Luar biasa. Dengan ekpektasi ala kadarnya buku ini menjelma jadi sesuatu yang mengejutkan. Apa yang bisa diharapkan dari cerita kasih sayang antara majikan dan seekor peliharaan bernama anjing? Paling kisah kasih klise yang membuat dahi berkerut. Tak banyak cerita hewan peliharaan yang bisa mempesona pembaca. Hachicko dari Jepang bisa jadi judul pertama yang muncul di kepala. Namun ketika di suatu sore hari sesaat setelah belajar bahasa Inggris dan jelang ibadah Asar, Miss Devi yang berkenan meminjamkan buku ini dan menyodorkan pada saya, yang pertama terbesit di kepala adalah binatang peliharaanku dulu pas Sekolah Dasar (SD). Pernah saya buat catatan khusus tentang Brown, anjing kecil yang terlunta di blog ini dengan judul ‘Hewan Peliharaan’. Entah kenapa Miss Devi meminjamkan buku ini terpisah dari dua buku yang lain, di hari yang sama di mushola setelah kelas bubar. Di covernya ada semacam striker penghargaan ‘New Berry Medal’ yang berarti sang Penulis pernah meraih penghargaan, lalu sebuah endorsment dari Penulis kita Sapardi Djoko Damono yang bilang, ‘bahasanya tangkas dan kisahnya menegangkan’. Dengan deretan embel-embel itu kenapa harapan saya masih rendah? Yah, karena ini bukan fabel jadi fantasi-nya pasti minim. Dari ketiga buku yang saya pinjam, jelas saya menempatkannya di urutan terakhir. Bahkan saya hampir lupa baca, baru sadar pasca Lebaran. Prediksiku yang ngelantur bakalan membosankan langsung ditepis sejak kisah dibuka. Hanya saya baca semalam kelar!
Dengan sudut pandang orang pertama cerita ini digulirkan. Jadi suatu sore yang mendung. Marty, sang tokoh utama sedang bertamasya jalan kaki sepanjang komplek rumahnya. Ketika sampai di sekitar sungai ia melihat seekor anjing beagle, berumur sekitar satu atau dua tahun. Anjing dengan ban leher yang sudah tua. Dipanggilnya untuk mendekat, “Sini boy”. Namun bergeming. Ketika Marty mencoba mendekati anjing menjauh. Tampak ia habis dipukul atau mungkin ditendang. Anjing malang. Saat ia duduk, anjing ikut duduk. Oh mungkin anjing betina, dipanggilnya, “Sini girl”. Tetap tak mau. Bosan, Marty beranjak sambil bersiul, barulah sang anjing lari mendekat dengan semangat. Semacam tombol ajaib, anjing itu langsung nurut. Siulan semacam panggilan untuk beagle itu kurasa. Mereka akrab dalam sekejap. Ketika turun hujan, Marty beranjak pulang. Binatang itu ikut sehingga Ma menanyainya. “Anjing siapa itu? Dan dimana kau bertemu denganya?”
“Tak tahu, dari tadi mengikutiku.” Jawab Marty. “Di Shiloh (sebuah nama wilayah, semacam dusun), di seberang jembatan.” Sang anjing duduk memandang jendela, menatap Marty dengan ekor menibas. Ia menamainya Shiloh.
Ayah Marty adalah tukang pos sehingga kenal betul para tetangga dan tahu itu anjing Judd Travers yang gemar berburu dan beberapa waktu lalu membeli anjing sebagai teman berburu. Ibunya gemar memasak, setiap hari Minggu ketika keluarga ini berkumpul selalu membuat masakan spesial. Marty anak sulung dengan dua adik, Becky dan Dara Lynn. Keluarga sederhana ini mungkin miskin, namun terlihat bahagia saling menjaga dan mengasihi. Kebersamaan adalah priotitas untuk mengahadapi segala masalah. Sehingga ketika Shiloh dibawa pergi dengan jip untuk diserahkan kepada Judd Travers, semua ikut sedih melihat Marty tersedu. “Aku ingin menjadi dokter hewan.” Katanya, suatu hari Marty ingin menjadi orang yang berguna yang bisa membantu sesama.
Saat Shiloh akhirnya diserahkan. Judd berjuar, “Malam ini ia akan kubiarkan, tapi jika ia keluyuran lagi, aku akan memukulinya habis-habisan. Kujamin itu.” Sebuah ancaman yang membuat Marty semakin sedih. Anjing manis yang membuatnya jatuh hati kini dalam bahaya. Di kandang Judd peliharan tak terurus dengan baik. Bahkan ia menamai binatang-binatang itu seenaknya sendiri, ‘Dungu’, ‘Minggatsana’, ‘Enyah’, dan ‘Bedebah’.
Dalam perjalanan pulang Marty marah. Ayahnya menasehati, “Marty, kadang kau tak tahu kapan harus tutup mulut. Kau tak bisa begitu saja menyuruh orang lain menamai anjingnya seperti yang kau mau. Judd Travers berhak menamai anjingnya dengan nama apa saja yang dia mau atau untuk tidak menamainya. Dan kau, harus mencatat baik-baik di kepalamu bahwa anjingnya bukan anjingmu, dan mulailah memikirkan hal-hal lain.”
Namun Marty tak bisa. Pikirannya tercurah kepada Shiloh. Dalam jip perjalanan pulang itu terjadi dialog yang terdengar sepele dan sambil lalu, namun percakapan biasa ini, “Saat berburu kita boleh menembak apa saja yang bergerak?” dan ayahnya menjawab, “Tentu saja tidak. Kau hanya boleh menembak binatang yang memang musimnya diburu.” Nantinya akan jadi sebuah kunci yang pas dalam eksekusi ending.
Sesampai di rumah Marty meminta punya hewan peliharaan. Namun karena kondisi keuangan mereka yang kurang bagus, dan neneknya butuh perawatan khusus, Ma melarang. Beberapa hari kemudian di pagi yang cerah ketika ayahnya sudah berangkat kerja, Dara Lynn dan Becky nonton kartun di tv, Ma ada di teras belakang, Marty yang sedang duduk di meja makan sepotong roti ia mendengar gongongan Shiloh. Ia lalu keluar rumah untuk menghampiri. Hari itu Marty tahu dua hal, pertama Judd sedang mengajak anjing-anjingnya berburu dan Shiloh kabur. Kedua, ia tak akan pernah mengembalikan Shiloh. Tidak untuk kali ini, tidak akan pernah.
Dipeluknya Shiloh, dengan cepat ia bertindak. Membawa sang anjing jauh dari pandangan orang-orang, ia ke arah bukit belakang rumah. “Shiloh, Judd Travers tak akan menendangmu lagi.” Di pohon pinus, Shiloh diikat. Dibuatkan kandang dan diberi makan secara rutin. Shiloh jadi rahasia Marty. Biasanya ia susah makan dan sering kali ditegur Ma bila ada makanan sisa, namun semenjak menyembunyikan anjing, piring Marty selalu bersih karena ia menyembunyikan makanan untuk santap Shiloh.
Awalnya segalanya berjalan sesuai rencana. Namun mau sampai kapan? Judd sudah memberi pengumuman anjingnya hilang dan bagi siapa yang melihatnya untuk segera dikembalikan. Dalam sebuah kesempatan ia bertemu Marty, namun apa yang disampaikan Marty adalah kebohongan tersamar. “Aku telah mencarinya di sepanjang jalan, tak ada anjing beagle.” Perseteruan dimulai.
Dari sinilah keseruan benar-benar terjadi. Orang pertama yang mengetahuinya adalah Ma. Sahabatnya David Howard yang awalnya tak tahu malah terseret. Ma meminta Marty mengembalikan Shiloh, Marty keberatan. Diberinya waktu seminggu. Dan segalanya berantakan ketika suatu malam, Shiloh diserang seekor anjing herder hingga terluka parah. Runyam. Waktu yang semakin sempit, ayahnya marah karena ternyata anjing Judd yang dicari-cari itu ada di tangan anaknya dan kini sekarat. Berhasilkah Shiloh selamat? Dari tangan Judd dan ancaman maut?
Well, diluarduga kisahnya dieksekusi dengan bagus. Sekalimat di cover dari Sapardi Joko Darmono tak bohong. Bahasanya luar biasa dan sangat enak diikuti karena mengalir mengintimidasi sehingga tak heran saya baca terpaku dalam semalam kelar. Alurnya memang maju terus, namun disajikan dengan renyah. Mungkin selain prediksiku yang salah kisah ini akan berakhir klise, perkiraanku apa yang terjadi berikutnya juga meleset. Selalu menyenangkan baca buku yang berhasil mengecoh kita, dengan tampilan segar dan ending masuk akal. Pengalaman Penulis yang sudah punya ratusan karya tak bohong. Pengalaman memang guru terbaik dalam hidup.
Yang saya sesalkan. Buku ini adalah buku pertama dari trilogi. Mampus! Sementara Shiloh ini akan saya kembalikan, bagaimana saya bisa melanjutkan baca buku dua dan tiga? Saya meyakini setahun depan saya tak akan bisa menemukan seri berikutnya. Rasanya mustahil menemukan buku terbitan mainstream macam ‘Kaifa for Teen’. Nama penerbitnya saja baru dengar, walau masih di bawah Mizan. Inilah apesnya membaca buku berseri tanpa memegang seri utuh.
Buku ini ternyata sudah diadaptasi ke film. Dengan sambutan positif. Shiloh adalah hewan yang benar-benar ada hidup di West Virginia dan jadi selebritis lokal. Dengan debut baca karya Phyllis Reynolds Naylor yang mempesona ini, bisa jadi ke depannya saya akan berburu buku-buku beliau yang lain.
Yang pasti Shiloh lebih bernasib mujur ketimbang Brown, anjing masa kecilku yang berakhir di lapo.
Shiloh: Persahabatan Sejati | by Phyllis Reynolds Naylor | diterjemahkan dari Shiloh | Terbitan Aladdin Paperbacks, 1230 Avenue of the Americas, New York, 2000 | Penerjemah Ibnu Setiawan | copyright 2000 by Phyllis Reynolds Naylor | cetakan I, Juli 2003 | Penerbit Kaifa | design sampul Yulia | ilustrator isi Uget | Foto-foto Trudy Madden | 176 hlm; 20 cm | ISBN 979-9452-66 | Untuk Frank dan Trudy Madden dan seekor anjing bernama Clover | Skor: 4/5
Karawang, 180816 – Sheila On 7 – Buat Aku Tersenyum