A Room With A View – E.M. Forster

George: “Kita tidak bisa berbuat baik pada semua orang. Kapasitas kita untuk berbuat baik sejatinya terbatas. Maksud saya begini. Matahari memancarkan sinarnya tanpa pandang bulu. Tapi bilamana kita berdiri di bawah sorot mentari, kita niscaya menghasilkan bayangan. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain pun tiada guna, sebab bayangan senantiasa mengikuti dan kita senantiasa menghalangi jatuhnya cahaya ke sini atau ke situ. Jadi lebih baik kita diam di tempat kita paling sedikit menimbulkan kerugian bagi yang lain. Dan setelah memilih tempat itu, kita mesti berdiri gagah menantang matahari.”
Ini adalah jenis buku romantis klasik yang diluarduga berhasil menyentuhku. Memang genre novel paling jarang saya baca ya drama percintaan, komedi  slapstick dan horor. Kisahnya sendiri sudah bisa diprediksi bahkan sebelum bab pertama belum selesai. Terlalu terbuka, dan tak banyak kejutan berarti. Namun keunggulan utama memang bukan di sana, novel ini sangat kuat dalam permainan diksi, romantisme dalam lanskap berbelit dan hebatnya tak norak. Kebanyakan drama cinta kan datar dan disajikan dengan dangkal, nah Room With A View menyajikan makanan kisah dengan bumbu istimewa dalam piring emas yang sedap dipandang.

Cerita dibuka langsung ke poin utama, bahwa dalam berlibur sang tokoh utama kecewa karena penginapan yang diharapkan mendapat pemandangan indah, buyar tak sesuai harap. Langsung keartian judul utama kan? Miss Lucy Honeyschurch dan sepupunya Miss Charlotte Barlett sedang berlibur ke Italia. Kamar yang mereka tempati tak sesuai dengan janji Pak Bertolini, pemilik wisma. Saat akan protes, mereka malah bertemu dengan Tuan Emerson dan anaknya George emerson yang menawarkan tukar kamar. Sebuah berkah seharusnya, tapi di zaman itu tindakan macam gini dianggap tak sopan. Karena para wisatawan yang lebih berkelas terguncang mendengar tawaran ini dan bersimpati pada kedua pendatang baru. Miss Bartnett menanggapi dengan membuka mulut sesedikit mungkin untuk mengatakan, “Terima kasih banyak, tapi tidak bisa.” Kenapa? Itu tidak sopan. Lucy yang terperangkap bingung, dia memiliki firasat bahwa semakin kedua turis kurang sopan ini angkat bicara, semakin ruwet dan berlarut pula kemelut ini. Bukan karena kemelut tentang kamar dan pemandangannya tapi tentang ‘sesuatu’ yang eksistensinya bahkan tidak Lucy sadari sebelumnya. Seorang turis wanita sepuh mungil yang kebetulan mendengarnya melihat dengan demooh seakan bilang, ‘Tidak, kami ini orang terhormat yang tahu sopan-santun’. Lalu muncullah pendeta Beebe yang sudah dikenal mereka. Dari Mr Beebe, Lucy tahu bahwa keluarga Emerson adalah keluarga baik-baik. Alasan penolakan lebih kepada takut berhutang budi pada orang asing. Akhirnya menyepakati pertukaran itu, tuan emerson sendiri tak meminta imbalan apapun, bahkan kata terima kasih. Dari sinilah, mereka malah saling mengenal. Lucy akhirnya bisa berlibur dengan membuka jendela lebar-lebar mencondongkan badan ke penghangatan sinar mentari pagi dan menikmati pemandangan indah, perbukitan dan pohon-pohon, serta Gereja di seberang, sungai Arno yang menggelak di balik tanggul pembatas jalan. Semua ini berkat Tuan Emerson yang tak sopan!

Sekembali ke Inggris, Lucy bertunangan dengan Cecil Vyse padahal sempat tarik ulur, diterima enggak ya? Sedari awal jelas, ada masalah. Walau Mr Beebe berujar, ‘Mr. Cecil adalah bujangan ideal. Ia mirip dengan saya yang pandai menjaga jarak’. Dan Forster sendiri menunjukan sikap itu dengan gamblang. Sejak Cecil mengejar Lucy, Lucy sudah merasa Cecil tak sesempurna dulu, apa itu rasanya wajar memang begitu kan cewek? Berjalannya waktu, cinta sejati memberi bukti. 

Lucy Honeychurch laksana wanita dalam lukisan Leonardo Da Vinci, yang kita cintai bukan karena dirinya melainkan karena rahasia yang dia simpan, rahasia yang mustahil diartikulasikan, rahasia yang pada hakikatnya bukan dari dunia ini. Wanita Leonardo bukanlah wanita vulgar yang memiliki ‘kisah hidup’, singkatnya Lucy dari hari ke hari berkembang jadi kian menakjubkan. Gadis belia dengan pesona luar biasa, eh jadi penasaran sama tampilan visual Bonham Carter muda.

Lalu muncullah keluarga Emerson di Inggris, yang secara garis mempertemukan kembali dengan Lucy. “Saya sendiri sempat merenung. Ini memang kebetulan. Saya ditakdirkan berada di sini. Takdir menentukan segalanya. Kita dipersatukan oleh takdir, dipisahkan karena takdir. Dipersatukan, dipisahkan. Angin dari dua belas penjuru mengembuskan kita – tiada yang abadi.”  Suatu Minggu saat mereka pulang dari beribadat, Lucy memperhatikan George. Keluarga Emerson memang kurang relijius tapi mereka adalah kaum yang taat dan – ehem sopan sekali. Lucy mulai terkesan, saat George bilang, “Induk semang diberitahu bahwa kami termasuk golongan tertentu. Dia kira kami ini artistik, dia kecewa karena kami tak seperti yang dia sangka.” Dan melanjutkan dengan kalimat bijak tentang kebaikan, Lucy malah makin tertarik sehingga berniat mencari tahu lebih banyak tentang Pemuda ini.

Dan seperti yang kita tebak, semakin hari ia malah jatuh hati. Dari benci karena tak sopan, sampai akhirnya malah terjerat cinta. Hari pernikahan semakin dekat, tapi hati dan pikiran Lucy malah ke pria lain. Tak akan ada kesempatan kedua, menghitung waktu dengan cepat, kepada siapa cinta Lucy berlabuh? George atau Cecil? Akankah ia mengikuti kata hati, hufh beranikah?

Awalnya saya mencoba mendebat, apa menariknya sebuah kisah yang memberi pembuka bahwa lokasi lihat sebuah hotel bisa membuat orang marah? Betapa konyol, pasti itu orang sentimental, suka rusuh ga jelas. Tapi lihatlah, perlahan nan pasti kita diajak mengelana budaya zaman dulu era Edward yang mana, saat itu menawari tukar kamar dianggap tak beradap. Kukira kualitas terjemahan Noura yang buruk, eh ternyata memang bukunya unik. Ada satu bab yang unik, bab 6 judulnya panjang sekali: ‘Pendeta Arthur Beebe, Pendeta Curhbert Eager, Mr. Emerson, Mr. George emerson, Miss Eleanor Lavish, Miss Charlotte Bartlett, dan Miss Lucy Honeychurch Berpelesir Untuk Melihat-lihat Pemandangan Diantar Oleh Sais Italia.’ Menyentuh 29 kata euy. 

Pertama terbit tahun 1908, kisah Lucy sudah pernah diangkat ke layar lebar tahun 1985 dengan bintang Maggie Smith, Daniel Day-Lewis, Rupert Graves, Helena Bonham Carter dan Judi Dench. Njir bintang besar semua. Judul asli buku ini adalah Lucy Novel namun Forster mengubahnya saat revisi akhir. A Room sebenarnya menyajikan konflik sederhana tentang tata karma di awal abad 20, tentang cinta yang harus memilih. Kelebihan justru pada cara penyampaian bertutur, ruwet dan berbelit. Karakter Cecil seakan antagonis, padahal tak ada sisi pasti hitam-putih dan mengizinkan Pembaca untuk membencinya. Lucy sendiri dalam bayangku seperti gadis manja yang memberi tindakan bodoh tanpa memikirkan konsekuensi, tapi tunggu dulu keberaniannya menentukan pilihan meruntuhkan itu. Dan George memberi dampak gentlemen, pahlawan tampan yang memberi harapan masa depan. Dan jadilah cinta segitiga yang menjebak.

Oh sudahlah, aku tak peduli siapa yang benar dan salah! Masih pentingkah pengakuan pada saat seperti ini?

A Room With A View | by E.M. Forster | diterjemahkan dari A Room With A View | penerjemah Reni Indardini | penyelaras aksara Lani Rahmah | penata letak CDDC | perancang sampul Fahmi Ilmansyah | cetakan I, Mei 2015 |cetakan I, Mei 2015; 360 hlm | ISBN 978-602-0989-77-8 | Penerbit Noura Books | Skor: 5/5

Karawang, 040917 – Sherina Munaf – 1000 Topeng

Iklan

2 komentar di “A Room With A View – E.M. Forster

  1. Ping balik: Best 100 Novels | Lazione Budy

  2. Ping balik: Best 100 Novels of All Time v.2 | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s