Ketika pengumuman pemenang Nobel Sastra tahun 2015 dipublikasi, dan Haruki Murakasi tak menang, saya adalah satu dari jutaan penggemarnya yang bersedih. Bertahun-tahun dinominasikan dan tahun lalu jadi kandidat kuat namun rontok juga. Yang muncul adalah momen kecewa kembali. Sampai kapan Penulis Jepang ini bersabar?
Inilah catatan ke 30 dari 30 di bulan Juni 2016. Hufh… selesai juga akhirnya.
Ini adalah buku pertama beliau yang saya baca, yang kedua sudah saya ulas ‘What I Talk About When I Talk About Running’ dan yang ketiga tak sabar akan saya baca ‘Dunia Kafka’. Kini sudah di rak. Novel pertama ini sensasional. Luar biasa, ide liar Haruki dituangkan dengan memikat. Saya bacanya tahun lalu pas Ramadan, beberapa bagian memang vulgar jadi hati-hati saat siang. Sempat menyebutnya semacam bagian kedua dari trilogi: pertama Catcher in the Rye-nya Salinger dengan setting seorang anak sekolah lalu kedua Norwegian Wood ini dengan setting utama kuliah dan ketiga Down and Fall in Paris and London-nya George Orwell yang bersetting orang bekerja. Ketiganya menurutku merupakan sebuah perjalanan hidup manusia. Sekolah-kuliah-bekerja. Dengan banyaaak sekali persamaan sifat karakter utama. Suka buku, pemikiran praktis dengan banyak perenungan serta seorang pribadi yang kesepian. Kebetulankah?
Kisahnya sangat bagus sedari halaman pertama. Aku Watanabe, 37 tahun sedang berada di bandara Hamburg, Jerman saat terdengar di langit-langit instrumentalia Norwegian Wood nya The Beatless, aku menangis sesenggukan mengingatkannya pada masa lalu ketika kuliah. Mengingatkannya pada Naoko. Mengingatkannya pada pemandangan di padang rumput berselimut debu selama musim panas di bulan Oktober. Ingatan merupakan hal yang aneh. Ketika aku benar-benar ada di sana aku hampir tak memperhatikan pemandangan. Itulah masa ketika apa pun yang kulihat, apa pun yang kurasa dan apapun yang kupikirkan, akhirnya semua kembali lagi pada diri sendiri seperti bumerang. Lebih-lebih aku sedang jatuh cinta dan cinta ini menjebloskan ke dalam situasi pelik. Naoko, gadis di sampingku di padang rumput itu berujar, “sampai kapan pun jangan lupakan aku. Ingatlah selalu keberadaanku.” Memikirkan hal itu aku nelangsa, karena Naoko tidak mencintaiku sama sekali.
Setelah pembuka yang menyentuh hati itu kita dihempaskan ke masa lalu yang diceritkan sepintas tadi. Ditarik jauuuuh ke belakang, 18 tahun lalu. Masa ketika aku di asrama mahasiswa di Tokyo. Masuk ke bangku universitas, penjelasan detail asrama itu mirip penjelasan Holden Vitamin Coulfield di Catcher in the Rye. Mereka yakin bahwa gorden adalah benda setengah abadi yang menjuntai di jendela. Bercerita teman-temannya salah satunya si komando pasukan gerak cepat – kopasgat yang tergila-gila dengan potert pemandangan. Mengambil jurusan geografi dan belajar peta. Anehnya dia selalu tergagap ketika menyebut pe.. pe.. ta. Kalau sudah membicarakan itu semua, sambil tergagap-gagap ia akan terus berbicara sampai satu atau dua jam, sampai yang mendengarkan tertidur atau meninggalkannya. Rutinitasnya tiap pagi jam setengah tujuh ia bersenam membuatku terbangun dengan gerakan loncat yang mengganggu.
Lalu kisah sesungguhnya dimulai, tentang Naoko teman masa SMA yang memiliki pacar bernama Kizuki. Naoko bersekolah di SMA putri misionaris yang ekslusif, sekolah berkualitas. Bertiga menjadi teman akrab, sering jalan bareng walau kelihatannya aneh juga tapi kenyataannya itulah suasana ternyaman dan berjalan lancar. Namun sebuah tragedi terjadi membuat persahabatan ini buyar. Kematian bukan lawan kehidupan. Tapi ada sebagai bagiannya. Di dalam kehidupan, semuanya dan segalanya berputar mengitari kematian.
Lalu Naoko dan aku mulai akrab. Jalan bareng, ngopi di kafe, banyak cerita dan bisa berjalan di samping gadis secantik dia bukanlah sesuatu yang buruk, tanpa tujuan sering berdua berjalan mengelilingi kota Tokyo, mendaki tanjakan, menyeberangi sungai, melintasi rel, dan terus berjalan tanpa henti. Dan bagiku melihat wajah Naoko tersenyum sungguh menyenangkan. Ketika ia memeluk lenganku aku merasa yang ia cari bukan lenganku melainkan lengan seseorang. Yang ia cari bukan kehangatanku melainkan kehangatan seseorang. Aku jadi diriku entah mengapa menjadi malu.
Aku senang membaca buku. Suka membaca berulang-ulang buku yang kusukai seperti karya Truman Capote, John Updike, Scott Fitzgelard, Raymond Chandler. Wow sangat berkelas Watanabe iki. Kadang-kadang hanya dengan memejamkan mata, menghirup aroma, dan menyentuh halaman buku aku sudah merasa bahagia. Dan berprinsip, “Kalau laki-laki membaca Great Gatsby sampai tiga kali rasanya bisa menjadi temanku.”
Salah satu orang itu adalah Nagasawa-san. Sebagai pembaca ia bukan tandinganku tapi ia tak pernah mau mengambil buku karya pengarang yang belum 30 tahun meninggal dunia. “Aku hanya percaya pada buku-buku seperti itu,” katanya. “Bukan berati aku tak percaya pada sasta modern. Aku hanya tak mau menghabiskan waktuku yang berharga sia-sia membaca buku karya orang yang belum dibabtis oleh waktu. Hidup ini pendek.”
Penggemar Balzac, Dante, Joseph Conrad, Dickens. “Watanabe, kamu tahu? Di asrama ini orang yang bisa dianggap manusia itu hanya aku dan kamu. Yang lainnya, semua kertas sampah belaka.”
Orang keren. Sayangnya sejak melihat Nagasawa-san bertindak sangat tidak sopan kepada seorang gadis karena mabuk, aku bertekad untuk tidak membuka hati terhadap laki-laki ini. Dari lelaki aneh inilah aku mendapat pengalaman banyak dengan perempuan. Hidup memang berputar dan berpusat pada banyak omong. Persetan dengan uang.
Ketika Naoko berulang tahun kedua puluh ia berujar, “Umur 20 tahun itu rasanya konyol juga ya. Aku samasekali tidak siap memasuki usia ke-20 ini. Rasanya aneh sekali. Seperti didorong-dorong secara paksa.”
“Tidak ada orang yang suka sendirian. Cuma tidak mau merasa putus asa saja. Kalau kamu membuat otobiografi, kamu bisa menggunakan kata-kata itu.” Itulah perkenalan awal dengan mahasiswi bernama Midori – hijau. Nama kakaknya Momoko – Pink. Teman kuliah di kelas drama ini nantinya akan menjadi karakter penting di sela Naoko dan temannya Reiko-san. Sangat berliku dan membuat frustasi (pembaca) menatap masa depan.
Lalu bagaimana akhir dari perjalanan Watanabe sehingga setiap saat mendengarkan lagu Norwegian Wood bisa membuatnya menangis? Bagaimana nasib Naoko yang frustasi, apakah bisa sembuh dari trauma? Bagaimana nasib Midori yang cocok dengan Watanabe namun sudah punya pacar? Apakah Nagasawa-san bakalan berubah sifatnya setelah diterjang waktu? Bagaimana nasib pacar Nagasawa, Hatsumi-san yang cantik dan lembut itu? Semuanya tersaji dengan sangat memukau. Sungguh buku yang menakjubkan.
95 persen orang-orang yang ingin jadi birokrat adalah sampah. Ini betul. Mereka tak bisa membaca huruf dengan baik. – halaman 80
“Ya sampai-sampai aku ingin memberimu sedikit waktuku agar kamu bisa memanfaatkannya untuk tidur.” – 86
“Kamu ini sungguh aneh. Wajahmu tak menunjukkan suka bercanda, tapi bercanda juga ya.” – 103
Semua orang terlihat bahagia. Apakah mereka betul-betul bahagia, atau hanya kelihatannya seperti itu, aku tak tahu. – 118
Kemudian aku mengingat-ingat lagi kejadian semalam satu per satu secara beruntun. Semuanya terasa aneh, samar tak nyata, seolah-olah di situ ada dua-tiga helai lempengan kaca yang menghalangi, namun semua itu benar-benar telah terjadi padaku. – 125
Entah mengapa, begitu aku terbaring di ruangan ini, kejadian-kejadian dan perasaan-perasaan masa lalu yang tak pernah kuingat satu per satu bermunculan di benakku. Ada yang menyenangkan ada pula yang menyedihkan. – 152
“Sepertinya tempat ini bukan dunia yang sesungguhnya deh. Orang-orang, pemandangan di sekeliling, semua rasanya bukan dunia sesungguhnya.” – 251
Pagi-pagi mencuci pakaian, lalu menjemurnya di balkon gedung asrama sebelum sore saya angkat, lalu menyetrikanya. Menyetrika bukan pekerjaan yang membosankan. – 280
Aku berfikir harus berapa puluh kali atau berapa ratus kali menjalani hari Minggu seperti ini. Hari Minggu yang sunyi tenang dan kesepian’. Kucoba mengucapkan kata-kata itu. Hari Minggu aku tidak memutar sekrup hidupku. – 293
“Bagus sekali, sampai-sampai seluruh pepohonan di hutan-hutan yang ada di seluruh bumi ini bertumbangan.” – 378
“Aku suka apa pun yang kamu pakai, yang kamu lakukan, kamu katakan, cara berjalanmu, cara mabukmu, semuanya suka. Aku menyukaimu sebesar harimau-harimau di seluruh dunia yang mencair menjadi mertega.” – 385
Dan betapa pun kita melakukan yang terbaik, seseorang kalau sudah waktunya terluka, akan terluka juga. Itulah hidup. – 391
“Aku ini manusia yang sudah tamat. Yang ada di depanmu sekarang tidak lebih hanya sisa kenangan diriku. Sesuatu yang terpenting yang dulu ada di dalam diriku sudah lama mati, dan sekarang aku hanya bergerak mengikuti kenangan itu saja.” – 416
“Berbahagialah,” katanya kepadaku ketika akan berpisah. – 425
Well, buku sehebat ini sayangnya ditemukan banyak typo, salah ketik. Aneh juga Penerbit sebesar KPG masih banyak kata yang lolos. Bukan pertama saya temukan, di buku-buku lain juga sering ketemu typo. Sebagai PR Penerbit KPG harusnya mengevaluasi lagi pemeriksa aksara. Sayang aja, buku-buku berkualitas tercetak dengan kata-kata yang salah.
Terakhir, kapan ya Haruki meraih Nobel Sastra? Semoga tak seperti Penulis besar kita, Pram yang berkali-kali masuk nominasi namun keburu kembali ke Tuhan tanpa meraih penghargaan prestisius ini. Please… #NobelSastraForHaruki
Norwegian Wood | by Haruki Murakami | KGP 901 15 0949 | judul asli Noruwei no Mori | copyright 1987 | originally published in Japan by Kodansha Ltd. Tokyo | Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) | Cetakan kelima, Februari 2015 | Penerjemah Jonjon Johana | Penyunting Yul Hamiyati | Perancang sampul Deborah Amadis Mawa | Penata letak Wendie Astwenda | iv + 423 hlm; 13,5 cm x 20 cm | ISBN 978-979-01-0835-7 | Skor: 5/5
Karawang, 300616 – Sherina Munaf – Primadona
#30 #Juni2016 #30HariMenulis #ReviewBuku – Happy birthday Sinna Sherina Munaf, gadisku!
Udah lama pengen baca Haruki Murakami tapi belom kesampeannnnn
SukaSuka
ayooo luangkan, terjemahannya sudah banyak lho
SukaSuka
Waiting list lain juga banyakkk 😦 bingung mau duluin yang mana
SukaSuka
Ping balik: Lebaran, Pakai Baju Lama Beli Buku Baru | Lazione Budy
Ping balik: 9 Buku Baru – THR 2016 | Lazione Budy