Love For Sale: Remuk Redam Pria Kesepian

Sungguh mencintai adalah pekerjaan yang berat dan penuh resiko karena selalu melibatkan perasaan, tapi kukira, mengambil resiko tak pernah ada salahnya.

Sedih. Sungguh menyedihkan. Saya kehilangan kata-kata yang pas untuk menggambarkan kesedihan hati lelaki tua yang sendiri. Suatu hari Watson pernah bertanya pada sahabatnya, apakah yang paling kamu ditakutkan? Sherlock menjawab: “Melewati hari tua sendiri tanpa pasangan.” Itulah yang terbesit di kepala saat ending film ini, walaupun harapan diapung dengan sapa teman-teman lewat aplikasi HP web cam, optimisme berbagi dan menikmati ‘perjalanan’ tapi membayangkan usia 41 tahun dalam perenungan tanpa ada genggaman erat kekasih sungguh bayangan yang menakutkan. Love For Sale jelas merupakan salah satu film lokal terbaik tahun ini yang berhasil mengintimidasi penonton.

Ekspektasiku tak tinggi sebab dua hal utama. Pertama tema yang ditawarkan paling kisah cinta klise. Dari trailer, poster sampai promo yang digencarkan sudah terbentuk kerangka cerita akan berkutat pada jomblo akut yang akhirnya mencinta kepada cewek panggilan yang disewa lewat aplikasi. Sebelum kuputuskan berangkat menonton saya sudah memprediksi, ah paling akan ada benih cinta – FTV banget, kan? Tepat! Tapi endingnya tak setepat yang kukira. Kedua, film dengan bintang kelas premium. Gading Marten belum ada tanda-tanda mengikuti jejak hebat Bapaknya. Sudah kepala tiga, belum ada kharisma menuju ke sana. Sibuk dengan syuting alay, sibuk nge-MC (maaf norak) main keroyok satu genk. Namun keduanya langsung rontok, salah satu sebab dibantu oleh lagu hit jadul yang luar biasa dari The Mercy’s. Hidupku Sunyi, sungguh biadap lagu ini. Sepanjang film sukses mewakili jiwa-jiwa yang sepi. “Mengapa dikau bertanya, mengapa ku harus bersedih, hidupku hanya untukmu…”

Proses menuju keputusan nonton juga tak setenang yang kalian kira, datang beli tiket, duduk. Enggak selurus itu bung. Rilis bergandengan dengan film adaptasi buku favorit A Wrinkle In Time yang salah kaprah penanganan, saya tunda pekan berikutnya. Lihat jadwal Love Sale sudah tersingkir, hanya tayang pagi. Bah! Seminggu tergusur, Kamis-nya sudah turun layar! Gila, apaan ini. Pembagian jatah kursi di bioskop kita sungguh riuh antrian seakan pembagian jatah kursi di DPR. Ketat dan penuh persaingan. Minggu sore saat santai baca buku di Bustaka Taman Galuh Mas, iseng buka web CGV Festive Walk, Karawang yang berada sepelemparan batu dari ayunan di taman. Kejutan, Love Sale melakukan come back, tayang lagi. Karena akhir pekan mustahil nonton me time bareng keluarga, Senin juga sulit karena jadwal lari sore maka saya pilih Selasa. Jamnya juga dilematis, pulang kerja jam 17:00 trafik lalu lintas sungguh mengerikan di jam sibuk. Macetos, hujan badai, selip kanan kiri untuk kejar 18:15. Setelah Magrib di lantai dasar, menuju bioskop dalam ketergesaan akhirnya dapat jua tiketnya. Sepi, hanya belasan. Saat duduk nyaman di tengah dengan sebotol teh dingin di tangan, penonton yang hadir semua berpasangan, kecuali saya. Selalu, saya menjadi ‘Jomblo’ saat masuk dalam gedung pertunjukan.

Kisahnya dibuka dengan logo love.inc aplikasi yang akan jadi main produk film ini. Richard Ahmad (dimainkan dengan meyakinkan oleh Gading Marten) terbangun karena alarm mengusik indra telinga. Dengan kolor dan kaos oblong, khas anak kos umur 20 tahun yang tak ada kegiatan saat libur selain mendekam di kamar. Buka HP, sebuah pesan tausiyah dari temannya Panji (Verdi Solaiman) tentang makna hidup. Nyalain musik, wuih di film ini pakai player record vynil. Duh saya generasi kaset pita saja sudah merasa tua! Lagunya klasik The Mercys: Hidupku Sunyi. Lagu satu-satunya yang jadi soundtrack. Berkali-kali diputar, berkali-kali pula membuat penonton ikut frustasi. Makan mie, menyapa tetangga lewat lantai atas sayup sayup terdengar pertengkaran pasutri, dan membuang waktu depan tv. Adegan di depan tv akan sering muncul, anehnya layar tv justru menonton penonton. Kita hanya dihadapkan sekali saja ke layar saat mengungkap twist, wajah familiar yang nyaris dikenali Richard. Bonus scene pembuka, Gading garuk-garuk anu sambil berjalan sempoyongan masih ngantuk, nyawa belum terkumpul penuh, bonus lagi perangkat pakaiannya sobek. Bayangkan saudara saudara, bayangkan! Kalau Sherina Munaf yang dijual sih penonton bisa dengan senang hati menatap layar penuh damba. Lha ini Gading dengan perut buncit dan ubanan! Untung bioskop belum melengkapi fasilitas 4D sehingga bau pengapnya ga merasuki hidung. Berteman kura-kura Kelun – 17 tahun euy – Richard kembali terlelap. Pembuka yang hampa, pas untuk mewakili film ini. Jadi inget Peter and Mary kurakuraku yang tiada. 10 tahun tapi tak sebesar Kelun.

Akhir pekan itu Richard ngumpul sama teman-teman segenk, syukurlah tak ada Narji atau Irfan atau Nose. Di sebuah bar/kafe setelah nonton bareng sepak bola dan bertaruh, keseruan anak muda dilakukan orang tua, menjago tim favorit itu teman kentalnya mengumumkan ada kondangan, yang undangannya ketinggal di mobil. “Dua minggu lagi aku akan menikah, bawa pacarmu atau harga dirimu yang kami pertaruhkan.” Terlihat sudah pada berumur matang, sudah saatnya emang. Kelakar untuk bertaruh, apakah nanti Richard akan datang bersama seseorang ataukah sendiri? Taruhan yang sebenarnya sembari lalu itu, bagi sang jomblo menjadi cambuk pemicu kisah utama film ini. Ok, deal. Dimulailah pencarian kekasih kilat! Muncullah judul utama dengan tulisan blink-blink bak neon restoran padang 24 jam.

Richard adalah bos percetakan, home industri: Prima Warna. Tinggalnya di lantai atas. Pagi itu anak buahnya yang bertugas buka ruko datang terlambat, Raka (Albert Hakim) yang hobi makan bilang motor mogok. ‘Bah hari ini mogok, besok macet, besoknya motor lu dicuri!’ Ingat kenapa Perusahaan ini bisa bertahan sampai sekarang? Hargai waktu! Sambil nunjuk poster besar terpajang. Untung ga nunjuk poster film Filosofi Kopi di dinding kiri, diceramahi hakekat hidup dalam secangkir kopi, kelar kau! Dalam satu tim selain Raka ada Jaka (Adriano Qalbi) yang aneh, Pak tua yang bijak Pak Syamsul (Rukman Rosadi), pemanis aura percetakan, cewek manis Mira (Sabrina Rochelle). Mas Richard (wuih panggilannya Mas euy) adalah bos yang galak. Pelit. Disiplin tinggi. Sebutin aja kriteria bos jahat yang ada dalam pikiran, Mr. Krab-nya industri ini. Sifat ini nantinya akan lebur oleh karena cinta. Heleh…

Pencarian pacar terus membayang sang bos di tengah kesibukan kerja. Berbagai upaya dikerahkan. Buka sosmed, cari kabar teman-teman lama apakah ada yang masih sendiri? Mencari data dalam kartu nama kolega di bawah laptop di dalam meja kaca, otomatis yang nama laki skip: Yana Yuli? Cowok apa cewek ya? ketemu nama perempuan, telpon. Ada yang tak aktif, ada yang angkat laki – rejectlah, ada pula yang sibuk lagi meeting. Telpon teman lama, basa-basi. Sedang mulai akrab, eh backsound-nya anak memanggil ‘Bunda..’ sudah punya buntut. Jujur saja dulu pernah kulakukan. Pencobaan ekstrem penuh resiko diambil saat anak buahnya dua cewek – seakan sedapatnya – sedang istirahat beli buah iris dalam gerobak, diajak jalan yang tertinggal. Dengan adegan kaku ajakan itu dijawab iya dalam keraguan. Untung bukan Mira C. Beres? Nope! Karena besoknya sang cewek cerita sama temannya, dan Richard malu. Hari itu juga sang cewek dipecat. Kejam? Begitulah hidup, tak ada yang bisa menerka. Apes aja kau Nak!

Richard sendiri mendapat ide membeli cinta secara tak sengaja, saat anak buahnya mencetak ribuan semacam pamlet sebuah iklan kencan Love.Inc yang setelah dibaca sekilas pintas, sekilas lalu, akhirnya diperhatikan sungguh-sungguh dan mengambil satu leaflet dimasukin ke dalam baju. ‘Kasihan juga ya, banyak jomblo di luar sana’. Ironis sih, tapi yah itulah kenyataannya. Donwload, isi data, dihubungi. Operator bertanya cari yang bagaimana? ‘Menarik!’ ada promo versi baru dengan 40-45 hari bayar sama, awalnya masih tak terlalu minat. Karena masih coba kopi darat, ngopi. Kenalan cewek dapat agresif, malah kabur, itu yang bayar kopi siapa ya, enyakmen. Maka ketika waktu sudah menipis, tak ada pilihan lain yang lebih dirasa bijak, atas nama harga diri ia membeli kebersamaan dengan perempuan, cari, klik. Datanglah sang primadona Arini Kusuma (dimainkan dengan cantik sekali oleh Della Dartyan).

Kencan kilat, saling mengenal sepintas di taksi, apa tugas Arini nanti di kondangan, dan jebret. Sukses besar, Mas Richard tak jomblo lagi – di mata teman, kolega dan Kelun tentunya. Karena kontrak 45 hari, maka Arini dibiarkan tinggal satu atap. Mengakrabkan diri, bola yang jadi alur sampingan cerita ini mulailah memberi peranan. Sevilla masuk 8 Besar Champion! Prediksi jitu, sukur kau Mou! Saya suka bola berkat bapak, fan Newcastle. David Ginola ganteng, dengan kumis dan kharismanya. Richard yang berkumis, secara otomatis mengelus kumis. Pinter juga yang disebut si gondrong. Coba kalau Alan Shearer, yang dielus botaknya kali? Hehe… Pertandingan antara Chelsea dan Liverpool disuarakan dengan merdu, Coutinho, Diego Costa sampai menit-menit dramatis gol dibacakan unik – sengau sengau syahdu. Rayana Djakasurya mah lewat, walau tak semenggebu-gebu Valentino Jebret komentator bola memberi nyawa, memberi arahan gol sejatinya di depan tv: ciuman yang dinanti itu akhirnya terjadi. Label 21+ bukan omong kosong, adegan panas disajikan. Coba apa yang ada dalam kepala Giselle? Bergelut dalam selimut dan ta-daaa chemistry benar-benar tercipta kini. Makin hari makin cinta, makin mesra semakin kuat ikatannya.

Arini, gadis sewa itu menjelma jadi pacar impian. Masak makanan favorit, mengantar makanan ke tempat kerja, otomatis menyatu para pegawai, membaur dengan teman-teman nonton bola, jalan mesra di jalanan ibu kota. Makan duren dengan alunan pengamen Hidupku Sunyi seakan tinggal masa lalu, haha ketawa sambil nyanyi lagu sedih? Ironis. Arini memberi segala yang diharapkan Richard. Mengajak kenalan teman-temannya yang absurd. Mengajak nonton konser. Mengajaknya mengenal keluarga ke Depok, dikenalkan dengan kedua adiknya dan kedua orang tuanya. Pak Kartolo (Torro Margens) yang menderika amnesia 24 jam dan celetuk ‘ga papa sama calon..’ itu jleb banget. Arini mengubah banyak hal secara instan. Richard jadi atasan yang ideal, traktir makan, toleransi kerja, jadi murah senyum, kasih diskon sampai senandung kecil keceriaan bersama teman lama: Panji. Dalam sebuah adegan mereka nostalgia sesaat di jalanan waktu kecil main bola di jalan ini. Ya ini! Dulu saya yang umpan, kamu yang cetak gol. Panji di sini jadi panutan, jadi pegangan. Maka saat dikenalkan, apakah ini saatnya? Well, saatnya move on mas bro. Richard dalam dilematis, 20 tahun menyepi. Inikah saatnya, beli cincin untuk melamar. Dan dipersiapkan segalanya. Saat lampu kamar dimatikan dan esok menjelang, segala hantu ketakutan menjadi nyata. Akankah lamaran itu berhasil?

Kamu sebenarnya asli Pacitan, Tulungagung, apa Depok sih Arini? Pertanyaan itu sekaligus menjadi selaras dengan perkiraan. Diluardugaanku, film ini keren. Melebihi harapan, kukira klise kukira berakhir biasa. Baguslah ada film spesial buat para jomblo akut. Sejatinya jelang umur 30 tahun saya sempat merasakan ketakutan Richard. Namun ribuan novel memberiku sedikit banyak pencerahan akan arti cinta. Akan arti pengorbanan dan melepas ego. Merasa beruntung? Ya! andai saya dikasih kesempatan kembali ke sepuluh tahun lalu, maka saya akan tetap memilih jalan ini. Karena kalau kucoba jalan lain bisa saja itu mengarah ke 41 tahun melajang dan pastinya saya akan menangis kemarin lusa di akhir kisah.

Untuk sebuah debut Pemeran Utama di layar lebar, jelas sebuah pencapaian istimewa Gading Marten. Berterima kasihlah pada Andibachtiar Yusuf yang memolesmu menemukan jalan yang lurus, berterima kasihlah pada Angga Dwimas Sasongko dan Chicco Jerikho yang menjadikanmu pilihan pertama untuk peran ini. Sekarang tiket jalan emas untuk menjadi aktor berkelas terbuka, pilihan kembali padamu. Apakah melanjutkan memilah peran film prestise ataukah kembali ala kadar dalam acara jayus tv ga jelas? Untuk sebuah debut, Della Dartyan jelas sukses besar. Segala geriknya meyakinkan sekali. Dari gadis panggilan yang membutuhkan uang dan pekerjaan menjelma gadis menghamba penuh cinta, all out. Tatapannya, senyumannya, lirikan matanya. Jangankan pria kesepian. Kalau godaan sepanas Arini, pria setia-pun bisa bertekuk lutut. Chemistry kalian keren, pantas emang dapat label 21+. Komedi satir yang hadir layak dipresiasi. Naskah cerita bagus, lengkap sudah.

Pilihan nonton Selasa malam itu kurasa tepat karena Rabu ini di Festive Walk sudah ganti, digempur film baru yang rilis bersamaan: Hantu, Game dan Milea versi upgrade. Belum lagi besok makhluk air juga menyerbu, maka kesempatan nontonku di bioskop sejatinya memang hanya kemarin lusa. Sayang sekali, film bagus tak tayang lama. Liverpool bisa saja melakukan come back tiga gol, tapi rasanya mustahil Love Sale melakukan come back kedua kalinya tayang di Festive.

Credit title cuma semenit dua, jadi bahkan belum selesai kubuka semua pesan WA yang masuk saat nonton, tulisan jalan sudah selesai. Terima kasih Jose Mourinho?

Penampilan sebentar Torro Margens sangat hebat. Saya mulai curiga arah film ya saat sampai di Depok, ini aktor emang nyeleneh makanya alarm firasat buruk saya langsung menyala. Scene berikutnya saat muncul Mbah Torro itu sadis banget men. Remuk redam pria kesepian. Lha ini beneran!?

Well, coba kalau Arini Lazialita pasti ku-rate sempurna. Saya punya teman fan Newcastle orangnya alay, jadinya males. Coba kalau pertandingan yang dikomentari adalah final Copa Italia 2013, dan teriakan klimaks Arini adalah gol LU71C, kalau boleh kasih rate 6 dari 5 saya kasih deh. Coba kalau sketsa di dinding itu Beppe Signori, bukan Maradona. Mungkin saya akan kasih label film terbaik sepanjang masa, akan kubingkai gambar Kelun dan kupajang di kamar. #ForzaLazio Per Sempe!

Pulang langsung coba buka web loveinc.id beneran ada, silakan coba jomblo level berapa kamu?

Love For Sale | Year 2018 | Directed by Andibachtiar Yusuf | Screenplay Andibachtiar Yusuf, M. Irfan Ramli | Cast Gading Marten, Della Dartyan, Adriano Qalbi, Verdi Solaiman, Melissa Karim, Torro Margens, Albert Halim, Sabrina Rochelle, Asmara Abigail | Skor: 4/5

Karawang, 28-290318 – Sherina Munaf – 1,000 Topeng

2 komentar di “Love For Sale: Remuk Redam Pria Kesepian

  1. Ping balik: The Best Films 2018 | Lazione Budy

  2. Ping balik: Love For Sale 2: Seni Memanipulasi Keadaan | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s