Setelah di bulan Juni kita digelontori 30 review buku ternyata bulan Juli saya sama sekali tak menulis ulasan buku. Ketika Agustus sudah melewati setengahnya baru saya nulis lagi. Wajar ga sih pola seperti itu? Tahun lalu juga sama, setelah digentor ulasan buku saya langsung menulis hal lain beberapa lama. Yah, menurutku wajar. Ibaratnya saat Lebaran kita menantinya dengan hidangan spesial opor ayam. Setelah seminggu memakannya mulai datang rasa bosan, apakah Minggu kedua seandainya ibu masak opor lagi kalian akan tetap antusias? Tentunya tidak, sehingga beralih ke masakan lain kan setelah sepekan penuh melahap opor.
Nah, masakan ibu pertama di pekan kedua Lebaran itu adalah tuturan kisah masa kecil sang legendaris dari Bengali, India. Tagore dan Masa Kanak mungkin adalah salah satu kumpulan cerita pendek terbaik yang pernah saya baca. Kisahnya membumi. Kisahnya ditulis dengan bahasa keseharian. Masa lalu India, masa kecil Tagore tentunya tak jauh beda dengan zaman Indonesia dulu. Sama-sama negara Asia dengan penduduk berlimpah dalam jajahan negara Eropa. Beberapa bagian mengingatkanku pada masa kecilku sendiri. Seperti ketika Tagore berkisah tentang Mini anaknya yang berkenalan dengan orang asing penjual keliling. Atau kisah Tagore yang gemar mendongeng kepada cucunya. Atau cerita pesta anak-anak sekolah menyambut guru baru. Hebat ya. Padahal kisah ini setting waktunya jauh dari abad 19 sampai awal 20, namun masih sangat relevan sampai sekarang
Rabindranath Tagore memang istimewa. Ini adalah buku ketiga beliau yang saya baca. Ketiganya menakjubkan. Gitanjali yang sudah saya review, Surat Dari Raja dan Anyelir Merah dan ini. Tagore seorang multitalen, selain Penulis ia adalah penyair, pelukis dan pencipta lagu. Beberapa lukisan karyanya dijadikan ilustrasi buku ini. Seni tingkat tinggi, saking tingginya saya yang tak paham-paham amat seni hanya menatap penuh tanya goresan samar beliau. Yang dijadikan sampul, goresan dengan bentuk sketsa wanita tentu saja salah satunya. Pilihan kover yang bijak, karena lukisan yang lain yang ada di buku ini akan lebih rumit dalam makna.
Buku ini berisi 25 cerita lepas. Cerita pendek yang bisa saja berdiri sendiri, namun beberapa ada keterkaitkan terutama bagian kedua ketika kisah bergulir hubungan kakek dan cucu. Setelah daftar isi ada publisher’s note yang berisi dua lembar berbahasa Inggris. Dari M.K Singh yang menyampaikan sang Penulis pernah ke Indonesia di zaman Belanda tahun 1927. Salah satu poin yang menyenangkan adalah jalan M.T Haryono di Solo, itu mengingatkan kita bahwa dulu pernah bernama ‘Tagorestraat’. Wow, ternyata sang Penulis pujaan ini doeloe pernah ke Solo. Hanya beberapa kilo dari rumahku di Palur. Amazing! Nanti ketika pulang kampung akan saya telusui jalan M.T Haryono dengan memegang erat buku Tagore siapa tahu pemikiran beliau ada yang tercecer di sana dan bisa mengilhamiku. Menyusup di kepalaku. Ingatkan saya ya.
Cerpen pertama tentang Orang Suci di atas pohon. Isinya seperti sindiran. Bagaimana orang bisa terjerebab meminta bukan kepada Tuhan. Percakapan tiga karakter Udho, Gobra dan Panchu. Tentang orang suci di atas pohon yang konon bisa mengabulkan segala pinta orang yang menemuinya. Nah orang suci itu bisa menjelma jadi apapun bukan? Bahkan seekor kera?
Cerita kedua berjudul Harapan Terkabul. Kisah anak-bapak yang bertukar masa. Anak lelaki Subalchandran bernama Sushilchandran. ‘Subal’ berarti kuat, ‘Sushil’ berarti santun. Namun sifat kedua orang itu tak sesuai arti nama mereka. Sang ayah kesal sama anaknya yang nakal dan petakilan. Sang anak kesal sama ayahnya yang sok ngatur. Sehingga suatu hari ketika mereka berharap bertukar posisi, kebetulan Peri Harapan lewat. Dan yah, kita pasti tahu apa yang terjadi berikutnya. Sering kali apa yang kita harap ternyata tak senikmat yang dibayangkankan?
Pesta Para Tikus adalah cerita ketiga yang mengingatkanku pada majalah Bobo 20 tahun lalu. Saya pernah membacanya di salah satu cerpen majalah anak itu. Entah dulu saduran, terjemahan, terinspirasi atau mungkin jiplakan? Yang pasti 20 tahun lalu saya pernah membaca kisah sekumpulan anak sekolah menyambut guru baru dengan kebencian karena tersebar kabar calon guru mereka menyeramkan sehingga mereka berupaya menjegal, namun ternyata dalam prosesnya sekumpulan murid nakal ini kena getah. Ini bukan pertama kali saya menemukan bahwa ternyata cerita yang saya baca 10 atau 20 tahun lalu di majalah masa kecil ternyata mirip dengan buku Orang Besar dari luar. Sayangnya majalah-majalah itu sudah lenyap (dari rak saya) sehingga untuk membandingkannya sulit. Ingatan kita memang sangat terbatas. Hanya hal-hal penting yang tetap bersemayam di kepala. Jangankan belasan tahun lalu, untuk mengingat apa yang terjadi kemarin pagi secara runut saja sulit.
Cerpen keempat Kabuliwalla. Nah yang ini kisahnya lebih berat. Bagaimana seorang anak kecil terpikat sama orang asing, penjual keliling dari Kabul. Tagore memposisikan sebagai ayah, sedang menulis cerita. Anaknya Mini, yang cerewet yang mengingatkanku pada Hermione yang kini sedang gemar ngoceh tak jelas. Mini yang awalnya takut sama sang Kabuliwalla malah jatuh hati. Anak seusia itu terpikat dengan tingkah laku orang asing. Alasannya sendiri dijelaskan di akhir, namun jangan berharap ini kisah sederhana. Karena ternyata dibaliknya ada pesan kasih sayang yang lebih memikat. Cinta ayah kepada putrinya, sangat menyentuh hati.
Memasuki bagian kedua kita diajak melalangbuana dalam hubungan kakek dan cucunya. Bagian ini adalah fantasi namun benang merah ada di sekeliling karakter. Empat cerpen pertama berjudul Si Orang. Kisah imajinatif bagaimana sang kakek mencipta cerita fiktif dengan bayangan orang-orang sekitar. Sang cucu bernama Pupe yang gemar mendengar dongeng sama aktifnya. Bagus sekali ya. Kisah sederhana yang dijalin dengan bagus. selain tentang karakter fiktif Si Orang kita juga akan diajak berkelana ke istana raja, bertemu ilmuwan dan legenda peri yang akan membuatmu tergelak sekaligus mengumpat lembut. Betapa hebat sang kakek menyamarkan fakta dan ngeles.
Memasuki bagian ketiga, penutup. Kita akan kembali fokus kepada sang Penulis di masa kecil. Kisah klasik tentang kendaraan tandu yang dulu terlihat mewah bak bangsawan Inggris. Kisah cara mendidik orang tua Tagore yang unik. Kita akhirnya tahu ternyata Tagore di masa kecil jahil. Mengantuk di kelas, suka menyaksikan pertunjukan jatra yang ditanggap, main gandu – saudara jauh kriket, tubuhnya yang sehat dan kegemarannya akan dongeng. Tentu saja segala yang diceritakan ini nantinya membentuk karakter beliau, hal ini bisa dilihat dari karya-karyanya. Pendidikan usia dini oleh orang tua memang sangat penting. Maka sedari balita saya selalu mengelilingi Hermione-ku dengan buku. Kita memang tak tahu masa depan, namun kita bisa merencana segalanya bukan?
Well, karena saya terkesan maka tak berlebihan dong saya bilang buku ini sangat rekomendasi buat kalian pecinta sastra kisah klasik untuk nostalgia. Diterjemahkan dengan brilian oleh Penulis besar kita, Ayu Utami, jelas dialih bahasakan dengan teliti dan sepenuh hati, tak asal translate. Saya hanya menemukan typo satu kata. Di halaman 174 di baris kalimat ke 19. “… menunggu agar Mejdada mendapat izin untk bergabung.” Diterbitkan untuk Indian Courcil of Cultural Relations, New Delhi dan Kedutaan Besar India di Jakarta. Terima kasih Ayu, terima kasih KPG, terima kasih India. Bersyukurlah saya bisa menikmati buku berkualitas ini.
Terakhir. Dengan pola kerja sama semacam ini. Bagaimana Kedutaan kita memperkenalkan Indonesia kepada dunia melalui buku? Buku siapa yang secara khusus diterjemahkan untuk disajikan khusus itu? Banyak buku pra-kemerdekaan yang layak disodorkan. Dari Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Kasih Tak Terlarai, Kehilangan Mestika, Layar Terkembang sampai Katak Hendak Menjadi Lembu. Itu karya klasik yang tentu saja masuk daftar ring satu untuk maju mewakili Indonesia menatap dunia. Namun dunia literasi modern karya anak bangsa kini juga banyak yang bagus. Eka Kurniawan sudah membuktikan kesabaran adalah teman karib karya besar. NH Dini sudah melalangbuana membuat takjub pembaca. Yang paling hebat jelas Pramoedya Ananta Toer yang sudah sampai Belanda duluan. Semoga salah satunya (nanti) adalah karya Ayu. Saman mungkin?
Oh yang pasti itu bukan Tere-Liye.
Tagore Dan Masa Kanak | oleh Rabindranath Tagore | diterjemahkan dari bahasa Inggris Boayhood Day oleh Radha Chakravarty | copyright Embassy of India in Jakarta | Hak penerbitan Bahasa Indonesia pada KPG – Kepustakaan Populer Gramedia | KPG: 901 11 0435 | Penerjemah Ayu Utami | cetakan Pertama, Mei 2011 | ilustrasi sampul dan lukisan Rabindranath Tagore | Perancang sampul Wendie Artwenda | Penataletak Wendie Artwenda | x + 192 hlm; 13,5 x 20 cm | ISBN-13: 978-979-91-0341-3 | Skor: 5/5
Karawang, 170816 – Sheila On 7 – Ingin Pulang
Dirgahayu RI 71 tahun – LU71C