Trilogi Soekram – Sapardi Djoko Damono

Trilogi Soekram – Sapardi Djoko Damono

Di padang pasir, tidak ada larangan untuk memakan pasir. Kemerdekaan adalah laut semua suara, bawalah aku kepadanya. Petani itu tersungkur, darah di dadanya. Matanya masih menyala juga. Tidak akan kumaafkan setan-setan ini. tidak boleh berkeliaran setan-setan ini.

Sayang sekali, setelah terpukau di seri satu, meningkat keren di bagian kedua, buku ini ambyar di akhir. Benar-benar berkeping, luluh lantak. Kisahnya amburadul di seri penutup. Padahal susunan kalimat puitis dan narasi padat yang nyaman disajikan dalam kelezatan bak sereal nikmat di pagi hari. Makan siang istimewa yang mengenyangkan, dan seribu kali sayang makan malamnya memuakkan. Soekram yang diceritakan seorang dosen, lulusan luar negeri itu begitu meyakinkan sekali dalam menjalani masa-masa genting ’98. Soekram yang kisahnya ditarik mundur dalam masa kuliah dan penggambaran masa genting menuju ’65 itu begitu seru dan mendebarkan. Dan entah kenapa tiba-tiba bak sebuah piring yang dihempaskan ke lantai, bagian ketiga berkeping-keping. Ambyar. Buruk. Penutup yang sangat buruk, di mana saat pembaca digiring ke imaji liar gejolak cinta yang semi malah kita diajak berwisata ke masa antah di negeri dongeng Siti Nurbaya. Anti klimak. Padahal saya sudah meletup-letup mau bilang salah satu buku lokal yang keren, tapi saat pena Soekram yang memilih jalan sendiri semua rusak.

Sebenarnya ekspektasiku juga ga tinggi apalagi pasca menyusun best 100 novels jadi sedang ingin santai, dan cerita sangat bagus sedari awal sampai tengah. Trilogi ini memuat kisah panjang Soekram yang galau, tentang cinta dan selingkuh dan perjuangan hampa meraih sesuatu yang (rasanya) menjadi tak terlalu penting untuk umat, baca bagian akhir. Sebenarnya ia ke Sumatra untuk apa dan akhirnya menjadi apa. Karakter yang begitu bagus bagian satu-dua mendadak konyol di ending. Punya Ida yang mencinta, ada Rosa yang menakjub, ada Menuk yang menunggu di rumah. Lalu ada Maria yang memanja, ada Nengah yang berbakat. Dan pada akhirnya Siti Nurbaya merobohkan susunan bata cerita yang Indah itu.

Bagian pertama Pengarang Telah Mati. Jadi penulis kisah Soekram ini sudah meninggal, karyanya masih terbengkelai. Istri atau ahli warisnya menemui editor untuk mengotak-atiknya untuk dijual yah, klasik karena alasan ekonomi, dan Soekram inilah karakter fiksi yang menggugat. Seorang lulusan Amerika yang selingkuh dengan Ida, mahasiswi lokal yang jua menimba ilmu di negeri Paman Sam, punya istri pasif Menuk dan seorang anak. Kisah keluarganya tak digali bahkan saat anaknya sakit, Soekram tak nampak benar-benar khawatir di saat punya pilihan: keluarga atau karir? Dibiarkan datar karena kita diajak merongrong isi kepala Soekram ke masa lalu, ke orang-orang sekitar di kampus. Rosa adalah salah satu yang melonjakkan imaji. Sering mengantar pulang dengan VW Kodok Merah dan sesekali makan bareng. Dengan setting Jakarta di gejolak Indonesia 1998 di mana demo besar menggulingkan kekuasaan, kita benar-benar diajak berwisata menikmati indahnya nuansa sisi lain menuju peralihan pemerintahan. Kampus, rumah tangga, hubungan-hunungan Soekram dan sitrinya. Soekram – Ida. Soekram – Rosa. Minuk dan Yatno (sayang tak berkembang lebih jauh). Dan cinta iseng Ida menjadi puncak kisah ini dengan surat kasih, bukan email tapi surat tertulis dari seberang jauh. Jika cinta mengajakmu, ikutilah saja. Meskipun jalannya sulit dan curam.

Bagian kedua Pengarang Belum Mati. Soekram menghidup, setting ditarik jauh ke belakang. Di era ia kuliah di Yogyakarta, di mana proses membentuknya menjadi manusia yang open minded. Di zaman pergolakan menuju akhir era Orde Lama, bagaimana Nasakom mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Pilihan politik yang memandu konsekuensi, mau jadi apa kamu nantinya? Adiknya yang kiri, ayahnya yang nasionalis, orang-orang sosialis kanan, teman-temannya yang berbeda keyakinan. Soekram sendiri muslim, atas ‘perintah’ neneknya. Walau Sholat lima waktu bolong, mentok hafal Qulhu, dan sekedar meraya setiap Jumat Berkah. Kan orang harus punya pegangan. Gejolak politik, darah muda yang gemuruh. Dan hiruk pikuk, apa yang harus dikejar setelah studi selesai. Sangat bagus, sangat indah menikmati percabangan pikiran dan keraguan mewujud harapan mana yang akan direalisasikan, sampai akhirnya terpekur dalam goa sakral. Sayangnya tak tuntas. Kenapa Maria tidak hadir waktu aku wisuda? Jangan kunyah pasir itu Soekram, jangaaaan…! 

Bagian ketiga Pengarang Tak Pernah Mati, nah inilah bagian yang saya sangat sayangkan. Susunan apik itu menjadi kacau gara-gara kita diajak meluncur ke masa Siti Nurbaya. Kisah abadi karangan Marah Rusli itu diacak-acak, dimodifikasi, disusupi Soekram dan menjadi amburadul seakan sentuhan tinta masterpiece itu harus merevisi. Niatnya bagus, out of the box. Tokoh fiktif masuk ke dunia imajiner karangan Penulis besar lain, berdiskusi, menyapa dan mengilhami gerakan melawan penjajah. Sayangnya, boomerang. Soekram yang kita kenal cerdas dalam dua bagian itu menjadi konyol. Mencinta Siti Nurbaya, mengikut ragu di masa Indonesia belum merdeka. Menjadi bimbang, awalnya ikut trenyuh tapi di bagian ini muak. Why oh why? Biarkan Datuk Meringgih, Samsul, Hanafi dkk memiliki kehidupannya sendiri. “Datuk telah membohongimu Kram.”

Bagian pertama dan kedua masih related. Karena seorang dosen tahun 1998, di era 1960an mahasiswa bisa diterima. Apalagi ia dosen senior, melanjut studi luar dan menjadi idola kalangan pelajar yang berarti ia sudah mengabdi, memberi banyak contoh baik kehidupan dan makan asam garam. Bagian kedua masih bisalah disambungkan, masa perjuangan masa muda. Cinta itu mau dibawa ke arah mana. Perjuangan kehidupan. Bagian ketiga seharusnya kalau mau related Soekram masih balita, atau setidaknya anak-anak di era Pra-Kemerdekaan atau masa-masa Perang Soerabaya. Sayangnya, era ditarik terlalu jauh ke belakang dan Soekram posisinya sudah dewasa. Bisa saja itu era bayangan, era mimpi, era fiktif tapi secara logika tetap saja tak masuk akal. Sekalipun ini kisah palsu, tapi tetap nalar harus tetap dipegang. Apalagi merusak karya Penulis besar kita. Sayang sekali anti-klimak. Entahlah…

Siapa yang bisa menghalangi lebah bergantung di tubir bunga? Siapa yang bisa menghalangi capung berkeliaran di udara? Siapa yang bisa menghalangi siput merambat di tepi sungai dengan beban waktu di cangkangnya? Siapa yang berani bertanya kenapa waktu seperti tak peduli bertengger di ujung cangkangnya? Siapa pula berani berkata, Sudahlah Datuk, segalanya sia-sia? Siapa gerangan yang berani mengatakan bahwa ada yang bisa sia-sia?

Siapa yang berani bertanya, kenapa bagian ketiga amburadul?

Ping-pong-ping-pong-ping-pong-ping-pong… harus berakhir di tiang gantungan bahwa revolusi mulai merasa mual bahwa revolusi telah meludah di sembarang tempat. Bahwa di negeri ini memang tidak disediakan tempat istimewa untuk meludah. Juga tidak untuk ;ing-pong. Juga Maria. Juga.

Trilogi Soekram | oleh Sapardi Djoko Damono | copyright 2015 | GM 201 01 15 0014 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan keempat Juni 2016 | editor Mirna Yulistianti | desain sampul Suprianto | setter Fitri Yuniar | ISBN 978-602-03-1478-5 | skor: 3/5

Karawang, 13-171217 – Sherina Munaf – Simfoni Hitam