Sherlock: Oh, I may be on the side of the angels, but don’t think for one second that I am one of them.
Episode tiga adalah puncak dari semua. Season satu di The Great Game kita disuguhi film yang begitu mengagumkan, di season dua lebih gila lagi. Tensinya tinggi dan begitu kelar pastinya membuat fan melonjak kegirangan sambil mengusap air mata. Kisah dalam The Reichenbach Fall dirombak ke modern dengan twist yang sama serunya. Tak ada air terjun sesungguhnya. Diganti dengan atap gedung, dengan gaya terjun yang berbeda. Lebih nyata, ataukan malah tampak maya? Saya sampai geleng-geleng kepala betapa film seri tayang di tv bisa semempesona ini.
Kisahnya dibuka dengan sedih. Yah walau bagi fanboy pastinya tahu apa yang disampaikan Dokter Watson (Martin Freeman) kepada terapisnya ambigu. Bahwa Sherlock, jagoan kita tewas. Diiringi hujan rintik yang bunyi tiap tetesnya menjadi musik sendu serta tatapan pilu. Mimik Watson jelas mengindikasikan hatinya sangat amat terpukul. Terbata-bata ia bilang, “sahabat terbaikku Sherl… Sherlock Holmes tewas…” skoring musik yang dan gambar-bambar pembuka film begitu akrab itupun menyapa. Kali ini sang sutradara ke tangan Toby Hayes.
Kisah lalu ditarik ke tiga bulan sebelumnya. Memperlihatkan kesuksesan demi kesuksesan Sherlock Holmes (Benedict Cumberbatch). Dari julukan Reichenbach hero karena bisa mengembalikan lukisan karya Pelukis legendaris Mr. Turner. Setiap ucapan ceremony terima kasih Sherlock mendapat hadiah kado. Kancing manset berlian, bahkan hanya sekedar mengocoknya. Lalu seorang bankir yang diculik bisa kembali kepada keluarganya. Sherlock mendapat hadiah jepit dasi, padahal ia tak mengenakan dasi. Sampai kasus berikutnya seorang penjahat senior sejak 1982 Peter Ricoleti berhasil diringkus berkat kejeniusan Sherlock, ia mendapat hadiah topi berburu dari DI Lestrade (Rupert Graves). Topi bolak balik depan belakang itu lalu dikenal sebagai topi Sherlock, topi detektif yang termasyur. Surat kabar langsung memuatnya sebagai headline: Boffin Sherlock Solves Another. Tatapan sinis Sgt Sally Donovan (Vinette Robinson) dan Anderson (Jonathan Aris), tersenyum sambil tepuk tangan ringan. Dua orang yang sedari seri satu begitu menyebalkan. Dengan berbagai kesuksesan itu kini Sherlock semakin terkenal, dirinya bukan lagi private detective (detektif swasta). Watson meminta Sherlock mencari kasus yang lebih kecil agar tetap low profile.
Adegan berikutnya kita diajak ke Tower of London di tengah hari yang terik. Dengan suara gagak, muncullah musuh utama kita James Moriarty (Andrew Scott). Mengenakan topi bertulisan London, mengunyah permen karet. Ia memotret sekeliling dengan santainya. Sementara siang itu duo kita sedang bersantai. Watson membaca koran dengan boneka digantung di belakangnya, Sherlock bermain mikroscope. HP nya beberapa kali menerima pesan namun abai. Semua kasus penuh tekanan sampai mereka dipecahkan.
Kembali lagi ke Moriarty. Ia melewati metal detector, alarm. Hpnya minta dikeluarkan. Ia dengan polosnya menaati. Tibalah di depan mahkota yang dipamerkan. Aksi sessungguhnya dimulai. Dengan mengenakan earphone menyenandungkan iringan musik lembut. Lagu ‘La Gazza Ladra (the thieving magpies)’ dari composes ternama Giochino Rossini. Melalui kamera keamanan kita diajak melihat perampokan. Aksi pertama dibuka. Cctv mati, keadaan darurat. Seluruh pengunjung dievakuasi. Moriarty berdansa dalam bayang di depan mahkota. DI Lestrade dihubungi, ada pembobolan. Oh bukan divisinya. Namun ia bergerak jua. Aksi kedua, dengan gambar celengan babi dibuka dalam HP. Bank of London melapor lemari besi mereka terbuka. Vault opening. Moriarty menulis sesuatu di lemari kaca mahkota: GET SHERLOCK. Aksi ketiga dieksekusi kini Pentonville Prison. Keamanan penjara lumpuh. Ketiganya dianalogikan dengan tumbahan teh yang sedang diminum oleh penanggungjawab. Tarian Moriarty ditutup dengan memecahkan kaca pelindung dan ia tertangkap dalam kepungan polisi. Dengan kalem duduk di singgasana, mahkota di kepala, tongkat di tangan ia berujar, ‘ga usah buru-buru’. Waaa… edan. Keren sekali. Penghantar kisah ini. Mengingatkanku pada Joker di The Dark Knight yang sengaja menyerahkan diri untuk ditahan.
SMS di HP Sherlock setelah bertulat-tulit akhirnya dibuka oleh Watson. ‘He’s back’. Pesan singkat yang membuat Sherlock mengalihkan dari mikroscope. “Come and play. Tower Hill. Jim Moriarty X”. Lalu koran-koran menurunkan berita, sang konsultan kriminal akhirnya ditangkap. Sherlock diminta jadi saksi. Dalam perjalanan ke sidang pengadilan, Watson sudah beberapa kali meminta Sherlock untuk tak sok cerdas. Ingat, singkat dan jelas. Namun Sherlock terlihat tegang dan cuek. Aku akan jadi diriku sendiri. Wah tanda-tanda, nasehat Watson tak didengar.
Di gedung Old Bailey itulah dua musuh bebuyutan itu kini. Sherlock ketika di toilet dicegat seorang wanita. Fan beratnya. Meminta tanda tangan di baju. Seorang wartawan bernama Kitty Riley (Katherine Parkinson). Namun perjumpaan itu berakhir tak bagus. Kitty yang meminta waktu untuk wawancara ditolak, meninggalkan kartu nama di kemeja Sherlock. Yah kita tahu Holmes seorang cuek yang seringnya bilang kasar. “You re repelled me”. Kata-kata yang menyakiti Kitty.
Seperti yang diprediksi. Kesaksian Sherlock berjalan kacau. Ia memuntahkan kekesalan, betapa Moriary adalah laba-laba yang ada di tengah jaring kejahatan. Sayangnya pernyataan itu disertai segala muntahan kata-kata peserta sidang. Dari juri, hakim, sampai jaksa semua kena semprot. Terlihat jelas Jim menikmati acara. Sherlock tak bisa mengendalikan kondisi. Kran airnya tak bias ditutup. Pamer intelektual itu berakhir dengan Sherlock dan Moriaty dijebloskan dalam satu ruang. Scene sepintas mereka bertatapmuka dalam bingkai pintu penjara adalah scene langka nan klasik.
Setelah sidang, duo jagoan kita menganalisis situasi. Tiga tempat paling aman di London dijebol bersamaan. Kalau Jim menginginkan mahkota ia akan mendapatkannya. Tidak. Ini jelas bukan perampokan yang gagal. Kalau ia ingin para tahanan bebas ia bisa dengan mudah melakukannya. Uang? Jelas bukan motivasi sang villain. Satu-satunya alasan Jim dipenjara adalah memang ia ingin di sana. Hari-hari berlalu, saatnya Mr Crayhill sang pengacara Moriaty untuk memanggil saksi. Namun keputusan mengejutkan. Ia tak memanggil satu saksipun. Tak menyangkal apapun. Pembelaan selesai. Anjrit… kalau normal jelas Jim dinyatakan bersalah dengan penjara berdurasi lama. Dengan scene pembacaan hakim dipecah dengan Sherlock, kalian harus memutuskannya ‘guilty!’ dari jam 08:55 sampai 10:50 pemungutan suara juri dilakukan dan tadaaa… Moriarty: not guilty.
Sherlock yang mengetahuinya dari telepon Watson langsung mempersiapkan diri. Memasak air, membuat teh, memainkan biola. Menanti musuh datang. Adegan berikutnya adalah diskusi berkelas. Dengan teh dan buah apel. “Setiap dongeng butuh penjahat klasik yang bagus.” Jim pamer betapa kini tak ada rahasia, dia memiliki semua kunci. Aku adalah pemilik rahasia. Jika Jim tak mengincar uang dan kekuasaan lalu apa yang diinginkannya? Di depan Sherlock ia berujar, ‘menyelesaikan masalah kita. Masalah terakhir.’ I-O-U
Dua bulan setelah persidangan. Watson ke ATM. Kartunya bermasalah, dirinya ‘diculik’ seperti biasa oleh Mycroft Holmes (Mark Gatiss). Di gedung Diogenes Club no 10. Di tempat itulah kita disuguhi kisah kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. Mycroft khawatir kini Sherlock dalam tekanan dan diburu si jahat. Dalam surat kabar the Sun termuat fakta mengejutkan bahwa Sherlock Holmes adalah jenius palsu. Ia mencipta Moriarty agar dirinya terlihat keren. Sumber berita adalah Richard Brook. Nama asing itu memberi wawancara exclusive kepada Kitty. Fakta yang menyudutkan sang jagoan. Namun Watson diambil ke sana bukan karena itu. Ia diberitatahu bahwa di sekitar Baker Street kini berkeliaran pembunuh internasional. Pertama Sulejmani, penyerang dari Albania seorang pembunuh terlatih. Kedua Dyachenko. Ludmila, pembunuh dari Rusia. Dan ketiga bahwa fakta empat pembunuh jaringan international kini menghuni sekitar flat Sherlock begitu membuat Mycroft khawatir.
Setibanya Watson di rumah tentu saja ia mengamati sekitar dan waspada. Di depan pintu ia menemukan amplop coklat dengan cap merah, di dalamnya ada rempah roti. Di dalam rumah ternyata sudah ada Lestrade dan Donovan. Mereka sedang menangani kasus terbaru. Rufus Bruhl , duta besar Amerika dalam masalah. Dua anaknya Max, 7 tahun dan Claudette, 9 tahun diculik ketika di St Aldates, tempat kos mewah di Surrey. Sepintas kita diperlihatkan bahwa kamar mereka dipantau cctv hitam putih. Waaaahhh… no safest place to hide!
Penyelidikan di TKP membawa hasil dengan cepat, seperti biasa. Lemari, tempat tidur, dicek semua. Ditemukan sebuah amplop cokelat dengan stempel merah. Di dalamnya terdapat buku tebal dongeng Grimm. Penelurusan membawa kepada jejak kaki yang perlu dianalisis. Watson dengan ironi bilang apakah Sherlock menikmati? Dengan senyum itu pikirkan anak-anak yang diculik. Deg! Kutipan istimewa.
Kasus ini membawa kita ke rumah sakit legendaris di serial ini: St Bartholomew. Tempat kerja Molly (Louise Brealey). Di lab itulah kita diajak kenal lebih dekat dengan karakter favoritku ini. Bahwa ayahnya mirip Sherlock. Ayahnya sudah meninggal. Betapa ia mengagumi Sherlock. Sangat menyentuh. Saya suka bagian ini. Analisis jejak menghasilkan : 1. Chalk 2. Asphalt 3. Brick dust 4. Vegetation 5. Masih membingungkan. Namun berkat pengamatan Watson ketemu juga. Bagaimana kisah ini terinspirasi dongeng Hansel & Gretel. Molekul kelima adalah gliserol. Dan tadaaa… PGPR adalah salah satu bahan yang diperlukan dalam pembuatan cokelat.
Kelima item itu lalu dilaporkan ke kantor polisi untuk dilacak di mana kelima unsur itu memungkinkan ada. Sesuatu yang lebih spesifik yang menghasilkan sebuah kata Addlestone! Dan tentu saja tebakan Sherlock tepat. Anak-anak yang shock dan sekarat dapat diselamatkan. Luar biasa, hanya dengan meneliti jejak kisah penculikan rumit dapat dibereskan. Namun kisah utama bukan di sini. Benang merah itu adalah upaya Moriarty menghancurkan Sherlock inci demi inci. Membuat orang-orang sekitar ragu. Membuat Sherlock terjatuh. Membuat Sherlock terbakar. Berhasilkah?
Well, sungguh menyenangkan menyaksikan kisah ini menemui titik terang (ataukah malah kabur?). segalanya dijelaskan dengan gamblang. Misi Moriarty dirunut dengan nikmat. Kepanikan Sherlock. Kebimbangan Watson. Tingkah polah Lestrade yang dari segala gerak begitu meyakinkan. Seorang polisi yang tak sedikitpun ragu terhadap andalannya. Acting Rupert Graves harus diacungi jempol. Kekhawatiran Mycroft, sekaligus memberi detailnya yang bikin marah. Dan tentu saja tingkah laku Molly. Sungguh seru, ternyata gadis lab ini diperhitungkan. Ketika tensi film sedang tinggi-tingginya. Syukurlah Sherlock mengakui bahwa Molly masuk hitungan dan ia selalu percaya padanya. Adegan pengakuan sang jenius kepada sang gadis nyaris membuatku menangis. Sedari seri pertama saya tonton saya sudah yakin bahwa Miss Louise pasti akan mendapat porsi yang besar, yah walau tersamar.
Episode ini jelas mengambil kisah dari “The Final Problem”. Beberapa kali si Jim Moriaty bilang akan menyelesaikan masalah akhir di antara mereka. Eksekusi ending yang pas. Akhir yang sempurna. Saya nyaris menitikan air mata ketika melihat Watson pingsan. Adegan di atap rumah sakit itu membuktikan bahwa segala yang tampak nyata belum tentu nyata. Karena air mata yang kalian titikan akan mengering ketika wajah Sherlock kembali tampak di kuburan. Hantu? Jelas bisa saya pastikan bukan. Hantu Sherlock? Hahaha. Ohhh… serial ini semakin membara.
Sherlock: The Reichenbach Fall | Director Toby Hayes | Screenplay Steve Thompson, Mark Gatis, Steven Moffat | Cast Benedict Cumberbatch, Martin Freeman, Rupert Graves, Una Stubbs, Louise Brealey, Mark Gatiss, Andrew Scott, Katherine Parkinson, Vinette Robinson, Jonathan Aris | Skor: 5/5
Karawang, 090816 – Goo Goo Dolls – Here Is Gone