Muslihat Musang Emas by Yusi Avianto Pareanom

Muslihat Musang Emas by Yusi Avianto Pareanom

Lelucon mereka yang sering terlontar justru tak lama setelah menyanyikan kidung pujian bisa dibilang tak pantas, tapi itu yang menjadikan mereka lebih jahanam.

#1. Muslihat Musang Emas Dan Elena
Cerpen pertama langsung menghentak tatanan ketika kalimat nyeleneh dilontarkan, “Kita punya peluang mendirikan agama baru, Don.” Sebagai cerpen yang dipilih sebagai judul buku, apa yang disajikan memang harus bikin greget pembaca sedari mula. Dan sukses besar. Benar-benar gilax, nge-twist bikin mual. Mengingatkanku pada lelucon Pramugara yang berseliweran di grup Whats App. Dengan tambahan kata ‘…dan Elena’ dalam judul, kita diajak muter-muter diskusi kemiringan otak manusia, dan betapa cinta memang buta, sableng dan kadang tak berlogika. “Ketimbang bikin agama baru, bikin Komunitas Hati Remuk Karena Sebab –sebab Tak Tertangguhkan saja, Mas.”

#2. Ia Pernah Membayangkan Ayahnya Adalah Hengky Tornando
Cerpen kedua tak kalah absurd. Seorang lelaki baru menyadari punya anak di luar nikah setelah belasan tahun berkelana. Ia anak perempuanmu, kau baru mengetahuinya tiga bulan lalu. Di rumah kopi, kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Kilas balik masa remaja dijelaskan. Bagaimana ketika banjir mencipta dua insan mencinta dadakan dan polosnya, tak tahu bahwa efeknya jauh lebih panjang dari yang dikira. Akhir yang manis, tak seperti kopi yang dipilih atau teh yang ditawarkan. “Bagaimana aku harus memanggilmu?”

#3. Bagaimana Ben Kembali Memeluk Islam
Untuk ketiga kalinya beruntun cerita dibuka dengan duduk-duduk minum kopi. Wah jadi kepikiran bikin cerita dengan pembuka macam gini. Ini lebih sadis karena di saat jutaan umat muslim mengaji di malam Nifsu Syakban, mereka malah kongkow bersama bir. Ben terlambat datang buat ngumpul, lalu ia berkisah proses telatnya, bagaimana insiden dompet membuat cerita nyata sebagus fiksi. “Kalau kisahmu kaulabeli kisah nyata, tak akan ada yang percaya. Komentar yang akan diterima kira-kira begini, ah pengarang sukanya mengada-ada. Kalau kau jadikan fiksi, terlalu banyak kebetulan.”

#4. Gelang Sipaku Gelang (1)
Salah sendiri pakai nanya siapa naik duluan.”Oma Irama. Di tahun 1977 di Semarang, di sebuah konser musik hiburan rakyat, ketika Soneta sedang di puncak popularitas sebuah insiden kecil menuai gelitik adu fisik. Band lokal sebagai band pembuka, sabotase konser saat seharusnya Bang Haji dkk. menampil penutup malah, Usbros menyanyikan lagu legendaris Gelang Sipaku Gelang: ‘… Mari pulang, marilah pulang, Marilah pulang bersama-sama.”

#5. Gelang Sipaku Gelang (2)
Lanjutan, kini kita disodori efek insiden lagu penutup itu. Kali ini orang-orang di belakang panggung berseteru. Akibat panjang dari insiden kecil itu ternyata merentang jauh, menyeret perseteruan tawur antar kampung hingga masa 2017 atas nama harga diri. Dan itu semua dimulai hanya gara-gara lagu penutup yang sudah biasa kita nyanyikan ketika TK? Alamak! “Bandmu anjing!” – Satryo Beni. “Bandmu tahi anjing!” balas Setyo Andi.

#6. Samsara
Sabda Dhani Wibisono yang malang. Kisah panjang, yang dinukil di kalimat pertama di kover belakang. Apa yang akan kau lakukan bila kautahu kau anak hasil hubungan sungsang. Ga menyangka petualangannya bisa sampai merentang Pakistan, atas nama agama dan bermuara di ibu kota, atas nama kebutuhan. Inilah lika liku kehidupan. Hidup mulia atau mati syahid. “Untuk catatan resmi, siapa nama Anda?”

#7. Benalu Tak Pernah Lucu
Kita tak bisa membenci keluarga. Hubungan kakak-adik yang parasitisme. Seolah Paman Yusi mengolok para pria agamis yang memikirkan akhirat tapi lupa dunia juga butuh biaya. Dan uang itu hasil dari melucu, ironis memang. Berto adalah gambaran para pemuda yang mengabdi pada orang tua dan tanpa pamrih berlebih berbagi dengan saudara. “Rasanya lucu ya?”

#8. Penyair Yang Meninggalkan Ibadah Puisi
Tentang penyair kenamaan kita, Joko Pinurbo. Setiap beliau merayakan ibadah puisi keluar kota, ada lelayu di desanya. Hal-hal yang rasanya tak ada rantai penghubung, atau sekadar kebetulan? Jika gerimis bisa mempercepat kelam, bisakah ibadah puisinya mempercepat kematian? “Bukannya kebetulan saja, Pak?

#9. Pengelana Waktu
Cerpen satu lembar. Hari ini untuk kedua kalinya ia mengunjungi esok hari. Hari ini ia berkunjung ke dua puluh tahun silam. Semua yang ia saksikan di luar penalaran. “Nanti kalau sudah mandi air panas, akan sedikit enakan.”

#10. Alfion
Cerpen ala Memento karya Christopher Nolan di mana paragraf pembuka adalah ending. Dimulai dengan kematian Alfion, penjahat buron yang ditembak polisi di kereta yang melaju menuju stasiun Cepu. Kisah lalu meluncur terus ke belakang sampai usia Alfion di masa sekolah. “Tidak usah nangis. Laki-laki kok nangisan. Bagaimana mau hidup? Dunia ini keras.” Saus kelwa apa ya?

#11. Upaya Menulis Sebuah Cerita Detektif
Zen Abacus seorang penulis skenario sinetron kejar tayang, mengajak bertemu sang Aku meminta bantu menuliskan draft cerita ketika ia sedang buntu atau sebut saja kepepet. Sang Aku sedang menulis cerita detektif, eh dicomot juga oleh sahabatnya maka saat susunan kata disodorkan, sejatinya terbaca kesal namanya tak dicantum. Sip! Mantab! Dasar manusia. Seolah ini curhatan Paman Yusi? ‘Balas dendam’ bisa dengan banyak cara untuk seorang pengarang ‘kan? “Ceritaku kebanyakan tentang kematian, Bung. Ada yang tentang mutilasi malah. Apa cocok?”

#12. Bangsawan Deli dan Delia
Dengan setting Jakarta tahun 1950, era pasca kemerdekaan dua kejadian coba disambungkan. Misteri tenggelamnya kapal bangsawan SS Deli di Selat Malaka dengan kejadian pembunuhan anak perempuan enam tahun bernama Delia, hanya beberapa meter dari TKP ada buku satu jilid Ashlu Al-Maanah Al-Insaniyah. Langsung deh saya teringat kutipan pembuka buku ini. Apalagi di cerpen sebelumnya Upaya Menulis juga disebut, yah, ini memang cerita detektif. “Jadi benar mereka mati ditelan siluman laut?

#13. b.u.d
Apa sebaiknya sekarang aku dipanggil Anna biar palindromik?” Sempat menyangka-kan ini AKU ya, karena nama saya yang dinukil dan jua saya lahir di Sukoharjo, ge-re, saya belum pernah mewujud ngopi bareng Paman euy. Kisah ini berdasar kejadian nyata. Sayangnya kehidupan saya tak sedramatis itu. Cinta memang harus diperjuangkan, dengan latar palindrom – di mana kata atau kalimat dibolak-balik terbaca sama – kita menelusuri jejak kehidupan seseorang. Salut untuk keteguhan melawan arus, beda agama menikah masih menjadi tabu dan seakan semua jalan keluar dari hati tak nyaman di telinga. Good luck to me, good luck BUD. Siapa Henoch Gunadi Sanbe?

#14. Buris
Kisah sedih teman sekantor yang gendut bernama Buris. Sedihnya agak lucu juga, sang Aku yang panas akan cerita bombastis Buris yang sukses ajak cewek jalan akhirnya ‘mencoba’ merebut Rara Ireng, teman sekantor jua sekaligus teman lama adiknya. Awalnya terlihat lancar dan akan jadi happy ending, eh malah dibelokkan bencana. Haha.. jodoh memang tak ada yang menyangka-kan? “Alhamdulillah, perut kenyang hati sennag, Kawan.”

#15. Pemuda Penyayang
Itu tanda-tanda kenabian. Pemuda yang disangka nabi, mengeluarkan kotoran turut serta uang logam. Silsilah nabi yang kita kenal dengan segala mukjizat-nya dirunut. Mana ada yang bisa ‘memproduksi’ uang dari dalam perut? “I am the Walrus.” Oalah.. Dave Dave. Kau masih punya waktu panjang untuk mewujudkannya.

#16. Kecerdasan dan Cairan Pekat
Jorok sih, tapi yasu dahlah memang dunia penuh orang menyimpang. Gara-gara artikel yang mengatakan hasil tes IQ mahasiswa Alicia Franklin sebesar 220 di Universitas California, Los Angeles, Amerika. Melebihi Stephen Hawkins, Albert Einstein, dan Leonardo Da Vinci. Tiga minggu jelang ujian SMA, Windu terobsesi menelan sperma, punya sendiri awalnya. Tapi pikiran liarnya menelikung tak tentu arah. Duh! “Kanibal!”

#17. Suatu Hari Dalam Kehidupan Seorang Warga Depok Yang Pergi Ke Jakarta
Ini saya yakin pengalaman pribadi. Sama sepertiku yang malas keluar rumah, malas urusan berbelit dengan dunia luar. Maka saat warga Depok akan ke Jakarta, merapel segala urusan. Dan ia-pun mengalami satu hari yang melelahkan. “Pancen asu kowe, Mas!” Depok, pinggiran Jakarta. Bekasi, pinggiran Jakarta. Kota-kota satelit yang ikut rembug dalam kemajuan, jadi Karawang satelit cadangan?

#18. Pergi Ke Malang
Nanti malam kau akan pergi ke Malang, Jawa Timur bersama anak laki-lakimu. Dibawakan dengan kalem, tapi sungguh mengerikan. Ini bisa jadi yang terbaik. Kisah detektif tanpa detektif. ‘Bencana’ pembunuhan yang dirancang dengan detail mengagumkan. Punya alasan kuat untuk tak disangka, sebuah keluarga aneh menjelas kronik drama kehidupan. Seolah sebuah musibah, pergi ke Malang adalah ‘tur’ tragedi yang membuat penyidik mungkin langsung mencoret sang pelaku. Kisah ala Agatha Christie, dengan ide liar kekejaman lokal.

#19. Nasihat Bagus
Seorang buzzer politik harus bermuka badak. Roy dan kita semua hidup di era digital, segalanya serba instan. Roy agak terkejut ketika Pemilik partai ‘Indoperi’ yang anti-Pemerintah tiba-tiba membelokkan haluan. Sebagai buzzer yang awalnya konsisten menjelekkan kudu penguasa, ia harus berganti arah. “… Bentar lagi 2019, siap-siap saja. Ingat, muka badak.”

#20. Ular-ular Temanten
Ini lucu, sumpah. Pengalaman saya juga soalnya. “Hari ini giliran suami mengalah, besok giliran istri yang menang.” Kocak anjrit. Menikah memang butuh banyak pengorbanan, termasuk mengalah. Afu, kena banget gue. Jadi penasaran dengan grup lawak Djunaedi cs yang ada di tahun 1980an. Cerpen ini kubacakan di inspirasi pagi di kantor, dengan modifikasi sedikit untuk kata-kata kasar sebab dibacakan untuk semua orang termasuk para manager Perusahaan, pada ketawa. Hehehe…

#21. Pak Pendek Anggur Orang Tua Terakhir di Dunia
Tentang Jarwo dan sisi gelap hidupnya. Sebagai penutup, Bung Yusi dengan cerdas menaruh cerita bagus banget lagi. Hikayat orang cebol di Semarang. Bagaimana profesi penari sebagai maskot sebuah produk minuman kala promosi, menuntun drama yang mengejutkan. Chapter akhir berisi sembilan paragraf itu keren banget men. Edun. Sang protagonis ternyata menyimpan info yang sangat krusial dari pembaca. Pembuka yang keren, penutup yang lebih keren lagi. Nikmat baca mana yang kamu dustakan?!

Saya baca dalam sehari pada libur tahun baru Islam, saat menjadi sopir keluarga ke Depok. Saya baca dalam tiga kali kesempatan duduk. Saat menunggu mereka belanja di Pasar Baru, ada tempat duduk ayun tepat sebelahan sama para pengayuh becak bersantai, tidur nyaman di terik matahari. Kedua saat di masjid Nurusalam, Depok Utara diantara Zuhur dan Asar, ketiga saat di rumah keluarga saudara Jl. Saledri – mencari ruang sepi ketika ruang tamu penuh canda tawa, bersama segelas kopi pahit bikinan Bude, sembari menunggu mereka nostalgia jelang Magrib, buat pulang. Well, Penerbit Banana ada di Depok seharusnya dekat nih sama rumah Bude yang di Beji, sempat kepikiran pengen main, tapi urung. Lebih ke ingin menyendiri di masjid bersama buku, sudah menjadi kebiasaan ketika ke Depok sebagai sopir saya pasti ‘menghilang’ waktu-waktu Zuhur, bukan untuk berdzikir malah bawa buku fiksi. Ampuni hamba ya Allah.

Kata Woody Allen dalam adegan pembuka Annie Hall, “Laki-laki menua dalam dua cara, ada yang rambutnya menipis dulu baru beruban, ada yang beruban dulu baru menipis, yang pasti dua-duanya bakal habis.” Kalimat ini ada dalam Satu Hari Dalam, dan saya langsung meraba rambutku. Alamak, saya jenis pertama.

Arsene Wenger itu manager bagus.” Seperti jutaan fans Arsenal di dunia, ia memiliki ketabahan mengagumkan kaum Yahudi yang hidup di Mesir di bawah kekuasaan Firaun ribuan tahun lalu. Hhhmm…, Bung Yusi harus berbaur dengan Laziale nih, mengenal penggemar klub jarang juara, kita sudah jauh lebih tabah dari para pengagum The Gunners karena kita menganggap Lazio adalah klub terbaik dunia akhirat, menjuluki Lazio The Great! Yah, karena fanatisme adalah kunci. Terakhir juara Liga 2000, delapan belas tahun. Yah, setidaknya ada yang lebih lama. The Reds!

Amazing. Sekali lagi Bung Yusi memukauku. Setelah tak sengaja berkenalan kumpulan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa, kisah-kisah tak lazim saya menyebutnya, saya kejang-kejang sama cerita Raden Mandasia, yang menang Kusala Sastra Khatulistiwa 2016. Menjadikan buku lokal yang masuk best 100 novel versiku tahun lalu. Nah kali ini kembali ke kumpulan cerpen dengan kover yang sedap dipandang, warna kuning sebagai latar dengan seekor musang di dalam cangkir di antara dua lainnya. Kover bak poster film art, film festival. Catchy nan mewah. Kover buku ala poster film-film Wes Anderson. Duh jadi inget Grand Budapest Hotel bersama Saoirse Ronan.

Kandidat ketiga yang saya ulas setelah Laut Bercerita dan Gentayangan. Saya pernah bilang Laut akan masuk 10 besar tapi mustahil menang, saat ini masih terbukti. Gentayangan bagus, tapi tak sampai klimaks. Bagaimana dengan Musang? Saat ini sudah baca enam kandidat dan jelas secara kualitas Musang yang terbaik, bahkan dibanding Kura-kura Berjanggut yang tebalnya mengerikan, tunggu waktu tepat buat ketik ulas – maaf tunda memang tindakan tidak baik. Masalahnya, biasanya juri akan lebih suka satu cerita dalam satu buku. Atau memang inilah saatnya Kumpulan Cerpen unjuk gigi? Doaku yang terbaik.

Seperti kata Mario kepada Pablo Neruda dalam Il Postino, sebuah sajak begitu dilempar ke publik menjadi milik pembacanya, terserah mau dimaknai dan digunakan sebagai apa. Begitu pula karya-karya lainnya termasuk prosa. Setelah dirilis, maka publik punya hak penuh menilai, pujian syukur, cacian ya risiko. Untungnya tiga karya Paman Yusi konsisten memuaskan, jadi saya ketik ulas ya enak banget. Mengeluarkan uneg-uneg tanpa tameng apapun jadi lebih nyaman. Beli buku, baca, puas ketika ngetik juga dibawa ceria. Makanya sudah tidak beli buku Tere Liye lagi.

Prediksiku jelas, Kumpulan Cerpen ini masuk lima besar. KUDU! Juara hanya bonus.

Tuhan berencana, manusia menentukan. – Asal-muasal Derita Manusia karya Yusuf Al Uraizy

Muslihat Musang Emas | Oleh Yusi Avianto Pareanom | Copyright 2017 | Penerbit Banana | Cetakan pertama, September 2017 | 13,8 x 20,3 cm; 246 halaman | ISBN 978-979-1079-60-0 | Penyunting dan Penata artistik Ardi Yunanto | Fotografer sampul Agung ‘Abe’ Natanael | Skor: 5/5

Karawang, 180918-230918 – Sherina Munaf – Curahan Segalanya

Iklan

4 komentar di “Muslihat Musang Emas by Yusi Avianto Pareanom

  1. Ping balik: Kusala Sastra Khatulistiwa 2018: Antara Musang Atau Kura-Kura | Lazione Budy

  2. Ping balik: 14 Buku Terbaik 2018 | Lazione Budy

  3. Ping balik: Kura-Kura Berjanggut – Azhari Aiyup | Lazione Budy

  4. Ping balik: Buku Yang Saya Baca 2018 | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s