Elio: Because I wanted you to know. Because I wanted you to know. Because I wanted you to know.
Saya prediksi film ini akan 0 piala di Oscar nanti. Jelas, bukan film yang nyaman untuk diikuti. Bukan genre-ku mengamati karakter boring selama dua jam. Ya, durasinya yang dua jam lebih, makin membuat kecewa saat tahu tak ada sesuatu yang luar biasa. Aneh sekali selera juri Oscar. Orang sakit dan banyak ‘penampakan’ gini bisa dapat empat nominasi. Esensi seninya sirna karena memang sudah menyimpang.
Musim panas di Italia Selatan tentang seorang lulusan sekolah Oliver (Armie Hammer) yang menginap di rumah profesor Perlman (Michael Stuhlbarg) untuk studi penelitian artefak dan barang-barang bersejarah yang ditemukan. Ia akan berbagi kamar dengan tokoh utama Elio Perlman (Timothee Chalamet). Setting waktu tahun 1983, jadi akan banyak hal jadul dan klasik ditampilkan. Dominan pemandangan Eropa tahun 1980an, transportasi mobil antik sepeda jengki. Hiburan TV tabung, radio transistor. Sampai hal-hal yang di mata kita mungkin tabu, berciuman di tempat umum, jalan mengenakan bikini serta segala musik disko yang tak akrab di telinga generasi millennial. Sedari pembuka itu saya sudah curiga bahwa Oliver bakalan menemukan love interest di musim liburan. Umum banget kan. Namun karena saya memang menutup segala info, kaget juga ada kejutnya, tak seperti yang saya duga, pasangan ciumnya adalah pria labil yang sakaw, remaja 17 tahun dalam pencarian jati diri. Separuh akhir dipenuhi adegan mereka, sampai muntah deh. Beneran muntah ternyata akhirnya.
Jadi sang profesor keseharian menelisik barang seni langka bersama istrinya Annela (Amira Casar) mereka memang keluarga dengan norma terpelajar, Elio yang suka baca dan menulis lagu sesekali ikut. Karena kamar mereka di lantai atas bersisian dengan Oliver maka terjadi singgung fisik dan perasaan. Banyak adegan shirtless tanpa sebab. Apakah karena musim panas sehingga dalam ruanganpun mereka buka baju? Di sini Oliver sebagai orang yang lebih tua dan pengalaman, terlihat lebih menjaga jarak karena kesibukan bareng bapaknya sedang Elio yang jiwa mudanya meletup-letup, mencoba mengejar. Kisah kasihnya juga tersalur sebenarnya ke gadis cantik Marzia (Esther Garrel), terlihat seperti pasangan normal lainnya. Bah, Elio gandrung AC/DC karena kemudian menemui titik kepastian.
Gara-gara lagu ‘Love My Way’ di suatu malam, Elio melihat Oliver mencium seorang gadis, Elio bisa kencan dengan Marzia dan nyaris bercinta di sebuah danau. Kejujuran itu membuat Oliver malah lebih dekat dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Berkat buku yang dibacakan ibunya tentang pangeran dan putri yang menantang dunia, ‘apakah lebih baik bicara jujur atau mati?’ Dan jujur itulah yang dipilih, maka dalam sebuah perjalanan Elio yang jatuh hati dengan Oliver mulai menampakkan tanda-tanda, isyarat cinta. Oliver pakai kalung Yahudi, Elio ikut pakai kalung segi enam itu. Mabuk cinta sesama cuy.
Sementara Oliver sibuk dengan penelitian, Elio semakin dekat dengan Marzia. Dan seperti yang terprediksi, mereka bercinta. Adegannya diperlihatkan dengan jelas. Bahkan saat mereka ke lantai atas pakai bikini keluarga tak ada yang melarang? Remaja sex bebas di era 1980an. Akar budaya dunia Barat berbahaya ini. Semakin Elio dekat Marzia semakin ia kangen Oliver, puncaknya suatu malam ia menulis dalam secarik kertas ‘Cant stand the silence, need to speak to you’. Balasan tak lama berselang datang, ‘Grow up, I’ll see you at midnight’. Sembari menanti malam ia bercinta lagi dan lagi sama Marzia. Coming of age versi miring.
Saat tengah malam tiba, apa yang terjadi terjadilah. Akhirnya seranjang dan saling memuaskan. Sejak itulah mereka lebih intim dan pada akhirnya terucap janji yang jadi judul. ‘Call me by your name, and I’ll call you by mine’. Elio panggil Elio, Oliver panggil Oliver. Cie cie romantisme dua pedang. Mual? Belum. Ada adegan yang jua absurd saat Elio maem apel, apelnya dikorek-korek bikin lubang lalu dibuat onani. Tepar, apel taruh di atas meja. Oliver datang, membaui sperma dan berniat memakannya! Ih, bolehlah sekarang kalian muntah. ‘I am sick, aren’t I?’ Oliver menimpali dengan tabah dan mengena, ‘I wish everyone was as sick as you’. Wow Passionately!
Yang mengejutkan justru fakta bahwa Profesor Perlman tahu anaknya menyimpang, ibunya mungkin juga curiga. ‘You too had a nice frienship.’ Namun lihatlah… mereka cuek saja, bahkan mengizinkan putra mereka ikut dalam perjalanan keluar kota berdua, menginap di sebuah hotel dan tahulah apa yang terjadi di sana pastinya. Orang tua yang aneh sekali., atau sayanya yang kudet dan kolot mengenai moral? Yang pasti hubungan sesama jenis jelaslah terlarang, apapun bentuk dan gayanya. Call me menyuguhkan dengan adegan tanpa sensor. Inikah yang membuat Timothee mendapat nominasi best actor? Saya apresiasi keberanian akting panasnya, saya apresiasi pula niatannya sampai belajar Italiano dan belajar main piano. Peluangnya? Ya kalau saya yang jawab, jelas bilang sangat kecil. aktingnya kelibas Gary Oldman-lah ke mana-mana. Inggris 1-0 Italia.
Film ditutup dengan sendu via telpon dengan latar jendela yang tertera hujan dan cahaya perapian. ‘Elio Elio Elio… Oliver, I remember everything. Hufh…. setelah dua jam delapan menit, barulah judulnya muncul dengan linangan air mata Elio. Sebuah pembuka menuju credit title. Setelah tulisan berganti-ganti, muncul penutup catatan Sufjan Steven: Vision Gideon, dan di akhir film muncul persembahan: In loving memory Bill Paxton yang meninggal dunia Februari 2017.
Berdasarkan novel karya Andre Aciman yang terbit tahun 2007. Kabarnya Armie Hammer juga menyuarakan audio book. Wew, totalitas tanpa batas. Penulis ini muncul cameo sebagai Mounir di film, saya baru dengar namanya, jelas belum baca. Minat? Kalau nonton film yang mengecewakan dari adaptasi buku, jelas saya tak minat baca.
Film ini menggunakan bahasa Italia mayoritas, Inggris sesekali. Terjemahannya lumayan OK jadi aman. Bagaimana peluang Oscar? 0 piala, best picture mustahil. Lagu Mystery of Love dihadang The Greatest Showman. Kalaupun ada 1 kemungkinan di adapted screenplay. Satu-satunya film yang bisa kandidat best picture juga masuk adapted screenplay. Ketiga lainnya sangat kecil. Cuma masalahnya di adapted sudah kuplot antara Mudbound atau super hero. Kapan lagi bisa lihat film berdasar komik menang piala sangat bergengsi. Berarti ya, saya keukeh tebak 0 piala.
So sorry, ga semua film berdasar buku bisa bagus. Jadi rencana sekuel tahun 2020 apakah kalian tunggu? Big NO! What ‘thing that matter?’
Call Me By Your Name | Year 2018 | Directed by Luca Guadagnino | Screenplay James Ivory | Cast Armie Hammer, Timothee Chalamet, Michael Stuhlbarg, Amira Casar, Esther Garrel, Peter Spears | Skor: 2/5
Karawang, 010318 – Sherina Munaf – Sendiri
Saya malah sukaaa sekali film ini. Membosankan, tapi kepikiran lama setelahnya. Pingin liburan di kota kecil di Italy dan pingin baca bukunya tapi masih ngantri di perpus nih. FYI, di US same-sex relationship ga dianggap menyimpang dan dialog ayah Elio adalah salah satu kekuatan film ini. Lain padang lain belalang yaa…
SukaSuka
reviewnya cukup bikin penasaran. kalau dari poster film sepertinya sudah terlihat film ini mengarah ke mana.
SukaSuka
Ping balik: Prediksiku Di Oscar 2018: #SacramentoProud | Lazione Budy
Oldman cuma menang make up doank. Gk kaya Bale di Film Vice yang asli gendutnya. Jujur, saya gak bisa liat ekspresinya sama sekali karena terlalu tertutupi. Dia Menang karena org2 emang mutusin dia harus Menang setelah beberapa kali masuk nominasi dan dianggap aktor legend jadi harus punya piala Oscar. Darkest Hour juga plotnya buru2, dan ngebosenin parah, padahal durasinya lebih singkat dari film ini. Malah, menurut saya kalo gak ada Gary Oldman, Chalamet yg bakal menang. Pecahin rekor pula, sebagai pemenang best actor termuda
Kalo masalah jijik atau enggak, moral atau jahanam itu hak pemikiran masing2. Apakah open minded atau konservatif
Kalo masih gak kuat karena bosenin dan jijik, nonton Avangers sama Transformers aja
SukaSuka
Dan terbukti menang Oldman
SukaSuka
Ping balik: Portrait of a Lady on Fire: Barisan Puisi di Atas Kanvas | Lazione Budy