini adalah novel kedua beliau yang kubaca setelah Laut Bercerita yang juga biasa banget. Ingat, sejarah Indonesia 1965 dan 1998 saat ini sudah banyak diungkap, dibicarakan dan dibahas di berbagai tempat dan kalangan, jadi kalau kalian mencerita hal-hal yang sudah umum, yang sudah diketahui ya percuma. Tampilkan sesuatu yang tak banyak orang mengerti, beri kami asupan baca gizi, kami minta masakan lezat. Memamerkan kosa kata kutipan orang lain sah saja, mengetik ulang lirik lagu Penyanyi Barat juga diperbolehkan tapi tetap kualitas yang utama. Jelas, Pulang mengecewakanku.

Untungnya buku ini sekadar pinjam di bus taka taman kota Galuh Mas, bersama Gadis Pantai (yang luar biasa). Sudah feeling akan mengecewa sebab pengalaman dalam kisah Laut biasa, maka saat pagi ini (27/10) tuntas baca dan bergegas ulas, rasanya hampa. Bukunya tebal, menyentuh 400 halaman, tapi vitaminnya ga tebal. Novel ini justru mengingatkanku pada 5 Cm yang kosong, yang pamer lirik lagu dan kalimat orang-orang besar zaman terdahulu. Namun tak seekstrem bobrok 5 Cm, Pulang masih punya alur – walau ga wah jua. Masih bisa bergerak kisahnya, merunut sejarah Indonesia yang menggemparkan dalam pembersikan PKI – Partai Komunis Indonesia dan efeknya sampai ending era Reformasi 1998. Catat, kalau pengen yang lebih berkualitas, sekalian baca buku sejarah saja macam buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa atau untuk yang 1998 kita punya Detik-Detik Yang Menentukan-nya Pak Habibie. Kedua buku sejarah murni yang ditulis pakarnya, Pulang sekedar menukil, menyisipkan para karakter dalam dua kejadian besar itu serta mencipta keadaannya sendiri. Sayangnya gagal.

Kisah utamanya tentang Dimas Suryo, pemuda yang besar di era peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Jurnalis yang ‘beruntung’ karena saat pembersihan 1965 ia sedang tugas keluar negeri. Teman-temannya yang kiri atau disinyalir kiri ditangkap, dilenyapkan. Setelah mempir ke China, ia lalu melanjutkan hidup di pengasingan Perancis. Bersama teman-temannya yang juga dicengkam takut kembali menata hidup sembari memantau perkembangan Tanah Air. Dimas dicipta manis, mendapat jodoh bule yang hebat Vivienne Deveraux, punya keluarga yang manis dan teman-teman yang asyik serta keuangan yang lumayan Ok untuk seorang perantau negeri. Membuka restoran masakan nusantara dan dengan mudah bisa kita bilang sukses. Empat Pilar Tanah Air: Nugroho, Tjai, Risjaf dan Dimas. Walau pada akhirnya ia berpisah dengan istri dan bermasalah dengan putrinya, jelas hidupnya tetaplah lebih beruntung ketimbang rekan sejawat yang berakhir di pembasmian. Konflik yang disodorkan jelas, ia ingin pulang, mati dan dikubur di tanah kelahiran. Dan kita semua tahu tahun 1998, rezim Pak Harto runtuh sehingga saat kisah ini memiliki ujung di tahun itu kita tentu saja mudah menebak. Aku datang ke sini untuk menggali sejarah dan mendengarkan kisah korban tragedi 1965, ternyata aku menyaksikan kerusuhan lain. Polanya sudah ada, rel jalurnya sudah dicipta sejarah, dan Pulang tak memberi kelokan berbahaya, runut sehingga mudah sekali diikuti. Hufh

Para narator tampak sama semua, padahal mereka adalah tujuh pribadi yang berbeda. Bandingkan dengan cara A Game of Thrones-nya George RR Martin yang juga mengambil banyak sudut pandang, mereka disulap menjadi karakter dengan sifat dan tutur yang beda walau ditulis oleh Penulis sama. Pulang jelas gagal total, ketujuh orang yang bercerita sungguh sama plek. Bukan sekedar sifat atau pemikiran bahkan gaya bahasa, atau kalimat-kalimat langsung diujar pun mirip. Duh! Mending konsistensi ‘hodor hodor hodor’ yang kebal dan memikat ketimbang para karakter pintar tapi kosong. Bukan maksud membanding A Game dengan Pulang, jauh banget. Hanya mau bilang, kalau kita mencipa karakter beda ya narasinya juga harus beda, isi tiap kepala kan jua beda masak bisa mirip eh sama. Seolah Lintang, Dimas, Nugroho dkk itu Leila. Lalu buat apa bikin sudut pandang banyak dan tak dirubah? Mending ambil sudut pandang orang ketiga saat narasi berpindah ruang dan identitas.

Pas ketik ulasan saya akan save dalam folder ketemu nama file yang sama: Pulang. Sempat bimbang, lho kok ada file sama? Setelah saya edit penamaan, saya buka file itu yang ternyata ulasan Pulang, kumpulan cerita pendek Happy Salma. Saat cari referensi di google, menemukan Pulang yang lain bikinan Tere Liye. Alamak. Judul umum laiknya nama Agus atau Budi di Indonesia yang umum banget. Intermeso aja, lanjut…

Justru yang bagus bagian ilustrasi, tiap ganti bab akan ada gambar yang meng-adegan-kan sebuah kejadian. Beberapa berwarna, sebagian hitam putih. Seperti Bab Surat Berdarah, maka akan tertera kertas-kertas dengan bercak merah. Atau Bab Surti Anandari, maka kita bisa sepintas lihat sosok yang dimaksud. Atau Bab Diorama, maka sebentuk tangan mengepal seolah diorama kejadian dilukis. Bagus, unik, salut buat ilustratornya: Daniel ‘Timbul’ Cahya Krisna, lulusan ISI Yogyakarta yang sudah melakukan beberapa pameran karya. Jangan-jangan Pulang menang buka karena ceritanya tapi sisipan kualitet ini?

Setelah tiga pemenang Kusala terakhir: Kura-Kura Berganggut, Dawuk dan Raden Mandasia, saya coba menikmati mundur ke tahun-tahun sebelumnya dan menemukan Pulang di tahun 2013, saya justru remuk redam. Saat ini saya sudah siap baca Maryam yang menang tahun 2012. Moga bisa membangkitkan kepercayaan lagi.

Itu puja-puji tiga lembar endorsment di halaman depan omong kosong semua. Salah satunya, saya harus minta maaf Pak Seno, saya memuja karya Trilogi Insiden-mu (1. Saksi Mata, 2. Jazz Parfum dan Insiden, 3. Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara), tapi jelas saya tak sepakat untuk yang satu ini.

Pulang | Oleh Leila S. Chudori | KPG 901 12 0609 | Cetakan kelima, September 2014 | Penerbit KPG – Kepustakaan Populer Gramedia | Gambar sampul dan isi Daniel ‘Timbul’ Cahya Krisna | Tataletak sampul Wendie Artwenda | Tataletak isi Wendie Asrwenda, Stefanus Gunawan | viii + 461 hlm; 13,5 x 20 cm | ISBN 879-979-91-0515-8 | Skor: 2,5/5

Untuk orangtuaku Willy dan Mohammad Chudori dan anakku Rain Chudori-Soerjoatmodjo

Karawang, 2710-2411 2018 – Sheila On 7 –Jalan Keluar

4 komentar di “Pulang – Leila S. Chudori

  1. Ping balik: Buku Yang Saya Baca 2018 | Lazione Budy

  2. Ping balik: “Saya Sudah Mencoba Menjalani Hidupku Sebaik Mungkin…” | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s