Buku dengan tema berat seperti ini saya suka. Awalnya kukira berat, eh ternyata semakin halaman menipis semakin turun performanya. Alasan kenapa saya memutuskan memasukkan ke rak adalah ini buku lokal dengan fragmen sejarah hitam Indonesia, masa peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Masa di mana kebebasan masih sangat mahal. Ekspekatsiku makin membumbung ketika membaca profil Penulis yang sudah matang di dunia jurnalis. Makin membuncah saat tahu ibu Nusya Kuswantin bilang ‘Lasmi – yang merupakan akronim dari lama sekali mimpinya ini – akhirnya selesai ditulis tahun 2008.’ Dan berujar ‘Novelmu tidak bisa menulis dirinya sendiri’. Dan poin penting bahwa ‘menulis novel yang baik tentulah membutuhkan usia.’ Benar sekali, kita sependapat. Maka tak salah ketika libur Lebaran 2016 saya pilih novel ini dibaca yang pertama dari 9 buku yang saya beli. Dengan waktu luang berlimpah memang dalam semalam selesai lahap. Hasilnya? Buku ini sangat bagus di separo pertama, sempat down di tengah dan akhirnya tergelincir di eksekusi ending. Detailnya adalah bukti bahwa sang Penulis sudah makan asam garam di dunia kepenulisan. Mengenai seluk beluk kebiasaan suku Jawa buku ini harus dikasih jempol. Namun sayang, poin terpenting kisah ini sudah diberitahukan di prolog bahwa Lasmi mati. Titik. Tak ada perdebatan lagi. Jadi apa yang akan kita nikmati kalau kita sudah dikasih tahu ending? Ya jalan menuju ke sana. Ah sempat berharap akan ada twist, namun ternyata tidak. Apa yang dituturkan di pembuka adalah kenyataan tak terbantah.
Kisah dibagi dalam empat bagian. Tahun 1957: Perjumpaan, tahun 1963: Pergumulan, tahun 1965: Pemburuan dan tahun 1965: Perpisahan. Dari sudut pandang seorang laki-laki bernama Tikno, seorang guru yang terkesima pada pandangan pertama kepada gadis bernama Lasmiyati. Saat itu tanggal 29 Juli 1957, Lasmi jadi panitia pemilihan desa. Lasmi digambarkan sebagai gadis desa yang porporsional dengan tubuh ramping, tinggi badan 156-158 cm, kulit sawo matang, rambut digelung dan tatapan yang tampak tegas dan bersahaja. Berwajah bulat telur dengan rahang yang kuat. Dagu dan tulang pipi yang digores luwes. Hidungnya ibarat buah jambu air dibelah dua, sorot mata yang teduh. Tarikan bibir menawan, mengesankan pribadi yang empatik. Lagaknya ga kemayu, tindak-tanduknya juga tak tampak berusaha mriyayeni, tertawa biasa saja dengan bibir terkatub rapat seperti yang diajarkan kaum priyayi. Yang tampak janggal, walau dari keluarga yang berkecukupan ia tak mengenakan subang di kedua daun telinganya dan tak memakai aksesoris apapun. Waaa… luar biasa gadis impian tiap laki ini. Kenapa saya memulai ulasan dengan detail karakter, ya karena ini adalah kisah tentang Lasmi.
Proses bersatunya mereka berjalan dengan cepat. Prosesinya benar-benar ala Jawa. Ga sedetail buku Para Priyayi karya Umar Kayam. Namun tetap bervitamin. Karena saya terlahir sebagai Jawa maka sebagian besar yang disampaikan Nusya langsung paham. Bagian yang saya suka adalah cerita tentang Mak Paini yang update gosip dari kantor pegadaian. Seperti ketika ia berujar, “Wah Mbakyu, kata orang-orang minyak tanah menghilang…” atau, “Tadi ada berlian besar dilelang. Kasihan sekali pemiliknya…” dan seterusnnya dan seterusnya. Mungkin di kisah ini Mak Paini hanya tokoh figuran yang datang dan pergi sambil lalu, namun ia adalah saksi perjalanan sejarah dari masyarakat kebanyakan. Dan itu disampaikan dengan komikal. Sebuah penyeimbang tema berat yang coba disodorkan.
Kemudian ketika keluarga ini akhirnya memiliki anak pertama, semua cinta mengarah pada Bagong Dewandaru. Anak semata wayang. Bagong dari salah satu tokoh Pewayangan Punakawan selain Semar, Gareng dan Petruk. Dewa – kewaskitaan serta kebijakasanaan sedang ndaru – bintang jatuh yang dimaknai sebagai berkah. Anak dengan nama dua kata. Saatnya perubahan setelah orang tua mereka (dan kebanyakan orang kita zaman dulu) hanya memiliki nama satu kata. Kisah kasih orang tua kepada anak disampaikan dengan datar, tak banyak gejolak. Kisah baru benar-benar bergolak ketika situasi politik memanas. Karena Lasmi aktif di Pendidikan lalu merambah ke dunia politik maka ia terseret.
Politik memang dinamis, tak peduli di mana kamu berpijak saat ini karena esoknya bisa jadi pijakan kokoh itu rubuh. Saat itu tahun 1965, tahun penting perjalanan negeri ini. Karena Lasmi adalah ketua Gerwani di desa itu maka ia pun was-was. Gerwani dan Pemuda Rakyat dinyatakan sebagai organisasi terlarang pasca tragedi G30S-PKI. PKI (Partai Komunis Indonesia) dan organisasi lainnya yang menjadi underbouw disapurata. Seperti PGRI non-Vaksentral, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), BTI, IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), CGMI (Concentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia). Seperti Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), semua disikat oleh Pemerintah.
Pelarian Lasmi beserta Tikno dan Gong dari satu dusun ke dusun yang lain. Sembari menanti kabar dari radio dan gosip perkembangannya. Detail pembasmian disampaikan dengan penuh gejolak. Kejam. Sadis. Dan tak berperikemanusiaan. Bagaimana bisa manusia membunuh manusia lain bisa dengan begitu mengerikannya, padahal manusia terlahir dengan kasih sayang dari orang tua dirawat dengan cinta. Yah, pertanyaan semua orang dari segala generasi. Bagaimana bisa manusia bagai binatang yang memakai naluri membunuh sebagai dasar. Kisah itu ditulis dengan ketar-ketir sampai kapan Lasmi bisa mengelak takdir. Sampai akhirnya di suatu hari ia menyerah. Setelah menghabiskan malam penuh gelora Lasmi memutuskan inilah saatnya tampil. Apalagi pasca tragedy keluarga paling memilukan bagi seorang ibu muda, ia seperti putus harap akan hari depan. Tragedi apa? Bijaknya tak kuceritakan karena ini salah satu keberanian Nusya mengeksekusi cerita. Keberanian yang bagus dengan tampilan konflik yang lebih berat. Sayangnya kunci utama bahwa Lasmi mati, itu sudah dibocorkan di awal jadi tak ada kejutan.
Saya nyaris memberi nilai sempurna. Namun semakin jauh melahap semakin datar. Sempat berujar, ‘Akhirnya ada buku lokal tema berat yang berkualitas’. Sayang separo kedua drop. Jadi harapan itupun ikut terjatuh. Memang usia itu penting dalam menyikapi kualitas, tapi jangan lupakan pengalaman juga jauh lebih penting. Ini adalah debut novel Nusya, wajar penggarapan akhir kedodoran. Patut ditunggu karya beliau berikutnya. Setidaknya Lasmi memberi nafas berbeda di dunia literasi kita. Lasmi memberi warna seru di tengah gempuran buku remaja ga jelas atau buku komedi atau buku cinta blab la bla yang kini membanjiri tooko. Ayo Lasmi semangatmu memberi harap bahwa buku karya anak bangsa juga ada yang patut diperhitungkan.
Lasmi | oleh Nusya Kuswantin | hak cipta Nusya Kuswantin, 2009 | Cetakan 1, November 2009 | Diterbitkan oleh Kakilangit Kencana 2009.0016 | Design sampul Circlestuff Design | Tata letak Siti Nurlela | Editor Syafruddin Azhar | viii + 232 hlm; 11.5 x 19 cm | ISBN 978-602-8556-19-4 | untuk sutiari | Skor: 3.5/5
Karawang, 260816 – Sherina Munaf – 1000 Topeng
*) spesial review untuk menyambut bulan September 2016
Ping balik: 9 Buku Baru – THR 2016 | Lazione Budy